Hajatan Lima Tahun Sekali…

4 Jul 2023 | Cetusan

Salah satu hal yang patut kalian pertimbangkan sebagai acuan  hati terkait pemilihan 2024 mendatang adalah bahwa hajatan lima tahunan itu ibarat hajatan tetangga rumah yang menikahkan anak perempuannya.

Ya namanya juga hajatan, pasti ramai! 
Anak tetangga yang setiap hari kamu temui tanpa gambar alis dan bulu mata yang cetar membahana serta wajah berminyak saat menjemur celana dan bh, dalam hajatan itu akan tampak menggelora cantiknya meski tergantung budget MUA-nya juga sih!

Bersama calon suaminya, dia akan dikenalin ke tetangga, termasuk kita, beberapa waktu sebelum acara. Kita juga bakalan dapat nasi kotak dan anteran aneka ragam kueh dengan secarik kertas berisi foto mereka berdua dan tajuk “Mohon doa restu.”

Getah nggak enaknya juga ada…
Misalnya, kamu harus memarkir mobil di luar gang karena jalanan depan rumah bakal penuh kursi untuk tamu!  Ya kamu ngalah…

Malam yang harusnya jadi saat buat istirahat jadi lebih riuh apalagi kalau speaker segede mesin ATM udah dipasang di atas meja sewaan dan lagu-lagu dangdut koplo diputar berulang-ulang-ulang sampai kamu gak bisa mengenali mana yang Denny Caknan mana yang Ndarboy. Mana yang Lala Widy dan mana Happy Asmara (meski kalau liat videonya Lala dan Happy kalian akan dengan mudah bisa melihat perbedaannya hahaha!). Belum lagi kalau Ibu jadi sewot karena pot gantungnya nggak sengaja pecah kesenggol tukang pasang tenda! Wah, berabe dah!

Tapi setelah hajatan, hidup akan berangsur normal.
Kursi dilipat, tenda dilepas dikembalikan ke tempat sewaan. Jalanan kembali sepi dan anak tetangga yang kamu lihat begitu cantik saat nikah kembali ke “normal mode” dengan daster, muka berminyak, rambut dengan roll sana-sini  dan paling bedanya kalau selama ini ia hanya jemur bh dan celana dalamnya sekarang ketambahan singlet dan celana dalam suaminya.

Yang berubah dari hidup kita? 
Nggak ada selain kenyataan bahwa kita bisa kembali parkir mobil di depan rumah dan paling gimana kita merawat hati ibu yang kadung lebur karena potnya hancur.

Yang namanya pemilihan pasti juga ramai.
Calon mempelai entah itu presiden, wakil presiden ataupun anggota legislatif ya akan didandanin partai-partai yang mengusungnya lalu dikenalin ke kita lewat baliho, iklan di televisi dan social media serta lewat cocotnya para buzzer.

Mereka yang saat sebelum hajatan kita tahu punya banyak cela dan kerap menerima hujatan jadi tampak rapi jali, kisah politiknya disetrika hingga halus mengkilat! Bedanya dengan mempelai nikah anak tetangga, kita nggak boleh mencoblos karena memang sudah bersuami, dalam pemilihan kalau gak dicoblos malah kitanya ditanyain, “Kan udah dikasih kaos? Kan udah kita kasih uang dalam amplop kok gak dicoblos?!”

Untuk lebih meyakinkan supaya kita nyoblos, mereka akan menebar janji dan mimpi yang kurang lebih sama dengan lima tahun berikutnya. Bahwa kita akan disejahterakan entah itu lewat aneka ragam kartu ajaib hingga DP nol persen untuk beli rumah. Tak ketinggalan juga ancaman yang agak bau-bau blackmailing bahwa kalau kubu sebelah yang nanti justru terpilih maka yang minoritas bakal makin sengsara deh! Padahal selama ini perjuangan bangun gereja juga bagaikan adegan kisah sengsara Tuhan kan?!

Getah nggak baiknya? Banyak!
Hidup, jika tidak dikelola dengan baik hanya akan dikubangi aneka macam pemberitaan terkait pemilihan dalam bulan-bulan menjelang pelaksanaan. Mulai dari warung kopi hingga selasar perkantoran. Mulai dari ruang silaturahmi di kampung dan pedesaan hingga podcast para artis yang menyaru jadi orang paling pintar di Youtube, ruang-ruang maya, grup WA dan tentu saja linimasa social media. 

Dari yang sudah-sudah, gesekan juga bukannya nggak mungkin bakal terjadi lagi lho!  Orang saling tuding dan bising! Gak sedikit yang memilih memutuskan tali pertemanan, persaudaraan bahkan ada suami-istri jadi tak akur hanya gara-gara si suami milih Si A dan si istri milih Si B karena B lebih tampan! Padahal ketika nantinya Si A dan Si B berkomplot mengatasnamakan “Demi persatuan bangsa” kita udah terlampau serius terpecah hanya demi hal tak penting yang harusnya kita gak boleh terbelah!

Setelah pemilihan selesai hidup akan normal kembali.
Hutang kita gak serta merta lunas kok kalau kita gak bekerja!  Orang-orang di kantor-kantor itu juga gak lantas jadi gak korupsi lagi!  Bangun gereja juga tetap gak lebih gampang ketimbang cara pembebasan tanah untuk pembangunan jalan tol!

Janji-janji juga tinggal janji. Ia akan kembali dikemas dan digantung di almari penuh kapur barus supaya lima tahun lagi ketika dikeluarkan dan dijadikan barang dagangan lagi tetap harum dan gak ada ngengat!

Hidup tetap akan bergantung bagaimana kita memulai dan menuntasinya sama halnya dengan mereka yang terpilih, perjuangan terutama mereka tetaplah menyenangkan hati kelompok dan bohir-bohir yang sejak awal membiayai kampanyenya.

Jadi, sekali lagi, jangan terlampau serius memikirkan pemilhan apapun itu namanya. Cukup pikirkan ketika mau masuk TPS aja. Itupun kalau pas kebetulan waktu pemilihan nanti kamu memang gak ada acara yang lebih mengasyikkan atau kamu bisa bangun pagi setelah semalam-malaman nonton maraton movies di netflix dan nggak malas buat melangkahkan kaki. Belum lagi nanti abis dari situ mesti cuci jari supaya tintanya hilang kan?

Ribet emang!

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.