Giras: Warisan Leluhur akan Saya Jaga

6 Jul 2015 | Cetusan, DKK

giras_004

Giras Basuwondo adalah kawan lama. Aku mengenalnya sejak sekitar tiga belas tahun silam. Saat itu aku mengelola situs gudang kota Jogja, GudegNet dan Giras menelponku meminta untuk bisa diterima bekerja sebagai wartawan.

?Mas Donny ya??
?Iya, ini siapa??
?Nama saya Giras, Mas…Saya temennya Kelik (Kelik Broto, kawanku lainnya yang sekarang jadi fotografer sukses di Jakarta) Saya pengen jadi wartawan GudegNet bisa??
?Hmmm??

?Boleh datang ke kantor, Mas??
?Sebentar? kamu punya kenalan seniman nggak? Kalau nggak punya mending nggak aja!? jawabku ketus. Waktu itu aku memang sangat angkuh, ketus dan sombong, beda jauh dengan aku sekarang meski kadang masih tampak sisa-sisanya.

?Punya, Mas?
?Siapa? Hmmm?. temen-temen di Kua Etnika kenal??
?Kenal, Mas!?

?Mas Djaduk? Mas Butet? Kenal????
?Kenal, Mas!?
?Ya sudah, kamu kemari sore ini??

Lalu sore itu datanglah ia.
Ternyata Giras adalah adik kelasku di De Britto dan ini yang paling ?ternyata?, ia adalah anak pertama dari Mas Butet Kartaredjasa, seorang budayawan, seniman dan wirausahawan terkenal itu.

Bekerja dengan Giras itu menyenangkan. Mendengarkannya berpendapat tentang seni dan budaya beserta seluk-beluknya itu selain menginspirasi juga memotivasiku dulu untuk terus mengembangkan GudegNet terutama bagian desk pemberitaan seni dan budaya.

Meski banyak juga omongan miring dari luaran tentang dia yang kalau boleh dirangkum, kesemuanya tentang ?Giras? Anak-e Butet? Iso ngapa?? (Giras? Anaknya Butet? Bisa apa dia? -jw)

Tapi ia membuktikan (setidaknya bagiku) bahwa ia bisa menjadi sesuatu yang berbeda.?Ibaratnya wartawan lain itu adalah lampu neon yang terang, putih tapi ?gitu-gitu aja?, Giras adalah lampu disko yang byar-pet yang tak bisa diprediksi dan membuatku selalu haus untuk terjebak dalam ke-byar-pet-an tulisan-tulisannya di GudegNet dulu.

Sayang, ia tak lama berada di sana. Kurang dari setahun orang yang kini telah menjadi bapak seorang anak itu pamit baik-baik untuk menjajaki dunia yang baru, per-film-an.

Tapi meski sudah tak satu atap, hubunganku dengannya baik-baik saja. Kami berkomunikasi melalui Facebook meskipun komunikasinya adalah komunikasi pasif. Artinya, aku mengamati timeline-nya, mengikuti status-statusnya, tapi untuk menyapa rasanya belum waktunya.

Hingga sampailah beberapa hari kemarin, aku tiba-tiba berpikir tentangnya. Aku begitu tertarik untuk melihat sudah sampai pada tahap mana dalam ia berproses dan berkarya.

Dari situ pikiranku mengembang dan tertuju pada kawanku lainnya yang sama-sama anak seniman besar, tapi lebih tak terdengar juntrungannya dalam berkarya. Hal-hal itu menggejolak dan akhirnya bermuara pada satu pertanyaan sinis, ?Apakah memang anak seniman besar akan selalu kecil dan tak pernah bisa lepas dari bayang-bayang orang tuanya??

Aku lalu memberanikan diri untuk menghubunginya lagi melalui jendela messenger dan terjadilah wawancara di bawah ini.

Sama seperti yang pernah kukatakan pada editor GudegNet dulu, ?Tulisane Giras rasah diedit, biarkan muncul apa adanya!? demikian juga dengan wawancara ini. Aku membiarkannya bersuara sekencang-kencangnya. Lebih dari se-dekade aku rindu menikmati byar-pet serta lekak-lekuk pikiran Giras yang lugas..

Selamat menikmati!

Giras (digendong) bersama orang tua dan kakek-neneknya...

Giras (digendong) bersama orang tua dan kakek-neneknya…


QGimana rasanya jadi anak seniman besar dan cucu budayawan kesohor dan apa tantangan terberatnya, Bro?


AHmm… Pertama-tama ya bersyukur dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan Padepokan Seni Bagong. Kakek saya koreografer tari dan sutradara, sedangkan ayah saya aktor yang nyambi jadi pengusaha, sejak kecil sampai sekarang saya merasa beruntung. Lahir mbrojol di lingkungan yang menyenangkan. Mereka punya cita-cita, karya, dan nama baik yang harus saya jaga.

Dulu sewaktu SMP, SMA dan awal kuliah saya sempet punya ambisi…saya harus lebih besar dari ayah dan kakek saya… Kalau mau jadi aktor harus lebih bagus dari bapak saya… Tapi yang terjadi setiap latihan atau pentas teater, orang-orang akan selalu bilang “Ih mainnya ‘mbutet’ banget yah!” dan peristiwa itu terjadi sering sekali.

Ada yang sekedar bercanda tapi ada juga yang mengintimidasi. Ha ha ha ha… Saya malah jadi stress sendiri karena di dunia keaktoran teater akan selalu dibandingkan (dengan Butet, ayahnya) Tapi itu dulu…. Akhirnya aku berpikir ya sudahlah saya toh pada akhirnya tinggal menjalani petualangan hidup di depan mata.

Sejak usia 20 tahunan saya memutuskan untuk memilih dunia film dan audio visual sebagai media berkespresi. Saya punya production house, namanya Running Pictures. Ayah saya yang memilihkan nama itu. Biasanya saya jadi sutradara, produser, atau penulis skenario. Tapi diluar itu saya juga bisa freelance nge-crew bekerja untuk PH lain yg lebih besar atau PH dari luar negeri saya jadi fixer atau local producer. Lumayan dapat pengalaman dan digaji dollar. Sementara PH saya saat ini masih tumbuh berkembang dan merintis usahanya perlahan tapi pasti.

Kebetulan sekarang, saya akhir-akhir ini dapat tawaran main jadi aktor di beberapa film pendek bikinan filmmaker Jogja. Dan di usia saya yang 30-an ini beberapa sutradara film yang mengarahkan saya bilang bahwa saya punya gaya main yang tidak lah copy-paste bapak saya. Hal ini sudah bikin saya puas. Ya semoga yang akan datang, akan ada tawaran keaktoran di level yang lebih besar, main film layar lebar misalnya. Karena bagi saya prestasi itu bertahap dan berjenjang… Ya ibarat atlet pertama terjun berkompetisi dan juara di tingkat Porda (Pekan Olahraga Daerah –red), lalu PON (Pekan Olahraga Nasional –red), lalu Sea Games, lalu Asian Games… baru Olimpiade.

Dulu saat remaja saya pernah bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Saya ikut bergabung di sebuah klub lokal jogja, PSHW namanya yang ikut kompetisi se-Jogja dan Jawa Tengah. Saya bertanding sampai Semarang, Purbalingga, Magelang, dan kota di Jawa Tengah yang lain. Pelatih saya waktu itu menunjuk saya sebagai striker, Karena lari saya kenceng dan tembakan saya keras. Orang tua saya tentu saja juga memberi saya support. Jangan-jangan ini adalah jalan hidup seorang Giras. Sempat bapak akan mencarikan saya sekolah sepak bola yang lebih serius. Kalau perlu sekolah sepakbola ke Italia atau Spanyol. Tapi kemudian saya tersadar setelah berdiskusi dengan orang tua, bahwa masa edar dan jaya pesepakbola hanya sampai saat usia seseorang 30 tahun, habis itu harus pensiun. Belum lagi ada resiko patah kaki dan cedera yg lain.

Akhirnya saya memutuskan sepak bola nanya akan menjadi hobi saja, bukanlah profesi. Andai saya dulu jadi pemain bola beneran di negeri ini, hari-hari ini saya pasti pusing karena nganggur. Sepak bola adalah The Road Not Taken saya…

giras_002


QTapi dari proses selama ini, pernah ngga kamu merasa ‘Wah aku pasti bisa begini karena ada darah seni yg gede banget di dalamku!” atau “Wah aku pasti bisa begini karena meski karyaku mungkin ngga’ bagus tapi label-ku kan udah bagus banget… orang-orang pasti tau siapa bapakku dan siapa kakekku”


AKembali ke dunia film. Beberapa orang di Jogja pernah menyebut saya ini seniman balungan gede, seniman darah biru, seniman bersendok emas, film maker priyayi dan sinisme lain yang cukup menohok. Amin kata saya. Dulu saya risih, tapi saya sih sekarang menanggapinya dengan santai, ya kalau mau berkarya ya tinggal bikin aja selama tidak melanggar hukum dan menabrak aturan.

Sementara itu tentang bagus atau tidaknya sebuah karya itu sangat relatif, kalau di film tergantung selera penontonnya. Dalam sebuah acara pemutaran film, ada kritikus yang bilang bahwa film karya saya gayanya old fashioned – “mbangun ndesonan” (mBangun Desa adalah sebuah program acara di TVRI Jogja, ngetop di era 80an -red), kurang dramatis dan tidak menawarkan sesuatu yang baru.

Film karya saya bahkan diramal tidak akan diminati festival film. Saya sih senyum- senyum aja. Jangan-jangan film saya lebih cocok ditonton sama tukang becak, mbok-mbok jamu, pak tani, nelayan, atau masyarakat pada umumnya dibandingkan dengan kritikus film. Lha wong itu cara berekspresi saya dalam bikin film…mosok saya harus berpura-pura menjadi orang lain.

Saya kemudian berfikir ibarat tukang mbangun rumah jangan-jangan saya ini tukang arsitek rumah joglo atau limasan tradisional. Jadi saya tidak sedang bikin rumah gaya eropa, gaya minimalis, atau gaya mediterinia, atau kontemporer. Bukankah rumah joglo dan limasan masih diminati orang banyak. Biarkan saja toh saya bahagia dengan bikin film bertema budaya. Untungnya di forum itu ada juga penonton yang bilang suka sekali dengan film yang saya buat. Penonton lain ada yang bilang film saya karakternya jelas. Saya lega mendengarnya.

Saya sadar pengaruh orang tua itu besar sekali pada anaknya. Bohong besar jika saya bilang saya tidak pernah dibantu oleh keluarga besar. Dimana-mana karakter seorang anak pasti dipengaruhi orang terdekatnya, dan orang tua adalah simpul tali utama. Pola pikir, gaya bicara, selera berpakaian, selera makanan, gaya bercanda, dan cara memandang Tuhan, agama, pranata sosial dan yang lain pasti ada pengaruh kuat dari orang tuanya. Agama saya Islam, tapi sejak SD sampai SMA belajar di sekolah Katolik. Saya terlatih untuk menerima perbedaan. Saya tidak mau merasa agama saya satu-satunya yang paling benar… Semua punya logika dan kebenarannya masing-masing. Saya percaya Tuhan, dan seperti kata Gus Dur…. Tuhan Tidak Perlu Dibela.


QKamu sekarang tampak bisa me-luweh-kan (membiarkan -red) anggapan mereka yang sinis kepadamu tapi tentu ini butuh proses. Mari kita bicara dalam scoope yang lebih luas, bagaimana dengan anak-anak seniman lainnya yang mungkin belum bisa melewati masa yang telah kamu lewati (dalam menghadapi sinisme itu). Apa tips darimu untuk anak-anak seniman yang sedang berproses? bagaimana supaya jangan sampai sinisme itu menghancurkan proses berkarya sehingga hasilnya malah mawut dan malah mbikin orang berpikiran “Nah, bener tho… pancen mawut kok ora luwih apik lan ora iso luwih apik ketimbang bapak/ibuk-e” (Nah bener, kan? memang berantakan kok, nggak lebih baik dan memang nggak bisa lebih baik ketimbang bapak/ibunya)


AWaduh, terus terang kalau ngasih tips buat orang lain saya kurang PD ya, lha wong saya sendiri masih berjuang untuk sukses jhe.

Secara gojek, dulu kawan saya, seorang stage manajer di teater, pernah mengusulkan pada saya untuk membentuk Paguyuban Anak Kabotan Jeneng Bapak (maaf saya nggak bisa menemukan padanan kata yang enak dalam Bahasa Indonesia -red)…. Anggotanya adalah anak yang selalu dibandingkan sama bapak nya. Hahahaha…lucu sekali.

Sebetulnya tidak sulit kok, asal bisa menjaga nama baik dan memanfaatkan fasilitas serta akses yang ada. Saya rasa malah jauh lebih sulit jika punya orang tua yang yang diciduk KPK karena korupsi, atau kesandung kriminal sampai masuk penjara, atau berbuat asusila dan dipermalukan secara masif di media sosial. Justru itu jauh lebih berat menghadapinya. Saya salut buat kawan-kawan yang mampu menghadapinya. Tetap tegar di saat badai datang.

Kita tidak bisa memilih siapa orang tua yang melahirkan kita, namun kita sangat bisa untuk memilih kita mau mengikuti jejaknya, menjaga kehormatannya, atau sama sekali tidak mau ikut campur urusan orang tua. Sesungguhnya saya dan orang tua tidak selalu seiya sekata dalam segala hal. Wajar saja jika kami sering berbeda pendapat, namun semua bisa didiskusikan secara egaliter. Saya bersyukur punya orang tua yang bukan type diktator atau main kasar kalau sama anaknya yang salah. Kalau dalam keluarga kami, bila ada masalah kami cari solusinya bersama. Saling memaafkan dan menguatkan.

Tentang pencapaian sukses bisa melebihi orang tua atau tidak, kini sudah bukan prioritas pikiran saya lagi. Seseorang menjadi besar atau berada di posisi puncak pastilah banyak tangan-tangan yang menyokongnya. Mungkin saya sedang melakukan fungsi itu, saya menjadi asisten orang tua dalam banyak hal dan saya bahagia melakukannya. Toh hidup ini tidak melulu ngomongin mengejar ambisi cita-cita eksistensi dan tetek bengeknya namun ya tidak boleh lupa harus mensyukuri apa yang ada.

Giras di depan Warung Bu Ageng, Jogja.

Giras di depan Warung Bu Ageng, Jogja.

Saat ini selama 4 tahun terakhir saya menjadi manajer restoran Warung Bu Ageng. Restoran ini milik keluarga dan terletak di Tirtodipuran, daerah wisata Jogja Selatan yg strategis. Banyak sekali turis asing dan turis domestik yang mampir. Orang tua saya melibatkan anak-anaknya untuk mengelola bisnis ini.

Saya sekarang kecemplung di dunia restoran. Saya pernah bercanda dalam hati membuka restoran itu seperti shooting serial tv. Setiap pagi saat warung buka, itulah dimulainya episode baru. Orang tiap hari butuh makan, tapi tidak tiap hari orang butuh nonton film. Industri film bioskop kita harus bertarung dengan pembajakan secara masif, dan ancaman sepi lesunya penonton dan berpotensi ndak balik modal atau rugi. Tapi saya yakin suatu saat saya akan menyusul filmmaker muda Jogja kawan-kawan lama saya yang sekarang sudah pada pada bikin film panjang di bioskop. Cita-cita ibarat nyala api itu senantiasa saya jaga tetap terus menyala. Jangan sampai padam. Saya akan bikin film lagi.

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Jadilah diri sendiri. Mantap, apa yang tersirat dikatakan Giras.

    Balas
    • Mari berjuang jd diri sendiri itu lebih baik hehe

      Balas
  2. Paguyuban Anak Kabotan Jeneng Bapak

    Ketua dewan pembina Ibu Megawati, :D :D

    Balas
  3. aku setuju dengan pola pikir Mas
    kabotan jeneng bapak ki memang pas buat Giras
    dia besar ketika bapaknya juga mulai besar dengan konsep monolognya
    nek saiki mung jaga warung ya ga bisa dipandang remeh juga
    ga bisa dipungkiri dan dilupakan seorang mark zul yg seorang pesbuker paling pesbuk pernah mampir ke sana
    Giras yg aku kenal dulu kethoke ya ga berubah
    masih seperti gaya sampakan yg menjadi dasar guyonan maupun proses berpikirnya
    ning ya 15 taun ra ketemu aku ga bisa memastikan apakah dia masih sebutet masa itu
    salam nggo Giras ya Mas..

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.