Persoalan bahasa sebenarnya bukan kendala utama ketika kamu memutuskan untuk pindah ke suatu tempat di luar negeri yang menggunakan bahasa yang berbeda dari yang kau gunakan sebelumnya. Katakanlah kita pindah ke negeri yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa resminya, berkat globalisasi, sekian puluh persen materi bahasa yang harus kita pelajari telah kalian dapat entah itu lewat siaran televisi, radio, internet dan yang lainnya.
Masalah utama menurutku adalah penyesuaian budaya karena tak semua budaya yang kita biasa lakukan di negeri asal itu bisa diterima di negara tujuan. Inilah tantangannya. Ibarat kata meniti di atas sebuah sebilah bambu, kamu tak perlu harus terjun ke budaya baru dengan meninggalkan budaya lama, tapi juga tak berarti kamu menolak mentah-mentah budaya baru hanya demi rasa gengsi dan ingin menonjolkan identitas diri.
Nah, sebagai bahan renungan pada peringatan tiga tahun kepindahanku ke Sydney, Australia 1 November 2011 silam, berikut adalah hal-hal terkait dengan perbedaan budaya yang kualami dan bagaimana aku menyesuaikan diri terhadapnya, tak sanggup kurangkum semua, hanya beberapa di antaranya saja.
Salam
Entah kalian, tapi di keluarga dan lingkungan sekitarku dulu, menguluk salam semisal ‘Hai, selamat pagi!’ atau ‘Hi, apakabar?’ juga ‘Eh, bagaimana akhir pekanmu kemarin?’ adalah hal-hal yang ‘tak wajar’.? Tapi di Australia sini, hal-hal seperti amat diperlukan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Dulu aku cukup canggung untuk mempraktekkannya ke teman-teman kantor karena aku takut nggak bisa balas karena bahasa Inggrisku yang pas-pasan kalau dia bales tanya dan pakai macam-macam pula!
“..salam bukan lagi menjadi sebuah basa-basi semata karena lebih dari itu, ia adalah ice breaker yang ampuh.”
Tapi lama-kelamaan aku terbiasa. Bahkan, pada akhirnya salam bukan lagi menjadi sebuah basa-basi semata karena lebih dari itu, ia adalah ice breaker yang ampuh. Misalnya ketika Senin pagi, kebanyakan orang masih malas bahkan untuk duduk di kursi masing-masing dan menghidupkan komputer. Tapi berbekal satu pertanyaan ‘Eh, gimana weekendmu kemarin? Cuacanya asik ya?!’ komunikasi dengan kawan pun lancar karena mereka menimpali dengan semangat pula menceritakan aktivitas akhir pekannya yang kalau dalam bahasa mereka “Mine was soooo fantastic!”
Maaf dan Terima kasih
Kebanyakan orang di sini sangat peka terhadap dua kata, ‘sorry’ (maaf) dan ‘thanks’ (terima kasih) dalam bersosialisasi.
“Orang-orang sini cenderung untuk lebih baik merendahkan diri di depan orang lain pada awalnya ketimbang langsung meninggikan diri…”
Misalnya kamu berpapasan dengan orang di sebuah gang sempit dan kalian berdua kaget, biasanya kata yang pertama kali muncul adalah “Upss… sorry!” meski belum tentu pihak yang berkata demikian adalah pihak yang salah. Demikian juga misalnya kamu beli sesuatu, katakanlah yang mudah dicontohkan, fast food di restaurant. Ketika paket makanan diserahkan, baik si pembeli maupun si penjual biasanya akan berebut ngomong ?Thanks!?
Esensi dari ?maaf? dan ?terima kasih? sebenarnya simple. Orang-orang sini cenderung untuk lebih baik merendahkan diri di depan orang lain pada awalnya ketimbang langsung meninggikan diri karena ketika kita meninggikan diri, kemungkinan untuk membuat ‘masalah’ dengan orang yang kita hadapi akan meningkat dan itu tak baik. Utamanya untuk urusan-urusan ?sepele? seperti kucontohkan di atas, menjadi pihak yang ?tampak? bersalah toh tak kan rugi apa-apa.
Awalnya dulu aku juga sangat susah untuk berucap ‘sorry’ dan ‘thanks’ dan aku begitu malu oleh karenanya. Perasaan malu yang amat-sangat muncul karena aku tahu asal-usulku, Indonesia, negeri yang penduduknya terkenal ramah, rendah hati, suka menolong, tak emosian, suka berterima kasih, taat beribadah dan bersikap baik itu…
Omong fisik
Di dalam masyarakat Jawa, tubuh berisi (tak harus gemuk tapi yang pasti tak kurus) menandakan hidup yang mukti, sejahtera. Oleh karena itu ketika ada seorang yang menggemuk sesudah menikah misalnya, orang-orang akan berkomentar dalam nada bicara positif seperti misalnya “Wah, kamu udah nemuin apa yang kamu cari ya? Udah tenang sekarang?” atau kalau mau yang lebih ‘seronok’, “Wah, cocok susunya?” Dan kamu tahulah ‘susu’ yang dimaksud itu apa?
Tapi di sini, hal-hal seperti itu jika diungkapkan ke semua orang tanpa pandang bulu bisa berakibat fatal. Salah satu temanku pernah bercerita bahwa temannya secara tak sengaja berkomentar “You looks so bold.. but cute!” ke teman kerja wanitanya yang baru saja pulang berlibur dan tampak gemukan mungkin karena terlalu asyik menikmati kuliner. Akibatnya? Si Cewek tersinggung dan melaporkan teman tadi ke pengadilan dan denda.
Puji Tuhan hingga saat ini dan semoga selanjutnya aku tak terpancing untuk bercanda maupun memuji ataupu melecehkan dari sisi fisik terhadap satu dari mereka. Padahal kalau kalian tahu aku secara personally, dulu aku sangat mudah terpancing untuk meledek orang dari ciri fisiknya. Misalnya teman yang jalannya timpang dulu kubilang “Eh, jalannya kan rata dan ngga berlobang kok loe jalannya pincang?!” atau kalau ada teman yang tak terlalu tinggi (badannya) langsung kubilang “Eh, kamu berdiri dong!”
Bayangkan kalau aku tak bisa melepas caraku becanda di sini, bisa-bisa uang gaji habis untuk membayar denda sana dan sini.. Ih, amit-amit!
Tuhan dan agama
Waktu aku diinterview kerja awal pindah ke Australia dulu, salah seorang penanya bertanya kepadaku,
“Apa yang kau lakukan ketika senggang, Donny?”
Dengan mantap kujawab “Aku aktif di pelayanan di gereja ku. Kamu?”
“Hmmm, fishing.. atau traveling dengan keluargaku…”
“Oh, kamu nggak ke gereja juga.. Eh agamamu apa?”
“di situ aku bisa semakin merasakan betapa Tuhan itu sangat besar kuasa dan maafnya karena Ia toh tak marah serta murka terhadap mereka yang pada akhirnya punya cara pandang masing-masing untuk mengimaniNya, termasuk yang menolakNya.”
Dia hanya tersenyum, tak kecut tapi dari bahasa tubuhnya menampilkan bahwa ia tak terlalu nyaman kutanya begitu.
Untung aku diterima kerja di tempatnya dan untung pula beberapa saat kemudian ia, si penanyaku itu, jadi sahabat di kantor. Ketika kuceritakan pada istriku tentang bagaimana aku dekat dengan orang tersebut, Ia kagum dan berujar “Beruntung kamu karena dia baik!”
“Heh?”
“Iya! Orang sini paling nggak bisa ditanyain hal-hal bersifat sangat personal begitu…”
Ya, agama dan bahkan Tuhan adalah urusan masing-masing di sini. Jangankan ditulis di KTP tentang ‘apa agamamu’ seperti di Indonesia, ketika ditanya pun belum tentu orang-orang sini mau menjawab, seperti temanku tadi. Orang di sini bebas untuk tak beragama dan tak ber-Tuhan sekalipun dan kita dilarang untuk menghakimin dan melecehkan satupun.
Butuh proses untuk setuju dengan konsep ‘tak menghakimi’ tersebut dan justru uniknya, ketika aku tak memedulikan apakah seseorang itu ber-Tuhan atau tidak, di situ aku bisa semakin merasakan betapa Tuhan itu sangat besar kuasa dan maafnya karena Ia toh tak marah serta murka terhadap mereka yang pada akhirnya punya cara pandang masing-masing untuk mengimaniNya, termasuk yang menolakNya.
Panggil nama langsung
“…karena bagiku inti dari merendahkan diri dan menghormati yang lebih tua bukan dengan cara seperti itu saja.”
Ada masa dimana dulu aku bahkan diharuskan memanggil bayi orok yang baru lahir sebagai “Mas” atau malah “Om” hanya gara-gara orang tuanya lebih tua atau tepatnya mereka adalah om dari orang tuaku sendiri, orang Jawa bilang aku ‘kalah awu‘. Tapi aku tak mau tunduk pada aturan-aturan seperti itu karena bagiku inti dari merendahkan diri dan menghormati yang lebih tua bukan dengan cara seperti itu, atau bisa jadi tak hanya ‘dengan cara itu’ saja.
Jadi, ketika aku pindah ke sini dan mendapati tradisi ‘panggil nama langsung’, aku asik-asik aja. Ya, di sini bisa dibilang orang memanggil dengan sebutan “Sir” atau “Mister” ketika berada dalam urusan yang sangat formal dan hal itu sangat jarang terjadi karena bahkan dalam rapat perusahaan pun, seorang CEO juga akan dipanggil nama langsung oleh anak buah dari anak buahnya sekalipun.
Jadi jangan percaya kalau orang-orang sering membahasakan bahwa kalau ketemu bule kita harus menyapa dengan sebutan “Hi, Mister!” atau “Hi, Sir!” Itu sih cuma ada di lagu-lagu dan cerita-cerita usang :)
Aku pernah punya teman, namanya James. Waktu aku cerita ke Mama lewat telepon tentang temanku itu, ia mengira James berusia kurang lebih sama denganku. Aku ngakak mendengar tebakannya karena kubilang pada Mama bahwa usia James bahkan lebih tua darinya, “Umurnya James itu 72 tahun, Ma!”
“Loh kok kamu panggil njangkar (panggil nama langsung -jw)?”
“Lah lalu apa yang kau sarankan? Pakde? Eyang?”
Ketika ceritaku ke Mama itu kuceritakan pada James, ia hanya tergelak dan berujar “I’m James! And always be James!”
Ya…
Makan-makan? Bayar sendiri-sendiri
“Walah! Apa hubungannya antara bayar-membayar dan esensi syukuran?”
Aku pernah hampir mempermalukan diri sendiri dalam acara makan-makan ulang tahun teman kantor lamaku. Alasannya simple, siang itu, dalam acara makan-makan di restaurant, aku lupa bawa uang! Untung restaurannya menerima pembayaran via kartu ATM atau yang di sini populer dengan sebutan efpos. “Lho acara makan ulang tahun teman, kamu yang disuruh bayar?”
Di sini, pesta makan-makan ulang tahun atau pesta apapun bukan berarti dibayari oleh yang mengundang kecuali memang ada pernyataan yang menyatakan demikian. Acara makan-makan ulang tahun, misalnya, si pengundang, alias yang berulang tahun hanya memutuskan di restaurant mana pesta akan diadakan, tapi makan dan minum ya bayar sendiri-sendiri.
Wah kalau begitu dimana esensi syukurannya kalau yang ulang tahun nggak mbayarin? Walah! Apa hubungannya antara bayar-membayar dan esensi syukuran? Bukankah kalau si pengundang acara membayar sampe tekor untuk semua hidangan dan dia nggak punya uang jadinya, lantas kalian baru bilang “Sukurin!” Itukah esensi ‘sukurin’? Eh, ‘syukurin’ maksudku?
Wahahahaha asyik nih
Beberapa aku sudah tahu seperti ttg agama, panggilan langsung
Tapi yang lainnya, aku baru tahu setelah baca posting ini
Kalau refleksi ke Indonesia
Kita gagal untuk membangun budaya/kebiasaan Indonesia
Apa yang dikritik doni sebenarnya lbh merupakan imbas negatif dari budaya birokrat kita. Panggilan pak dosen, publikasi hal privat spt agama
Saatnya orang muda Indonesia menciptakan budaya masyarakat kita
Di antara semua yang ditulis di sini, cuma satu yang bikin aku bingung tentang tradisi traktiran. Karena aku punya beberapa kenalan orang bule, nah kalau mereka mengundang aku datang ke sebuah acara ya mereka traktir aku…mungkin karena mereka di Indonesia kali ya…
Waaahh kalau menyinggung bentuk fisik itu ada di indonesia.. bs2 gaji aku habis yak buat bayar denda mas.. hahaha..
Dan soal makan2 itu sama.dengan belanda deh.. aku pernah baca soalnya di.sebuah buku..
Yups…
Hampir semuanya dah kudapat n kuterapin, baik dikehidupan sehari-hari pun di kerjaan…
Kang Donny tahulah…. :P
Ops, mengenai kita, generasi kita….
Memang sepertinya aku teramat setuju dengan ungkapan shobat MartoArt, bahwa kita ini bukan lagi sebagai generasi “sendika dhawuh” namun lebih harus menjadi ‘generasi pendobrak’. Memang banyak ajaran para orang tua itu baik, namun tak lantas SELALU bisa menjadi baik kalo harus kita terapkan ke SEMUA orang, ’empan nggo papan’ yang menjadi kuncinya…
Btw, Thanks Kang….
Hmm… memang yang sangat pribadi itu tabu ditanyakan kalau di luar. Beberapa teman dan keluarga jg menceritakan hal yang sama, bahwa di sana itu — mungkin — lebih indivualis jadi janganlah terlalu mencampuri urusannya.
Tapi Don, aku menyukai urusan panggil nama langsung itu. Rasanya lebih akrab dan kita pun seakan setara…. :)
Saya sangat setuju yang bagian bayar sendiri-sendiri. Sangat masuk akal! Beda dengan di Indonesia kalau ulang tahun bakal dikerjain habis-habisan, kemudian disuruh traktir teman-temannya. Ritual yang aneh! hahahaha…
dari semua yang kamu sebutin itu, rasanya yang agak aneh kalau aku mesti melakukannya adalah nomor satu dan yg soal panggil nama langsung. hehe. kalau yg pertama itu, memang di sini kita tidak ada budaya menyapa ya. paling2 hanya senyum saja kalau ketemu orang baru. eh, itu makin terasa kalau di jakarta, don. lalu untuk memanggil nama langsung, kalau ketemu orang yg lebih tua biasanya aku cenderung manggil dia: mbak, mas, pak, bu. tapi aku sendiri sebenarnya lbh suka dipanggil nama langsung, meski oleh orang yg lbh muda.
jadi kalau ketemu bule gimana om? tanya namanya dulu ? hihi
Wah gegar hati saya.. #galau
sapaan di pagi hari terasa sangt menyenangkan
terutama ditegur oleh penjaga pintu tol yang menyapa selamat pagi boss, sambil tertawa lebar
(yang lainnya tanpa ekspresi sekedar menerima uang saja)
basa basi sorry dan terima kasih memang jarang bahkan dari orang yang telah kutolong
aku pernah cerita tentang mengingatkan orang yang tak mengambil uang yang ditariknya di ATM
dia hanya cuek bebek ambil dan pergi tanpa sepatah kata
sopan santun dari dunia Barat itu tak ada salahnya diikuti
tapi kalau soal panggilan, aku masih merasa tak nyaman jika harus panggil nama saja
Lebih lucu lagi ngundang pesta kok kita disuruh “bawa piring masing-masing”. Ternyata setiap orang harus urun hidangan. Lantas beberapa resto yang tak menyediakan anggur memasang tulisan BYO — saya kira diminta bawa botol kosong ternyata tidak :D
Soal “maaf” dan terutama “terima kasih”, kadang saya bertanya kepada diri sendiri betulkah orang Indonesia itu ramah? Kira-kira dari 10 kali menahan pintu kaca di mal atau pintu kayu toilet, agar orang lain tak repot, yang mengucapkan terima kasih hanya tiga orang. PR terbesar saya adalah mengajari anak-anak saya berterima kasih kepada siapapun, termasuk pramusaji dan tukang ojek.
Kalau ada acara makan2 dan minum2 sih, kebiasaan di Jepang agak beda. Biasanya biaya makan/minum dibagi rata pada para peserta. Gak enaknya kalau yang makan minum sedikit disuruh bayar sama besarnya dengan yang gembul. Kesannya kayak subsidi silang :P
Makanya aku paling males ikutan acara makan dan minum tempat yg ada minuman alkoholnya. Mereka semua pesan minuman beralkohol yang mahal seperti sake, wiski dan anggur, aku cm minum air teh dan soda doang. Rugi deh…. :D
tes komen..
maaf mas, sekian kali mencoba komen di post yang ini kok gagal ya, mudah-mudahan yang ini masuk.
Wah, keren banget!
Aku cuma tahu hal2 tabu yang gak boleh ditanyakan ke org bule yaitu penghasilan, umur dan pekerjaan, tapi setelah baca artikel ini jadi tahu bnyak.
Thanks a lot yah! :-)
Tips yang bagus banget, jadi aku gak usah ngalamin gegar budaya ya, jalanin saja