Sadar nggak sadar, suka nggak suka, teknologi fotografi digital bisa dibilang telah ikut membantu mencetak banyak fotografer baru!
Saya amat-amati sejak booming awal dekade 2000 an ini, yang namanya fotografer yang semula bukan berprofesi sebagai juru jepret mulai bermunculan.
Beberapa teman lama, dalam tempo setidaknya empat tahun ini sering memberiku kartu nama pribadinya.
Dengan senyum khas mereka masing-masing, diserahkannya kartu dengan design yang mutakhir, “Nih Don! Kartu namaku!”
Saya pun kaget dengan title yang ada menyertai namanya “Digital Photograper” atau Digital Imager”
Wew! Saya pun manggut-manggut, setidaknya teman-teman saya yang dulu itu bekerja sebagai penjaga warnet, mahasiswa yang malas kuliah serta tukang kongkow di warung 24 jam muka rumah itu
telah “mentas” telah memiliki pekerjaan sebagai fotografer lengkap dengan backpack-backpack besar mereka yang sepertinya berisi alat-alat perang D-SLR dengan beberapa lensa pendukungnya.
Lantas kenapa bisa demikian?
Menurut saya, fotografi digital memicu lahirnya fotografer-fotografer baru karena sifatnya yang praktis.
Bayangkan, untuk mengetahui hasil jepretan Anda tidak perlu pergi ke photo lab lalu menunggu beberapa jam untuk cuci dan cetak di sana seperti yang terjadi pada kamera analog.
Semuanya serba instan, jepret… lalu beberapa detik berikutnya hasilnya sudah bisa dilihat di backscreen kamera.
Belum lagi soal begitu banyaknya hasil pemotretan yang gagal total karena sebab-sebab yang tak begitu disangka seperti misalnya rol film yang tidak mau menggulung, membuka
tutup belakang kamera ketika film belum total tergulung yang mengakibatkan film terkena sinar dari luar lalu terbakar, atau kesalahan teknis-teknis yang sifatnya mendasar seperti salah
hitung diafragma dan speed, misalnya.
Wah, kalau sudah begini, persoalan memotret sudah masuk ke ranah betapa pentingnya momen serta waktu.
Maksudku, kalau untuk pemotretan model jelas lebih gampang, tinggal kontak si model untuk reschedule pemotretan ulang di waktu yang akan datang, habis perkara.
Tapi bagaimana kalau hasil pemotretan untuk sebuah acara sunatan anak tercinta rusak karena kesalahan-kesalahan seperti kutulis di atas?
Kan ya jelas ndak mungkin tho kalau anak kita lalu disunat lagi :)
Soal biaya juga menjadi soal kenapa teknologi analog banyak ditinggalkan dan membuat orang banyak belajar fotografi pada era digital.
Saya ingat betul banyak teman fotografer analog dulu menggerutu karena begitu borosnya membeli rol-rolan film.
Bayangkan, untuk satu rol film berisi 36 shot harganya mencapai sekitar 16 ribuan.
Itu diluar ongkos cuci cetak yang semakin hari harganya pasti semakin melambung mengingat harga kertas, BBM serta efisiensi kerja yang semakin mahal harganya itu.
Belum lagi kalau kita butuh memotret menggunakan slide yang memang memiliki kekayaan warna lebih menonjol itu, tak kurang dari 36 ribu kita keluarkan untuk membeli rol slide negatifnya.
Dari satu rol film yang harganya 16 ribuan tadi, masih kata teman saya yang fotografer dulu itu, praktis ia butuh setidaknya 5 – 6 shot untuk melakukan bracketing (uji coba untuk mendapatkan
hasil terbaik) terhadap satu obyek. Jadi dengan kata lain, dalam satu rol film, maksimal hanya akan ada 6 – 7 obyek yang sama, bukan?
Sementara para fotografer digital, keadaan adalah sebaliknya.
untuk memotret, praktis mereka hanya butuh media penyimpan seperti MMC dan SD Card yang harganya kian hari kian mur-mer itu.
Untuk satu sesi pemotretan pre wedding misalnya, teman saya yang lain yang adalah fotografer digital itu praktis hanya perlu membawa dua keping SD Card berukuran 1GB serta sebuah laptop.
Dan kata kunci yang pada akhirnya memenangkan fotografi digital ketimbang fotografi analog, dari sisi media perekam adalah adanya sifat reusable, bahwa satu keping SD Card itu bisa dipakai
berulang-ulang kali untuk menyimpan gambar-gambar yang baru.
Dari efek-efek itu lah pada akhirnya membuat manusia-manusia fotografi digital baru bisa memiliki improvisasi yang luar biasa dalam hal memotret.
Manusia bisa karena biasa, atau dengan kata lain manusia bisa karena belajar.
Fotografi digital, disukai ataupun tidak memberi arti lebih pada kata “belajar” itu sendiri.
Ia membuat para fotografer belia tidak takut-takut lagi untuk jeprat-jepret ke sana ke sini untuk mendapatkan hasil yang paling bagus.
Selama masih ada ruang di kartu media perekam seperti MMC dan SD Card ya santai saja.
Paling-paling penetrasi pembiayaan tinggal pada pengadaan lensa yang memang harus diakui masih mahal.
Tapi, ah, kalau mau yang pas-pasan ya bisa juga pakai kit lens atau beli satu yang punya vocal length yang jauh seperti misalnya jenis lensa 18 – 200.
Selebihnya? Biar Photoshop yang berbicara!
Itu baru soal fotonya, soal jeprat-jepretnya.
Dukungan dunia digital dalam hal penyediaan media pamer (galeri foto) pun juga memberikan arti yang maksimal bagi para fotografer di ranah digital.
Coba ingat dan bayangkan, bagaimana mahalnya seorang fotografer kalau ia harus mengadakan pameran foto di gedung-gedung yang representatif.
Ia harus membayar sewa gedung, kurator, pengadaan properti seperti frame, rak dan tetek bengeknya belum lagi soal konsumsi untuk pengunjung.
Wew, bisa jutaan itu! Teman lama yang dari tadi saya ceritakan di sini itu pun berujar bahwa pada masanya dulu, pameran adalah hal yang paling berat tapi mutlak untuk dilakukan.
Untuk itu ia terpaksa harus patungan dengan teman-temannya sesama fotografer untuk menalangi biaya pameran.
Tapi lihat sekarang! Internet dengan kekuatan konsep web 2.0 yang begitu menggejala sedikit banyak telah memberikan nafas lega bagi mereka, fotografer itu.
Mereka tak perlu lagi sewa tempat serta ngurus tetek bengeknya. Cukup daftar di situs-situs jejaring sosial yang bergerak secara khusus di bidang fotografi,
atau bisa pula sewa hosting dan suruh orang untuk bikin website dengan biaya dibawah hitungan lima juta rupiah, maka fotografer-fotografer itu bisa pamer hasil karyanya secara permanen.
Nggak peduli ada atau tidak orang yang mau lihat dan datang, pokoknya tinggal pamer.
Kalau bosan atau karena laporan statistik menyebutkan bahwa foto tersebut kurang diminati, ya tinggal dihapus tho! Habis perkara!
Itulah dunia digital! Dunia yang secara teknis sebenarnya hanya dirangkai dari dua angka biner, 0 dan 1, namun keberadaannya telah begitu banyak membius kita.
Tinggal bagaimana kita menanggapi pembiusan itu sendiri.
Mau terlena atau justru membuat kita semakin sadar bahwa digitalisasi itu datang menawarkan satu perubahan yang positif bagi kehidupan kita.
Gambar diambil dari sini, sini dan sini
Sekarang udah Ada web 3.0
..
saya yang pengangguran ini sering dapat kerjaan kalau lagi pengen Moto.
Hehehe..
apa aja di Foto.
hehehe
Waduh, kami-kami ini mesti membaca tulisan sepanjang ini?
Memberantas pengagguran di sisi yang satu tapi menambah pengangguran di sisi yang lainnya. Lihat saja para pemotret keliling yang ada di tempat-tempat wisata satu per satu mulai menghilang akibat para pengunjung membawa foto digital sendiri. Lihat juga para pemotret di tempat pesta jumlah mereka juga semakin berkurang.
Sepertinya perlu diteliti lebih dalam nih Pak. Apakah mengurangi atau malah menambah pengangguran.
@Rafki: Justru itu Pak…
bukankah pihak yang terdesak seperti tukang foto di tempat wisata itu harus lebih kreatif lagi mengakali adanya keadaan ini?
bener apa yang mas tulis, temenku jadi punya penghasilan dari photo-photo manten. Padahal duluunya cman ngadep skripsi yang ndak kelar kelar, sekarang juga gitu. tapi dapet duit dari moto manten
Nb: Blitarku kauman mas, kita berarti se kecamatan kalo gitu
@Dhika:
Ouwww di Kauman!
Aku ndak begitu paham soal Blitar kecuali rumah nenekku, nasi pecel depan rumah BK, soto MADURA !!!
Argh!!!
Nanti… oktober nanti waktu lebaran aku ke sana, dan smoga kita bisa bertemu, Mas :)
di Jepang penjualan manual SLR skrg udah mulai tewas lho… jadi kasian sama kamera2 tempoe dulu =/
Disatu sisi memberantas pengangguran jadi seniman jalanan dengan DSLR murah meriah,
di sisi lain meningkatkan pengangguran buat para fotografer2 kuno yang gaptek… Papah saya termasuk korban =(
Yah, namanya juga hidup.
Perkembangan teknologi merupakan suatu hal yang tak terbendung. Termasuk fotografi digital. It happens when it should happen.
Setiap perkembangan dan kemajuan selalu bersisi dua, negatif dan positif. Seperti makan obat, berefek penyembuhan sekaligus berefek samping. Seperti juga bekerja, memperoleh penghasilan untuk hidup tapi mengurangi waktu pribadi dan keluarga. Tapi, tanpa obat tak akan sembuh dan tanpa bekerja tak akan hidup layak sebagai manusia.
Semua tergantung kepada cara pandang. Apakah sebuah gelas disebut separuh isi atau separuh kosong? Apakah guru yang men-straap muridnya disebut kejam atau disebut mendidik? Apakah lampu lalu lintas dipandang sebagai penghambat perjalanan atau pembuat lancar perjalanan?
Orang-orang yang “lahir” di jaman fotografi konvensional (baca: film) bisa jadi punya romantika, bahkan mungkin pula fanatisme. Demikian pula, orang-orang yang lahir di jaman fotografi digital mempunyai eranya sendiri, yang tak kenal film “nggak nyantol” dan campur-mencampur developer di kamar gelap.
Jika masing-masing era bersikukuh pada jatidirinya tanpa keterbukaan, toleransi dan saling memahami maka hasilnya ada fotografi dengan fanatisme semu yang kontraproduktif. Fotografer yang lahir pada jaman digital akan mengabaikan teknik dasar fotografi, memotret asal-asalan dengan alih-alih ada Photoshop. Sementara fotografer era film konvensional mengagung-agungkan kesahihan sebuah foto jika dibuat tanpa olah digital dan anti-Photoshop.
Yakinlah, kedua fanatisme tersebut akan bermuara pada hal yang sia-sia, buang-buang waktu dan menambah musuh.
Fotografi, sejatinya, dibahas sebagai wahana berkomunikasi dan berekspresi. Kamera hanyalah alat. Komputer dan Photoshop cuma tools. Seorang fotografer tidak dihargai karena kamera dan alat-alat yang dipakainya.
Biar Foto yang Bicara
http://www.fotografer.net
Tulisan yang sangat menarik :-)
salam….
PS: saya di Jogja juga mas :-)
Not offense,
setelah membaca, saya paling setuju dengan pesan om Kristupa. Terutama paragraf terakhir…
Digital or not digital, thats not the question – Biar Foto yang bicara.
syalam dahsyat..
saya juga dapet penghasilan dari jualan foto di internet…lumayan buat nambahin mo beli lensa baru…
infonya ada disini:
http://dreamstimeku.blogspot.com/
Saya salah satu buah dari keajaiban teknologi juga Mas. :) Waktu SMA dan kuliah dulu, saya cuma punya pocket FUJI. Setelah motret biasanya saya cuma bisa mengarsip roll film nya karena ga cukup duit unntuk nyetak. Sekarang saya bisa buat foto-foto dengan cepat dan menampilkannya untuk membuat web photo story.
wwww.fotoeuy.com
Wah, saya akan mengunjungi website Anda, Mas!
Kemarin sore, ada siswa sma yang bertanya dan ingin membuat kelompok fotografer, apa saran dan pendapat Mas untuk kelompok pemula dalam dunia jepret-jepret seperti ini.
Mohon sekali pemikiran dari Mas sebagai ahlinya.
Oh, ya saya juga baru punya blog cafestudi061s.weblog. Blog ini sebenarnya adalah keinginan saya untuk menyalurkan hobby saya dalam dunia pemotretan, tapi dengan latarbelakang nol samasekali.
jadi, sekali lagi saya sangat berharap jawaban dan pertolongan dari Mas.
Terimakasih, selamat sukses selalu buat Mas.
salam,
smskalit
mas,aku suka sekali fotografi,tapi aku sndr belum tau basic pengambilan gambar itu sndr gmn?
rencana nya pengen beli canon 450d,
untuk mendalami nya,harus sekolah dulu,apa otodidak ja?
Waduh Mas, saya sarankan untuk ikut kursus atau baca buku atau cari referensi via internet, kebetulan saya bukan ahli di bidang fotografi, hanya peminat dan penikmat saja.
Saya pribadi setuju banget dengan pandangan bang Kristupa Saragih, saya sendiri adalah seorang tukang poto yang mengalami dua jaman yang berbeda..hehe.
Thanks kunjungannya :)
ada sebuah tag menarik, kira-kira maknanya begini;
“hal yang paling penting dari fotografi adalah apa yang ada 2 inch di belakang kamera”
so, men behind the gun adalah faktor kuncinya.
setuju?
Sangat setuju sekali!