Ketika kamera, koneksi internet dan aplikasi-aplikasinya seolah tak bisa dipisahkan dari telepon genggam, memotret makanan lalu mengunggahnya ke social media adalah suatu yang jamak dilakukan. Saking umumnya, ketika kita tak melakukan ?ritual? itu tapi ?update status? dengan ?Lagi makan beef steak.. so yummy!? misalnya, orang segera menimpali, ?Kok ga ada picnya?? atau, ?No pic, hoax!? Wahh!
Hal seperti itu sebenarnya tak hanya terjadi di Indonesia saja, di sini juga pun juga.
Sepasang muda-mudi di rumah makan. Setelah sekian lama menunggu, makanan yang dipesannya pun datang. Alih-alih mengambil pisau dan garpu untuk mulai memakan, ia mengambil telepon genggamnya, menghidupkan lalu membidik obyek makanan itu dan menjepretnya.
Selesai menjepret, ia masih tetap sibuk dengan gadgetnya. Jarinya tampak ketak-ketik di layar sentuh lalu kubayangkan foto itu telah menyebar di social media dengan caption menyertainya, ?Geezzzz.. so yummy.? Baru sesudahnya ia makan dengan lahap sambil sesekali tetap memperhatikan gadget menunggu komentar kawan-kawan di social media atas fotonya yang baru tadi.
…apakah guliran jaman ini sudah terlampau cepat?
Jaman terus bergulir dan tradisi-tradisi lama terus digulung oleh hal-hal baru yang trendy. Orang menunggu makanan datang kini jadi tampak sunyi karena masing-masing membunuh waktu dengan aktif ber-gadget. Makanan datang, bergadget lagi. Bahkan ketika makan, mata pun sesekali masih curi-curi pada layar gadget.
Adakah kalian rindu melihat orang berdoa sebelum makan? Dengan mulut tampak mengucap ?Bismillah? atau bagi yang Katholik membuat tanda salib??Seorang kawan berujar, Ah, doa kan ungkapan syukur, membagikan foto makanan ke social media itu juga ungkapan syukur tak ada bedanya.
O well, ketika memotret sudah dianggap doa gara-gara pembandingan salah kaprah terhadap pamer foto yang dianggap sebagai pengejawantahan rasa syukur, sepertinya kita harus sedikit menengok ke dalam dan bertanya apakah guliran jaman ini sudah terlampau cepat atau kita yang semakin pandai mengikis tipis perbedaan dan membohongi hati nurani sendiri atas hal-hal yang sejatinya prinsipil itu?
*sedang menunggu trend memotret jamban setelah boker dan membagikannya ke social media sebagai upaya untuk membagi rasa syukur karena makanan yang disantap kemarin telah diproses secara optimal dan sempurna hingga menjadi tinja.?Anyone? :)
“nb” di tiga baris terakhir agak merusak suasana ya Om :p
Selayaknya anak muda (yang alay, mungkin?), kadang saya juga motret makanan dulu sebelum makan. Tujuannya nanti sih untuk dimuat di blog, bukan cuma untuk pamer di socmed :D
jadi blog bukan socmedmu? :)
waduh, itu paragraf terakhir yang dicetak miring kok bikin saya nyengir ya…
berarti kamu masih normal, Bli! ayo foto jambanmu! :)
Lapor, aku masih berdoa sebelum poto-poto makanan dan lalu memakannya, Om. Setelah habis, kadang dipoto juga. :P
aku malah pengen moto kamu yang sedang berdoa :)
Aku selalu doa sebelum makan kok Mas, bukan malah foto-upload-komen2an :D
wah, bagus ituh!
Tulisanmu..tetap sederhana tapi tetap jeli. Judul tulisanmu yang ini sampai tak capture untuk ku cari di google :) karena ga sanggup baca di telepon jadulku.
Terkadang, jujur aku mikir apa manfaatnya mengupload photo-photo makanan itu (kecuali untuk tulisan di blog, aku masih bisa menganggapnya sebagai rekomendasi) tapi kalau cuma diupload dan komentarnya cuma “yummy..” saya jadi mikir ini jadi ajang pamer :D
Tapi ya wis laah..hak orang untuk melakukan apa saja yang menyenangkan hati selama tidak mengganggu orang lain. Yang sedikit terganggu tentunya mereka yang tidak bisa menjamah meja restoran yang tentu saja tidak terjangkau uang mereka, bukan? cuma bisa menelan ludah…kasihan. :(