Geo membuatku menjadi merasa lebih tua dari sebelumnya. Ialah orang pertama yang berhak memanggilku ?Pakdhe? karena ia keponakanku, anak adikku, Chitra.
Tapi meski jadi merasa lebih tua, melalui Geo aku juga bisa menggali kenangan masa kecilku dulu.
Aku melihat diriku, tiga puluh tahunan lalu dalam dirinya.
Aku lahir dan bertumbuh di rumah kampung Tegal Blateran Klaten. Rumah yang sama yang dijadikan tempat tinggal Geo dan keluarga orang tuanya.
Teman bermain Geo sehari-hari adalah anak dari teman-temanku masa kecil dulu.
Perjumpaanku dengannya minggu kemarin semakin menguatkan gambaran diriku dulu di dalam dirinya, diri Geo.

Aku dan Geo. Yang Kiri (aku ber singlet) adalah Juni 2016, yang mengenakan kaos hitam adalah Maret 2015
Dulu setelah bangun pagi, Mama membawaku ke kamar mandi untuk pak-pung (mandi.. O gosh, aku udah lama banget gak pakai istilah itu dan aku tak tahu kenapa mandi bisa jadi pakpung).
Sesudahnya Mama menyuapiku bubur ayam sembari mengajak jalan-jalan ke tepi sawah yang di sisi seberangnya berbatasan dengan rel kereta api, menunggu kereta pagi lewat.
Sepulang dari sana Mama mengajakku ke pasar untuk berbelanja sayuran untuk makan bagi Eyang (Ibuk), Mbak Yo (Tante Yohana) dan Mas Kokok (Om Kokok) adik-adiknya.
Begitu sampai rumah, biasanya Agus Cilik, anak tetangga, sudah menanti di rumah untuk bermain bersama.
Lalu kami menggelar koleksi mainanku dan bermain bersama sementara Mama masak di dapur ditemani suara radio AM yang memutar entah itu Rafika Duri, Vina, Chrisye atau yang lainnya.
Geo juga kurang lebihnya sama.
Setelah bangun ia pakpung. Lalu dibawa jalan-jalan oleh pengasuhnya, Mbak Tini yang dulu merawat Mama di akhir masa hidupnya, untuk sarapan. Tidak ke sawah untuk melihat kereta karena sawah sudah hampir semuanya lenyap dipakai untuk rumah.
Sepulang sarapan ia ke pasar bersama Mbak Tini sementara papa-mamanya pergi bekerja. Sepulang dari sana, anaknya Agus Cilik, kawan mainku waktu kecil, sudah menanti untuk bermain bersama sementara Mbak Tini memasak dan mendengarkan radio AM memutar campursari dan Eyang berdoa rosario sambil melamun di kursi belakang rumah.
Geo, bagi almarhumah Mama, di hari-hari terakhirnya juga seolah menjadi representasi diriku. Hal ini diucapkan berkali-kali oleh Chitra.
?Mama kayak ngeliat kamu di dalam diri Geo, Mas.? sesuatu yang ringan tampaknya tapi bagiku, ucapan Chitra itu begitu dalam kurasakan dan kelengkapan rasanya tak bisa kuceritakan di sini.
Geo kerap tidur di kamar bersama Mama, nonton tv, main-main pokoknya bersama Mama yang dipanggilnya Uti Tyas itu.
Dulu setiap aku menelpon atau melakukan video conference dengan Mama, ia sering memanggil-manggil Geo seolah ia memanggil-manggilku.
Ada dua pesan terakhir Mama terkait Geo.
Pertama melalui perawat yang mengurusnya. Mama berpesan supaya tak ada seorang pun yang mensia-siakan maupun membentak Geo. ?Aku titip putuku. Aja digetak-getak yo, Mbak! (Aku titip cucuku. Jangan dibentak-bentak yo Mbak – jw)?
Kedua terkait denganku.
Mama pernah memintaku untuk membelikan kalung emas untuk Geo saat ia berulang tahun pertama November 2015 silam. Tapi sayang, waktu itu kondisi keuanganku sedang tidak memungkinkan sehingga aku tak bisa meluluskan permintaan Mama itu.
Begitu aku mendengar Mama meninggal, 7 Maret 2016 silam, salah satu hal yang langsung kuingat dan ku-ikthiar-kan untuk kulakukan adalah meluluskan keinginan Mama yang belum kesampaian itu.
Maka, rabu pagi minggu lalu (15/06), aku jalan kaki ke toko emas dekat Pasar Proliman Klaten untuk membeli kalung emas. Atas saran Budhe-nya Geo, Joyce – istriku, aku juga membelikan liontin salib dari emas juga.
Sore harinya kuserahkan semuanya dalam bungkusan kepada Chitra, adikku. ?Chit, ini sesuai janjiku ke Mama. Jadi ini bukan dariku dan bukan dari Kak Joyce. Ini dari Mama??
Ia menyimpannya, aku lega sudah menuntasi janjiku ke Mama…
Saat pulang ke Sydney, Jumat (17/06) kemarin, aku tak sempat memeluk dan mencium Geo.
Ia terlelap tidur di kasur dan aku tak tega untuk membangunkannya.
Inginku tentu ingin memeluk dan mencium seraya pamitan pada jagoan kecil itu. Tapi aku benar-benar tak tega. Lebih baik ia menuntaskan tidurnya ketimbang harus kubangunkan dan kuuyel-uyel hanya untuk kepuasanku sendiri, egoku pribadi.
Aku hanya menatapnya yang terlelap dari pintu. Lirih aku berpamitan kepadanya, ?Geo, Pakdhe pulang dulu ya??
0 Komentar