Semalam setelah melihat poster Jogja Gumregah di wall grup Jogja Diaspora, seketika itu juga aku menjadi ikutan gumregah, mak jenggirat dibuatnya!
Pemicunya adalah, ketika dijejerkan dengan poster film World Z War kok ya ada kemiripan betul di antara keduanya.
Aku yakin ini pasti bukan perkara contek-menyontek, lah! Keyakinanku tinggi karena orang Jogja kan terkenal orisinalitasnya :)
Mungkin kata yang lebih tepat adalah terinspirasi. Pengalaman terinspirasi itu tentu berbeda dengan menyontek. Menyontek itu cenderung ?aktif? seperti kata ?meniduri?, ?memperkosa?, ?menghamili?, sedangkan terinspirasi itu ?pasif? seperti ?ditiduri?, ?dihamili? ya begitulah kira-kira?.
Tapi kalau benar terinspirasi, kenapa seolah (ini seolah lho ya), datangnya kok dari poster film World Z War. Kenapa bukan dari poster lawas lakon ketoprak Ampak-ampak Kaligawe, atau poster ?Bayi Ajaib? dan ?Jaka Sembung? misalnya. Kenapa harus yang dari Hollywood sana?
Di titik inipun sebenarnya juga bukan salah designernya karena namanya juga ?terinspirasi? kan kata pasif karena bisa jadi ia sudah mencoba mencari referensi lokal tapi tak kunjung terinspirasi dan begitu melihat poster World Z War, ini anggapanku, langsung mak jenggirat, mak gumregah dan langsung mendapatkan inspirasi!
Tapi ngomongin soal inspirasi kaitannya dengan muatan lokal Jogja, aku jadi tertarik bercerita tentang apa yang kualami lima belas tahun lalu, ketika aku mengonsep dan akhirnya mendirikan GudegNet, situs portal kota Jogja yang pernah kesohor dan kebetulan tanggal 24 Februari 2015 kemarin berulang tahun yang ke-15.
Ide pewarnaan situs Gudegnet awalnya adalah hijau-merah-emas, khas warna pilar di kraton Jogja. ide ini datang dari Valens, mantan kolegaku di sana.
Tapi karena keterbatasan kemampuanku di bidang desain, aku tak berhasil mengeksekusi tiga warna itu dalam satu template yang menarik hingga akhirnya aku beralih ke tone warna gudeg, coklat.
Kalau mau, aku bisa saja tinggal buka photoshop untuk mendapatkan tabel warna coklat, tapi untuk menjaga proses ?terinspirasi?, suatu malam aku minta seorang kawanku untuk memotret makanan gudeg lalu men-scan (dulu masih pake analog camera) dan mengambil beberapa sample warnanya dari situ dan memainkannya di Photoshop.
Maka jadilah, warna gudegnet pada desain awal (bukan yang sekarang karena aku sudah keluar dari sana sejak 2008 silam) adalah warna yang kuadaptasi dari makanan gudeg.
Proses eksplorasiku tak berhenti di situ.
Sekitar tahun 2004 akhir, ada seorang mahasiswa desain, Anjung Sakti namanya, datang kepadaku untuk mohon ijin kerja praktek di GudegNet demi kepentingan kuliahnya.
Aku lantas memintanya membuat ikon GudegNet. Waktu itu aku membayangkan, meski GudegNet tak bisa direpresentasikan dalam wujud orang, tapi aku ingin ada personifikasi dari orang yang sifatnya ?menjaga? GudegNet dan ditampilkan di tiap halaman situsnya.
Kami sempat kebingungan mencari siapa sosok yang pantas direpresentasikan di situ. Sekilas mungkin proses ini tampaknya tak penting, tapi aku percaya bahwa sebuah karya itu harus lahir dari konsep yang kuat.
Aku lantas memberanikan diri sekaligus menunjukkan egoku saat itu, aku minta dia mengambil ketokohanku di GudegNet sebagai konseptor dan salah satu pendiri serta ?penjaga gawang? (waktu itu) untuk direpresentasikan ke dalam gambar.
Hal ini sempat kurahasiakan beberapa tahun dengan tujuan melihat apakah audiens tahu siapa yang dimaksud dalam gambar sosok ikon itu. Menjelang kepindahanku ke Australia, akhirnya beberapa kawan kolega di sana ?ngeh? bahwa tokoh di balik gambar itu sebenarnya adalah representasi diriku.
Kenapa ngeh, karena baik Anjung maupun Ardian, yang melanjutkan pekerjaan sebagai web designer di GudegNet, mereka meng-capture gerak-gerik dan karakterku dalam ikon tersebut.
Kembali ke soal poster Jogja Gumregah di atas, kejujuran designer dalam mengintepretasi poster lain sebagai bahan inspirasi adalah hal yang menjadi rahasia baginya, istilah kata hanya jadi tanggungannya di depan Tuhan semata?
Tapi dari ceritaku bagaimana aku terinspirasi warna gudeg serta bagaimana Anjung dan Ardian terinspirasi oleh ketokohanku pada ikon GudegNet, aku hanya menyayangkan kenapa designer poster itu tak mencari sumber inspirasi dari yang dekat-dekat dulu?
Jogja mungkin sudah berubah, sudah banyak hotel yang malang melintang nggak sopan di kampung-kampung kota. Sudah pulang jarang ditemui jalanan yang tak macet dan orang-orangnya sudah pula mulai kehilangan ke-selo-annya seperti dulu?
Tapi Jogja sebagai sumber inspirasi karya sebenarnya masih deras bermunculan di mata airnya. Ia belum se-asat kali-kali dan sumur-sumur di sana yang konon terjadi karena maraknya pembangunan hotel?
Tinggal kita mau meluangkan waktu untuk memperhatikan dan mohon supaya jadi terinspirasi dari sana atau tidak.
Mekaten, Mas? Mbakyu?
ps: Kabar terakhir, katanya poster itu belum tentu dipakai karena belum disetujui secara internal. Hmmm, menarik :)
Ha nuwunsewu Mas, nek bab GudegNet, kula sarujuk… Ha nanging yen bab terinspirasi niku kok kula kirang sreg lan pas nggih..
Kalo diperhatikan secara saksama itu poster gumregah contekan. Saya yakin pasti. Coba perhatikan secara mendetil, gambar orangnya sama banget.
Kalo poster ini dipakai sungguh memalukan Yogya sebagai kota gudang ide.