Filadelfia… tuk.. tuk.. tuk… Filadelfia… tuk.. tuk… tuk…

1 Mar 2012 | Agama, Cetusan, Indonesia

Belum usai masalah GKI Yasmin di Bogor, minggu lalu mencuat clip yang ‘bercerita banyak’ tentang bagaimana jemaat Gereja HKBP Filadelfia di Desa Jejalen, Tambun Bekasi sedang beribadah lalu disebelahnya terpasang beberapa speaker berukuran dan bervolume besar menyuarakan ‘sesuatu-yang-aku-tak-tahu’ yang kemungkinan besar dicorongkan ke arah jemaat yang hendak memulai acara peribadatan. Coba klik di interface bawah dan perhatikan dengan seksama.

Entah dengan kalian, tapi bagiku, setelah melalui berbagai macam rasa mulai dari emosi hingga malu pada diri sendiri atas keadaan yang tampak di rekaman itu, pada akhirnya aku sampai pada keteduhan hati dan balik bertanya pada diri sendiri,
“Adakah mereka hidup di tahun dan era yang sama dengan yang kualami saat ini, di sini atau mereka hidup di masa batu dimana sejarah belum tertuliskan?”

“Sssstttt, Don! Tapi konon mereka itu itu belum mengantongi ijin pendirian gereja karena belum mendapat persetujuan dari penduduk sekitar… makanya disegel dan mereka nekad beribadah di lapangan terbuka!” bisik seorang teman yang kuhormati karena perbedaannya.

Benar! Tak ada kebenaran yang lebih benar ketika hukum berbicara. Tapi tunggu dulu! Masalahnya, hukum, dalam kasus ini diproyeksikan untuk kepentingan siapa atas siapa? Karena, bukankah pada akhirnya semua perjuangan sebusuk apapun tujuannya memang tak pernah tak menggunakan dalih… termasuk hukum itu sendiri?

Marilah kita ketuk-ketukkan ujung jari ke meja saja sebagai tanda bahwa kita adalah manusia-manusia lemah yang bingung hendak berbuat apa selain berdoa hingga berbusa-busa.

Bahkan untuk mengharap banyak kepada negara pun tak ubahnya seperti merekonstruksi sebuah harapan yang usang.

Harapan yang dulu pernah meledak-ledak atas seorang pemimpin yang istilahnya berani kotor ketika harus turun ke sawah dan berani basah ketika harus terjun ke sungai menghalau masalah bersama rakyat. Bukannya pemimpin yang memilih berdiri di tepian sawah ataupun kali dengan kaki terjinjit-jinjit takut basah dan takut kotor ujung celananya lalu pasang telunjuk, main perintah ke sana kemari demi dianggap sebagai seorang pemimpin dan sesudahnya bicara pada media “Saya sebenarnya pengen turun tangan tapi bukan kapasitas saya untuk…” dan bla-bla-bla yang lainnya sampai mulut berbusa dengan paras sok serius dan sok wibawa!

Ah, sudahlah! Menulis terlalu panjang di tulisan kali ini tak mendatangkan faedah sama sekali! Lebih baik mari kita lanjutkan mengetuk-ketukkan ujung jari ke meja saja,
Tuk… Tuk… Tuk… Filadelfia… tuk.. tuk.. tuk… Filadelfia… tuk.. tuk… tuk…

To be human is to be free. God gives us space to be free and so to be human. – Desmond M. Tutu

Sebarluaskan!

24 Komentar

  1. Pertama saya lihat video yang diberikan mas Donny melalui twitter, rasanya sedih. Tapi karna tidak tau sebab-musababnya, dan hanya melihat video itu, maka kesan yang muncul adalah mereka orang-orang yang membuat orang lain berpikir bahwa orang-orang Islam sungguh memalukan. Saya jadi mengurungkan niat saya untuk menyebarkan link video itu. Saya rasa tindakan itu tidak akan membuat situasi membaik, dan saya kira bahkan akan mendorong situasi jadi lebih buruk.

    Ini menurut saya loh, bukannya saya kehilangan tennggang rasa untuk menghormati hak agalam lain untuk beribadah.

    Balas
    • Begini, Mas Bair.
      Bagi saya, siapapun itu, apapun agamanya, selama mereka tinggal di Indonesia maka kita tak lagi bicara soal agama karena kita adalah satu, Indonesia :) Jadi, saya pun tak bermaksud menayangkan video ini di sini sebagai sarana untuk mempermalukan sebuah kelompok tertentu…

      Lebih pada pemaparan bahwa hal di atas adalah kenyataan yang harusnya disambut oleh Pemerintah dengan tindakan tegas dan sigap supaya semua bahagia, karena kita semua adalah orang Indonesia terlepas apapun agamanya…

      Balas
  2. iya saya ikut ketuk ketuk jari di meja saja…deh… tak bisa cakap cakap ya..

    Balas
    • tak bisa, Plaus.. tak bisa… tuk… tuk… tuk…

      Balas
  3. Malu, malu,.. dan malu….

    Aku cuma berpikir, kalau lebaran siapa yang menjaga kami sholat di lapangan terbuka? Tentunya bukan mereka yang muslim. Siapa yang menjaga Natal di gereja, tentunya mereka yang bukan kristiani.

    kenapa sih hubungan erat itu hanya di hari besar? negeri ini memang penuh omong kosong. Kenapa tak langsung saja mengganti pancasila???

    Balas
    • Mengganti? Pelan2 biar alami dan kesannya “usang” atau “masyarakat yg minta ganti” ktimbang ganti langsung… kesannya kasar dan kasat mata hahaha

      Balas
  4. Hmm…
    Seperti kata Kaget, kenapa hanya erat saat hari besar saja….
    Tapi ya kek ginilah Indonesia…

    Balas
    • Ya mari kita bikin lebih baik hhehehehehehe

      Balas
  5. Nggak bisa berkata-kata lagi.

    Tapi, bukan hanya di daerah saja hal seperti ini kejadian, apalagi ini kabarnya belom ada ijin. HKBP di Cipete, Jakarta Selatan saja sampai saat ini sudah berdiri bangunan tapi nggak bisa dipakai, karena baru dipakai latihan koor saja sudah ditimpukin warga, kata teman saya. Miris.

    Balas
    • Miris, bener!

      Balas
  6. sampai sekarang masih heran, kenapa masih banyak orang yang mempermasalahkan keyakinan. ini karena pemahaman mereka yang kurang saja, atau memang ada skenario besar dibaliknya ya?

    Balas
    • Sayangnya sebesar apapun skenarionya, lubang pengintip kita terlalu kecil untk memandangnya :)

      Balas
  7. Ah, sudahlah! Menulis terlalu panjang di tulisan kali ini tak mendatangkan faedah sama sekali!

    Teramat sedih membaca ending jurnal panjenengankali ini Dab…

    Bagaimana bisa seorang DV yang selama ini tulisannya banyak menginspirasiku tiba-tiba menjadi “nglokro” ataupun ‘mupus’ seperti ini…? :(
    Kutahu tentu ada sebab yang tak bisa di sepelekan. Walopun yang lebih tahu tentu adalah panjenegan sendiri ta Dab…?

    Baiklah, teteup mencoba memahami
    Secara pribadi ku juga teramat sedih, miris, namun tak menutup mata akupun ingin melampiaskan emosi. Tapi apa gunanya kulampiaskan emosi itu…?

    Alih-alih mau emosi, justru ada yang ingin ku garis-bawahi sehingga membuatku menjadi tertawa, yaitu tatkala mendengar ada lagu #perdamaian. Apakah sang pelaku pemasang TOA itu memang sengaja sedang membikin lelucon bin dagelan..? Kalo iya mbok ya sesuaikan pada tempatnyalah.. “empan nggo papan”. Ataukah hal itu sengaja dilakukan demi memberikan suara latar pada polisi yang sedang pentas disitu..?

    Melihat hal ini, silahkan kalo Kang Donny tetap mau melanjutkan ketukkan ujung jari ke meja, akan tetapi -saya rasa- tak ada salahnya juga kalo ketukan itu juga ditujukan pada ‘batok’ kepala “yang tak mau basah n terjun kesawah, yang maunya hanya sekedar mengacungkan telunjuk”.

    Tuk sementara lupakan dulu, Mari kita tertawa saja dulu Kang Donn…

    Opss, tapi sambil ketawa keknya tak ada salahnya kalo baca dua link YANG INI dan juga YANG DISINI yaa…

    Balas
    • Hehehe komenmu slalu komplit pake telor dan suwir :)

      Balas
  8. Miris. Garuda sudah terlalu angkuh membawa tameng Pancasila di dada. Of course, Pancasila kan udah usang dimakan zaman. Damai itu semu. Damai itu ada bukan dari tuhan siapapun. Damai ada, saat semuanya kenyang.

    Balas
    • Benar! Damai ada kalau kenyang :)

      Balas
      • dan akar semua permasalahan di Indonesia adalah perut-perut yang selalu minta jatah lebih #kaburdigeplak

        Balas
  9. Akhirnya kak Don menulis tentang ini juga…
    Entah mengapa di Indonesia begitu ya kak don…
    Masih banyak yang belum bisa menghargai perbedaan.
    Bukan bermaksud mengecam kelompok tertentu…
    Tetapi seolah-olah pelajaran dan pendidikan moral yang didapat semasa sekolah seolah ga ada gunanya…
    Tenggang rasa, toleransi dan lainnya…
    Ini mungkin baru satu potret kecil kehidupan yang terjadi… masih banyak potret dan kehidupan lain yang mungkin tidak terlihat oleh kita…
    Well kapan Indonesia benar-benar bisa menerapkan “bhinekka tunggal ika” ya ?!

    Balas
    • Penerapan “Bhinneka Tunggal Ika”? Kan udah?:) Slama garuda pancasila terpasang di tiap2 kantor dan ruang kelas, mungkin pikirnya itu cukup untk dianggap “sudah diterapkan” ya :)

      Balas
  10. mungkin saat yg pintar bicara tidak menenangkan hati mereka yg ingin adanya tenggang rasa. Tapi malah sebaliknya, malah mengadu sana-sini hingga yg awam sekalipun ikut2 emosi tanpa tahu sebab2nya. indah kalau ada tenggang rasa itu, seperti sebuah sekolah taman kanak2, apapun agamanya, tetap bermain bersama, dan saatnya ibadah, tidak mengganggu satu sama lain. tapi kapan? susah ternyata.

    Balas
    • Kapan? Tergantung penguasa sebenernya :) Kapan mereka mau menjalankan kemauan yg sebenernya sudah ada :)

      Balas
  11. Aku sih ya, gak peduli seperti apa sebab dan akibatnya, ya intinya aku menyesal hal ini bisa terjadi.

    Balas
    • Harus peduli Bung… Menyesal tiada guna tanpa mencegah kejadian berikutnya kan?

      Balas
  12. Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.’

    kesal, jengkel!
    Ahhh Indonesia :(

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.