Hadiah dari Pak Yadi, empat belas tahun sesudahnya

31 Jan 2022 | Cetusan

Butuh waktu empat belas tahun, tapi aku bersyukur karena Tuhan menolongku untuk memenuhi janji-janjiku dulu kepadanya.

Juli 2008, sekitar tiga bulan sebelum pindah ke Australia, aku mendapatkan hadiah kenang-kenangan yang luar biasa dari Pak Yadi.

Pak Yadi adalah penjaga malam kantor tempatku bekerja dulu. Karena aku tinggal bermalam di kantor maka hampir setiap malam pula aku selalu bertemu dan bercengkerama dengannya. 

Selain sebagai penjaga malam, Pak Yadi juga bekerja sebagai penarik becak dan ia juga seorang pengrajin wayang. Usianya waktu itu sudah tidak lagi muda. Barangkali sudah mendekati enam puluhan…

Ia lahir, besar dan menua di kawasan Badran Yogyakarta. Berasal dari keluarga yang sangat sederhana meski yang terakhir ini nggak terlalu penting untuk dikemukakan karena dari cara bicara dan nyala api di kedua bola matanya mengisyaratkan bahwa Pak Yadi menjalani hidup dengan bahagia.

Keintiman hubungan kami membuat Pak Yadi jatuh dalam sedih ketika mendengar berita kepindahanku ke Australia. Matanya berkaca-kaca, rahangnya mengeras dan mulutnya agak sulit mengatur kata-kata yang hendak dikeluarkannya,

“Moso tho, Mas Donny?
Wah njenengan ampung gojek tho Mas..?

Beberapa hari sesudahnya, Rahmat, kawan penjaga malam yang satunya, memberitahuku bahwa Pak Yadi sedang membuatkan hadiah kenang-kenangan bagiku.

Minggu dan minggu berlalu hingga suatu malam ketika waktu kepindahanku ke Australia sudah semakin dekat, Pak Yadi datang ke ruangan dan memberiku dua buah wayang; Prabu Rama dan Bapa Semar.

Aku tidak terlalu paham tentang dunia perwayangan dan ia tahu itu. Pak Yadi pun menjelaskan kenapa Prabu Rama dan Bapa Semar dan bukannya yang lain.

“Prabu Rama ini tokoh yang mencintai istrinya, Pak Donny. Nah kalau Bapa Semar ini tokoh yang andhap asor, berwibawa sekaligus lambang tanah Jawa. Jadi semoga Pak Donny nanti meski sudah di Australia tetap ingat tanah Jawa ini dan sekaligus menjadi suami yang mencintai istri dengan baik.”

Di depan Pak Yadi malam itu, akupun menjanjikan dua hal. Pertama, memasang keduanya di dinding rumahku. Kedua, memfoto wayang tersebut dan mengirimkannya kepada Pak Yadi.

Aku dan Pak Yadi dengan dua wayang hasil buatannya, empat belas tahun silam di Yogyakarta

Kedua wayang itu kuterima lalu kumasukkan ke dalam koper yang hendak kubawa ke Sydney. 

Empat belas tahun sesudahnya, beberapa hari sebelum tulisan ini kurangkai dan kupublikasikan, barulah kedua wayang itu kukeluarkan dari dalam koper yang sama yang kupakai saat aku bermigrasi ke sini dulu. 

Kedua wayang itu, bersama dengan beberapa barang ‘prinsipil’, yang lain seperti  salib, kitab suci, gitar dan selimut peninggalan almarhum Papa yang selalu kupakai setiap malam adalah barang-barang pertama yang kubawa terlebih dahulu untuk masuk ke rumahku yang baru selesai pembangunannya Desember 2021 silam.

Dua hari setelah masuk ke rumah baru, aku membuka bungkusan wayang itu dengan penuh kehati-hatian.

Bungkus wayang buatan Pak Yadi tahun 2008.

Bukan wayang kulit. Pak Yadi membuatnya dari kertas barangkali karena biaya yang terbatas. Pergelangan tangan Prabu Rama pun sudah getas mungkin karena tak pernah digerakkan selama tahunan. Tak terlampau sulit bagiku untuk membikin betul. Kubebat dengan double tape supaya kembali menyatu. 

Keduanya lalu kupasang di atas dinding meja kerjaku. Dalam bayanganku, ini adalah letak yang paling tepat supaya aku bisa selalu teringat bagaimana dulu pembuatnya, Pak Yadi, pun menemaniku bekerja hingga larut tengah malam.

Sesaat setelah keduanya terpasang, aku menatap keduanya dan memejamkan mata…

Ada haru yang menyeruak terlampau hebat di dada. Empat belas tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk mensyukuri penyertaan Tuhan.

Pernah suatu waktu dalam kurun empat belas tahun itu aku meminta kepada Tuhan supaya aku mampu mengubur dan melupakan mimpiku untuk punya rumah mengingat betapa mahalnya harga rumah di sini dan betapa tidak terjangkaunya jika hanya mengandalkan pendapatanku saja. Tapi betapa bersyukurnya aku ketika Ia menampar rasa pesimisku itu dengan bangunan rumah yang terbangun dan berdiri gagah dan kini kutempati bersama keluargaku.

Dan kedua wayang yang kini ada di hadapanku adalah monumen pengingat dari perjuangan ini.

Prabu Rama dan Bapa Semar tidak lagi bicara tentang filosofi-filosofi yang dulu disertakan pembuatnya, Pak Yadi, lebih daripada itu, mereka bicara tentang ketekunan dan kesetiaan.

Menatap keduanya adalah cerminan bahwa aku bisa bertekun dan bisa setia maka aku harus melanjutkan untuk tetap tekun dan makin setia. 

Dua nilai itu adalah warisan Yang Kuasa yang kutangkap dan kuhayati dari orang-orang sekitarku termasuk Pak Yadi yang telah begitu tekun dan setia dalam hal-hal yang dikerjakannya dahulu…

Simak tulisan berjudul Hadiah dari Pak Yadi yang kubuat September 2008, beberapa waktu setelah Pak Yadi memberikan hadiah kedua wayang itu kepadaku, sekitar dua bulan sebelum aku pindah ke Australia.

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Selamat atas rumah barunya ya Mas Donny!

    Kenang-kenangan berupa wayang yang dibuat dengan sepenuh hati, sangat istimewa.

    Balas
    • Maturnuwun, Mas Yen. Kalau main ke Sydney bisa dolan-dolan ke rumah saya haha

      Balas
  2. Semoga Pak Yadi sehat sesuai usianya. 🙏

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.