Bagiku, hadiah terindah adalah apapun wujud dan rupanya asalkan diberikan dengan hati yang tulus dan ikhlas oleh pemberinya.
Bentuk dan wujud nyata sebaik dan seburuk apapun hadiah itu menjadi tak begitu penting lagi sejauh syarat di atas terpenuhi.
Beberapa saat setelah menyatakan pengunduran diri dari perusahaan, awal Juli 2008 yang lalu, aku segera memberitahukan hal tersebut kepada dua orang sahabat setiaku, Rahmat
dan Pak Yadi.
Mereka berdua adalah petugas jaga malam yang setahun setengah belakangan adalah orang-orang yang menjaga tidurku dan menemani malam-malam sepiku di kantor lama dulu.
Dari bergaul dan ngobrol dengan mereka berdualah aku bisa menemukan sosok Tunggonono yang kerap kujadikan teman bercerita dalam
tulisan-tulisanku di sini.
Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, pengunduran diriku itu mengagetkan mereka berdua.
Si Rahmat, yang usianya sekita tiga tahun di bawahku hanya bisa tersenyum kosong ketika kuberitahukan rencanaku itu.
Sementara Pak Yadi yang lebih sepuh menunjukkan reaksi yang lebih sentimentil, jika boleh dibilang demikian.
“Moso tho?
Wah njenengan ampung gojek tho Mas..
(Masa sih? Anda jangan becanda Mas)” demikian tutur Pak Yadi pada malam itu dengan wajah penuh tanda tak percaya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum, kontan pria berusia setengah abad itu memelukku haru meski kubilang
“Hey Pak, mboten sakniki kok. Taksih oktober mangkih (Hey Pak,
bukan sekarang kok, tapi masih bulan Oktober nanti).”
Ia lantas mengendorkan pelukannya lalu menjabat tanganku dengan erat.
Matanya berkaca-kaca, sementara rahangnya berdenyut-denyut seperti menahan sesuatu.
Satu malam sesudahnya, kebetulan yang sedang bertugas jaga adalah Rahmat.
Ketika aku baru hendak pulang, ia berujar padaku “Bos, kamu mau dibuatin wayang lho sama Pak Yadi..”
“Oh ya? Waduh.. moso tho, Mat sampai repot-repot begitu itu..” tukasku tak percaya.
Tapi benar saja, pada kesempatan berikutnya pada saat Pak Yadi giliran jaga,
ia mengatakan bahwa ia memang sedang mempersiapkan buah tangan yang berupa wayang untuk kenang-kenangan bagiku.
Pak Yadi memang terkenal handal membuat wayang.
Pria yang jika waktu senggang berprofesi sebagai penarik becak ini meski tidak menggeluti secara profesional, akan tetapi pada kesempatan-kesempatan tertentu jika ada orderan
ia membuat pesanan tokoh wayang berbahan baku kertas, bukan kulit seperti kebanyakan.
Dan waktu bergulir maju.
Tak sampai sebulan setelah saat dimana Pak Yadi bilang bahwa ia akan menghadiahiku wayang buatannya, beberapa malam yang lalu, Pak Yadi mengetok pintu ruanganku.
“Pak Donny..”
“Eh, Pak Yadi. Mari masuk Pak, monggo!”
Pak Yadi pun masuk ke ruanganku dengan membawa sebuah bungkusan di tangannya.
“Ini, saya mau menyerahkan wayang yang saya janjikan dulu.” Ia pun membuka bungkusan itu dan menunjukkannya kepadaku.
Dua buah wayang berukuran sedang. Sesosok Prabu Rama (suami Sintha) dan satu lagi Bapa Semar (Punokawan).
“Prabu Rama ini tokoh yang mencintai istrinya, Pak Donny. Nah kalau Bapa Semar ini tokoh yang andhap asor, berwibawa sekaligus lambang tanah Jawa.
Jadi semoga Pak Donny nanti meski sudah di Australia tetap ingat tanah Jawa ini dan sekaligus menjadi suami yang mencintai istri dengan baik.”
ujarnya sambil mempraktekkan bagaimana sebaiknya cara memegang dan menggerakkan wayang-wayang itu.
Aku tak bergeming untuk beberapa saat.
Bukan karena petuah bijaknya, bukan pula karena sibuk mengamati cara “memainkan” wayang tersebut.
Ada rasa haru yang menyeruak melihat ketulusan seorang Pak Yadi ketika memberikan karya seninya itu untukku, orang yang baru dikenalnya tak lebih dari dua tahun belakangan ini.
“Pak Yadi. Saya terima semuanya. Terimakasih banyak.
Saya nanti akan bilang ke istri untuk memasang ini di dinding kamar kami di rumah Australia nanti.”
“Inggih, saya juga terima kasih karena Mas Donny mau menerimanya.
Tapi kalau boleh saya minta Pak Donny… hmmmm kalau boleh lho ini..” Pak Yadi mesam-mesem saja sembari menantiku bertanya tentang keinginannya.
“Oh, monggo.. ada apa Pak?”
“Nganu, nanti kalau sudah sampai sana tolong Pak Donny sekalian istri foto dengan wayang ini lalu kirimkan fotonya ke saya..”
“Oh pasti, Pak!
Jangan khawatir hal ini pasti saya ingat dan saya lakukan nanti sesampainya di sana.
Malah.. gimana kalau sekarang, saya dan pak Yadi foto bersama dulu jadi nanti yang
saya kirimkan ndak cuma satu tapi ada dua foto sekaligus..”
“Oh monggo..” Pak Yadi tampak kegirangan dengan tawaranku tersebut.
Lalu kukeluarkan kamera beserta tripodnya, mengatur setting dan berpose berdua dengan Pak Yadi bersama dua wayang buatannya
seperti yang tampak dalam postingan ini. Tak lama kemudian Pak Yadi pun pamit untuk kembali bertugas di pos keamanannya di bawah.
“Nggih, begitu saja Pak Donny, saya tak kebawah dulu mau melanjutkan tugas.”
“Oh, monggo Pak. Sekali lagi terimakasih nggih..” Kami saling bersalam-salaman lalu ia pun beringsut pergi.
Sesaat setelah menyimpan lagi wayang itu ke dalam tempatnya dan menaruhnya di koper besar yang hendak kubawa ke Sydney nanti,
aku lepas kacamataku sejenak, memejamkan mata dan menyekanya perlahan.
Kurasakan betapa bulu mataku membasah dan sudut-sudut mataku berair meski tak terlampau banyak.
Ah untung Pak Yadi tak melihatnya tadi…
Mengharukan sekali….
Memang sebagian orang jogja sederhana lho :)
@DV & DM :kepergian gw dikasih apah ? koper gw masih ada yg kosong kok….hihihihi
Kasi apa ya..?
Mau pete, Windy?
Ambil di AMPERA! Hahahaha…
Ah!!! Akhirnya!!! Akhirnya!!! Sosok the real Tunggonono pun muncul! Haiya… Mantep tenan!
Prabu Rama karo Semar? Huaduh-huaduh…
Ini bukan sosok Tunggonono yang sesungguhnya, Bung. Selain Pak Yadi, masih ada Rahmat yang membantuku mengimajinasikan sosok Tunggonono.
Hai, Don! (sesuai permintaan yang punya blog, embel2 Masnya saya hilangkan..hihi)
Ceritanya menyentuh banget.. Manis banget… Apalagi bagian akhirnya… Aduh! Bikin saya jadi pingin nangis aja! Lagi sensi nih, Don… :)
Eniwei,
Siapa saja bisa jadi sumber inspirasi penulisan ya, Don… Termasuk si Penjaga Malam yang nyambi jadi Penarik Becak dan pintar membuat Wayang KUlit itu…
(eh, padahal aku ada rencana mau ke Jogja lebaran nanti! ternyata kamu udah pindah ya, Don.. kapan bisa ketemunya ya?)
Bisa ketemunya?
Kalau kamu menikahi kawan baikku itu, hahahah!
hmmm sudah mulai siap-siap ya?
seperti yang kita sempat bicarakan di chat, aku tunggu karyanya di sana dan kalau bisa mari sama-sama bangun negeri tercinta dari jauh.
Kapan honeymoon ke Tokyo Disneyland nih DV n permaisurinya? tak tunggu loh
Hey, Mbak.. makasih :)
Pokoknya sesegera mungkin begitu ada rejeki pasti aku menyambangimu :)
Doakan saja…
Godspeed,..
berkarya dimana saja, sekaligus mewartakan Indonesia yang begitu besar dan hebat.
Wah terimakasih, mas Iman.
Ya, saya akan selalu mewartakan Indonesia dalam gerak dan tingkah laku saya…
wah don, buat pak yadi kamu bukan cuma bos loh… cuma bos yang pasti dikangenin dan dapat dijadiin panutan.
usul don, gimana kalo rama ditaro di rumah, terus semar di tempat kerja kamu. biar budaya andhap asor tur tepo sliro bisa kamu terapin di kantor:D dan cinta yang tak terpatahkan bisa kamu lestarikan di rumah (cuma jangan sampe jadi pahlawan nomer 1 yang mengatas namakan cinta… cukup nomer 2 aja… jadi nomer 1 emang ga enak mwahahahahaha)
hidup kampung jawa!!! xD
Haiahiahiaa, nek kantor duwekku dhewe pasti kupasang, Mon :)
Lagipula, sejak kapan aku andap asor? Hehehehe, justru di rumah yang harus kupasangi Semar biar aku andap asor :)
Jadi kepikiran pengen nambah tattoo gambar wayang, euy …
Hadiah yang tak ternilai harganya, karena dibuat sendiri oleh si pemberi.
Mereka berdua menganggap Donny seperti Rama, yang membawa kesejahteraan dunia, serta semar (dewa yang turun ke dunia) yang membawa ketentraman. Semoga langkah Donny disana nanti seperti yang diharapkan pak Yadi, membawa ketenteraman dan kebahagiaan. Semoga masih rajin menulis sehingga bisa saling berkabar
Wah, Ibu, terimakasih doa-doanya…
Saya pastikan saya akan tetap rajin menulis di sana…
hadiah wayang? wow…. sebuah kejutan besar kalau di era peradaban sekarang masih ada sosok yang peduli dengan memberikan hadiah semacam itu. itu mesti dirawat baik2, mas donny, hehehehe … jadi inget cerpen “Jagal Abilawa”, haks …. :grin:
Betul, Pak Sawali…
Justru karena keunikannya itulah maka kujadikan tulisan di sini pula :)
Mengharuan, menyenangkan, pokoknya gimana gitu …
Ah, Pak Ersis yang baru pulang dari ibadah umrah…
Pakabar Pak Ersis :) Gimana gituu :)
Wew, hadiah yang bikin haru. Filosofinya itu loh Don..
Bakal ngumpul nie sama Mbak Joycenya.
Semoga cepat dapat momongan Mas. Doakan saya juga. Gluk!
Hahaha, maturnuwun Pak Suhadi untuk doa-doanya.
Mari kita saling berdoa untuk masa depan dan momongan kita :)
Sungguh menyentuh ceritanya. Nah berarti mas DV ini termasuk orang yang baik…
:mrgreen:
*kabur sebelum dijitak mas DV*
Hehehe, menurut Pak Mario Teguh, orang yang baik adalah orang yang benar dan jujur …
Apakah saya sudah termasuk seperti itu? Entahlah! :)
..so sweet…hikks…
..dan Tunggono? jadi abis ini nggak ada episode Tunggono lagi?..hikks lagi…
Masih ada… Akan selalu ada, Mbak!
Kami akan selalu berhubungan lewat telpon dan semoga as soon as possible para Tunggonono yang di Jogja cepat bisa ber-internet sehingga kami bisa berkomunikasi lebih intim lagi :)
wah…..
kesan yg mendalam …..
itulah yg saya tangkap …..
mudah2an yang d tinggal pergi bisa mengharap ia untuk kembali… :)
Saya selalu tidak pernah pergi di hati mereka yang saya cintai, Mas :)
Salam kenal …
Pak yadi kapan mau ngasih hadiah ke saya hehehe….
Wahhh.. dapet hadiah dari orang dekat dengan hadiah yang punya makna… hmmm jadi ngiri!
Makasih, Mas :)
Kapan yah saya bisa menulis seindah ini …
Ah, saya cuma pemula, Mbak ….
duh, senengnya punya bestfriend seperti itu..
tato wayang?
wangun don… buto we! buto cakil nan narsis selalu seperti dirimu kakakakkakakakakkakakakakaa :D
eh sabtu ini kayanya aku datang sendiri deh… siska kayanya sungkan apa gimana gituh… *i can feel it! the time is running out lol…*
Sungguh mengharukan Pak Donny. Nggak bisa komentar apa-apa saya.
speechless. mengharukan. :( *duh, kok aku terlewat membaca tulisanmu yg ini to, don?