Beberapa waktu lalu aku datang ke acara Festival Indonesia, di sebuah taman di Marickville, suburb yang jaraknya sekitar 15 kilometer selatan Kota Sydney.
Festival-festival seperti ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru dan bukan pula sesuatu yang jarang dilakukan. Barangkali karena begitu besar komunitas Indonesia yang ada di Sydney, bisa dibilang hampir setiap tiga bulan sekali, acara-acara seperti itu diadakan berganti-gantian tempat dan komunitas penyelenggaranya. Belum lagi kalau menjelang hari-hari peringatan nasional seperti 17 Agustusan, Sumpah Pemuda ataupun Lebaran (eh ini sebenarnya bukan peringatan nasional tapi lebih ke peringatan keagamaan yang diperingati nasional ya?), frekuensi penyelenggaraannya bisa lebih acap lagi.
“…karena aku ini adalah anak Indonesia yang sampai kapanpun tak kan mau dan mampu melepas takdir itu.”
Berbekal pamflet pengumuman perhelatan yang disebar lewat internet, buletin Indonesia yang terbit di Australia serta restaurant-restaurant penyaji masakan khas Indonesia, acara festival biasanya dimulai sejak pagi hingga berakhir menjelang sore meski beberapa ada yang hingga larut malam baru berakhir keriaannya. Biasanya, festival diadakan di sebuah taman atau hall dengan sebuah panggung utama ada di tengah untuk menampilkan beberapa aksi kesenian daerah di Indonesia, sementara beberapa staal/booth makanan dan berbagai penjual merchandise pernak-pernik khas Indonesia berada di kelilingnya.
Eh jangan anggap bahwa makanannya nggak enak atau ‘asal kelihatan seperti masakan Indonesia’ lho ya…
Beruntung, jarak Australia ke Indonesia tak terlalu jauh sehingga beberapa bumbu asli masakan khas Indonesia dengan mudah bisa didapatkan di toko-toko asian grocery atau bahkan Indonesian grocery yang ada di beberapa kawasan yang banyak didominasi orang-orang “kita”. Kalaupun repot untuk mengirim bumbu asli dari Indonesia, struktur iklim kawasan Australia bagian utara yang berbatasan dengan Samudra Indonesia (Hindia) memiliki kesamaan dengan iklim tropis kita sehingga, meski tak semua, banyak bumbu yang ‘mirip’ asli yang bisa ditanam dan diproduksi di sana.
Namanya juga Festival Indonesia, maka kebanyakan yang datang ya para Indonesians meski ada sedikit warga bangsa lain yang turut hadir. Ditilik dari sisi usia, kalau mau dikelompokkan, kita bisa sebut ada tiga kelompok rentangan yang hadir.
Senior ( > 50 )
“…Lugas dalam arti kata bahwa mereka tidak canggung untuk mencoba mencintai kebudayaan Indonesia…”
Mereka yang bisa dikategorikan dalam strata ini adalah mereka yang telah tinggal lama, menetap, di Australia. Kukatakan lama karena ada yang bahkan sejak awal dekade 70-an mereka telah bermigrasi kemari meski ada juga mereka yang telah senior secara usia tapi pindah kemari ‘baru-baru saja’ seiring perpindahan studi anak-anak mereka atau keputusan untuk bermigrasi begitu saja dari Indonesia ke Australia.
Aku tak kan membahas yang terakhir, karena lebih menarik yang pertama yaitu mereka yang telah sejak awal dekade 70-an berada di sini. Rata-rata mereka dari penampilan dan tingkah laku sudah sangat western meski secara bahasa dan lidah perasa makanannya masih tetap Indonesia. Ngomongin soal ke-Indonesia-an dengan mereka, kebanyakan sudah tak terlalu nyambung karena misalnya kita mau omongin karakter gubernur Jakarta sekarang, FoKe, mereka cuma akan manggut-manggut tapi tetap nggak ngeh siapa dan seperti apa FoKe itu. Di mata dan pikiran mereka, gubernur Jakarta yang berkesan ya Ali Sadikin tiada lain karena ketika mereka tinggal di Indonesia dan awal-awalnya pindah kemari, ya dialah gubernurnya.
Ngomongin musik juga demikian adanya. Mereka tentu tak kan bisa terlalu menikmati sajian musik-musik terkini ala ST12 ataupun Ungu. Barangkali itu pula yang menyebabkan panggung kesenian di tiap acara festival tak pernah bisa beranjak dari lagu-lagu daerah yang bukannya usang, tapi terlalu repetitif untuk diperdengarkan dalam setiap kesempatan.
Medior ( 30 – 50 )
Generasi ini, aku ada di dalamnya, biasanya didominasi oleh mereka para pelajar penempuh jenjang studi S2 ke atas maupun mereka yang bermigrasi kemari sejak kuliah lantas melanjutkan bekerja di sini atau mereka yang bermigrasi ke sini karena alasan keluarga dan atau pekerjaan. Kebanyakan dari golongan ini adalah mereka yang masih tetap menjaga ke-Indonesia-annya baik dari sisi penampilan maupun bahasa apalagi lidah perasa makanannya.
Susah untuk menjelaskan seperti apa penampilan yang ‘Indonesia’ itu dalam kata-kata, maaf :)
Tapi yang jelas, kalau di hadapan kalian dijajarkan seorang dari generasi ini dan seorang dari generasi sebelumnya (senior) atau generasi yang akan kuceritakan di bawah ini, kalian akan bisa menebak mana yang ‘lebih Indonesia’ ketimbang dua lainnya :)
Salah satu ciri lain dari generasi ini terutama yang sudah memiliki anak berusia di atas balita, adalah bagaimana mereka berjuang untuk mengenalkan bahasa Indonesia ke anak-anaknya meski sang anak memilih untuk membalasnya dalam Bahasa Inggris.
Nah, anak-anaknya itu, akan kuceritakan dalam golongan usia di bawah ini.
Junior ( < 30 )
“… meski tak jarang yang sudah melepas kewarganegaraan Indonesia namun tetap begitu cinta pada tanah air …”
Yang paling banyak menghuni golongan ini sebenarnya adalah mahasiswa/i Indonesia yang baru pindah ke Australia seusia pendidikan mereka. Meski demikian, tak jarang dari mereka yang lantas memilih untuk tinggal dan bekerja di sini karena ‘ogah pulang’. Kebanyakan dari mereka tentu masih sangat Indonesia baik dari sisi apapun kecuali tempat tinggalnya saja.
Namun yang lebih menarik adalah mereka yang berada di usia ini namun lahir di Australia atau setidaknya mengenyam pendidikan sejak jenjang dasar di Australia. Kebanyakan dari mereka, seperti yang kuceritakan di golongan sebelumnya, Medior, tak lagi menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan dan tulisan. Cara mereka ber-cas-cis-cus English pun sudah berbeda dengan kami yang belajar Bahasa Inggris di Indonesia baik dari sisi cengkok dan pilihan katanya.
Namun bukan berarti mereka tak ‘kenal’ lagi Bahasa Indonesia. Semua tergantung bagaimana didikan keluarganya. Ada keluarga yang memang telah menggunakan bahasa Inggris dalam bahasa keseharian meski masih sangat banyak keluarga yang memilih untuk menggunakan Bahasa Indonesia untuk sehari-hari; setidaknya untuk bagaimana sang orang tua bertutur kepada anak sementara si anak ya tetap menjawab dengan menggunakan Bahasa Inggris meski sekali lagi, mereka tahu apa yang diucapkan orang tua dalam bahasa ibu mereka.
Kira-kira mengapa kebanyakan anak Indonesia kelahiran/besar di Australia tak mau menggunakan Bahasa Indonesia? Meski tak bisa menjaring jawaban dari setiap anak Indonesia, tapi beberapa dari mereka yang kutemui merasa enggan karena mereka sadar bahwa mereka tak lancar berbahasa Indonesia, terkait logat dan kebiasaannya. Beberapa yang kutemui yang ‘memaksa’ untuk berbahasa Indonesia, logat mereka terdengar seperti banyak bule-bule yang ada di sinetron dan infotaintment yang sibuk belajar Bahasa Indonesia. Ya, kalian benar… mirip Irfan Bachdim dan Cinta Laura begitulah! :)
Pertanyaannya sekarang adalah, dimana mereka lantas meletakkan ke-Indonesia-an mereka kalau sekadar untuk berbahasa saja mereka susah? Entahlah, tapi kupikir kalian akan menemukan jawaban kalian dari bagaimana cara mereka berpartisipasi dalam festival demi festival Indonesia.
Meski tak merasa nyaman untuk bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, kebanyakan penyaji hiburan kesenian daerah yang dipertontonkan di atas panggung adalah mereka yang ada di kelas ‘Junior’ itu utamanya mereka yang lahir dan besar di sini. Dengan susah payah, mereka belajar menarikan tarian Dayak maupun tarian Saman Aceh meski seumur hidup mereka barangkali belum pernah pergi ke pedalaman Kalimantan dan Aceh.
Hasilnya kaku? Jelas! Tapi aku lebih senang menggunakan istilah lugas! Lugas dalam arti kata bahwa mereka tidak canggung untuk mencoba mencintai kebudayaan Indonesia dengan melakukannya terlepas dari ketidakmampuan, sesuatu yang sayangnya justru kerap kita jadikan topeng di wajah supaya kita tampak sebaliknya, mampu.
Masih terkait dengan bagaimana hebohnya mereka mencoba menghargai Indonesia, kuceritakan satu momen yang kerap membuatku tergetar ketika datang ke festival seperti itu.
Tak lain adalah saat dinyanyikannya Indonesia Raya. Mereka tak hapal? Tentu saja! Tapi terlepas dari ketidakhapalan itu, mereka tetap tegak berdiri, menaruh tangan di dada kanan, tempat jantung kita bertugas dan berdetak demi kehidupan, hingga lagu usai dikumandangkan.
Pemandangan seperti itu tak jarang membuatku merinding dan seperti ada satu kekuatan besar yang menyesakkan kerongkongan yang mengharukan.? Bukan! Bukannya aku terharu hanya karena aku ini adalah anak Indonesia yang sampai kapanpun tak kan mau dan mampu melepas takdir itu. Bukan pula karena aku terharu karena aku telah berada di negara lain; sesuatu yang kerap disambut teman-teman yang tinggal di Indonesia dengan satu ujaran sinis “Wah, enak ya kamu sudah di luar negeri!” Bukan, sekali lagi bukan itu penyebabnya.
Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah kilasan-kilasan hal yang tak jarang memalukan terkait berita-berita politik tanah air yang kerap kutonton di siaran televisi nasional yang kutangkap lewat saluran parabola. Semua itu lantas kubandingkan dengan betapa kami di sini, meski tak jarang yang sudah melepas kewarganegaraan Indonesia namun tetap begitu cinta pada tanah air, sebagai sesuatu yang setidaknya adalah tempat lahir dan kami bertumbuh untuk pertama kali (dan itu adalah hal yang tak bisa kami pungkiri bahkan dihadapan Tuhan sekalipun).
Nun jauh dari sisi selatan negeri kangguru, ketika musim dingin 2011 mulai menampakkan kelambunya, aku menuliskan semua ini untuk kalian yang mendiami zamrud khatulistiwa, Indonesia.
doniiiiii…….. I loph you full!
Aku selalu bangga dengan orang2 yang punya nasionalisme sepertimu, don. I;m proud of you….
*merinding bacanya*
Kamu berlebihan.. sejatinya aku ini orang bodoh.. sangat. But thanks, Wik… mari lebih mencintai Indonesia dengan cara kita masing2 :)
Acara kayak gini cocoknya ditulis di akun “Indonesia” itu, Don. Eh.
bener banget loh, cobak kalo indonsia.mp masih di tangan :D
@rusa: hayahhh :))
@benchan: plak plak komporrr :))
Tulisanmu ini kalau diadaptasi menjadi pidato kenegaraan kayaknya pantas bin wajib!
Ah, mas bro berlebihan ah… :))
Baca paragraf-paragraf terakhir, jadi terharu sendiri :(
Artikel ini juga merupakan cambuk untu saya, agar lebih menyadari bahwa saya adalah orang Indonesia.
Salam kenal juga yah :)
Makasih:) salam kenal :)
Aku sedang sakit saat baca ini, jadi agak2 g bs mikir nih Don heheee…
But, bagaimana dengan kalian Don? Odilia tentu akan besar di sana dan kemungkinan besar dia akan jad anak2 Indonesia yg fasih dgn prokem lokal tp tak fasih berbahasa Indonesia. Kecuali kala barangkali kalian akan pulang ke Indonesia utk kerja di sini. Gimana don? Memang mau stay long di sana?
Yg pasti belum ada rencana mudik “for good” ke Indonesia, Zee… Masih nyaman merantau heehehe
Setelah mengikuti di twitter, kemudian membaca secara lebih luas di sini, suatu hari nanti, jika aku berhasil mendapatkan visa Australia, ajak aku ke Festival Indonesia di sana ya… (lho, lapo kok malah dijak nang Festival Indonesia :D )
Jadilah orang Indonesia yang Ngostrali, Don. Dan jadilan orang Ngostrali yang begitu Indonesia.
Hahaha tp itu ironinya, Bung! Banyak temen2 Indo yg datang kemari malah kami jamu ke resto Indo:)
jantung bukannya di dada kiri ya ?
*ga penting banget..*
Kalo ngadep kaca kan jd sebelah kanan? *ngeles
Don…kamu masih bawa bendera Indonesia?
Teman si bungsu menyelipkan bendera merah putih dan syal Persib saat dia mau berangkat kuliah di LN..sungguh mengharukan, saat salju turun, bendera Persib terpampang diatas sepedanya yang terkena salju. Juga dia dan teman2nya berusaha naik Gunung Fuji (walau dia belum pernah naik gunung, dalam arti kata sebenarnya)…hanya untuk mengibarkan sang Saka Merah Putih di atas gunung Fuji.
Saya terharu dan bisa memahami perasaanmu. Kadang hati ini bertanya, inikah yang diinginkan saat reformasi, bebas sebebas-bebasnya? Bebas memaki orang orang lain, bebas berdebat di televisi, walau banyak rakyat kecil yang makin stres mendengarnya, karena untuk makan dua kali sehari aja masih berat. Mungkin hanya satu kata…beberapa media kita juga sudah kebablasan mengartikan keterbukaannya, bukankah setiap warga negara punya kewajiban berbangsa dan bernegara dengan baik dan santun? Dan tugas mereka pula untuk ikut mendidik bangsa ini?
Betapapun saya salut anak-anak Indonesia di Sidney yang berusaha mencintai negaranya, yang mungkin hanya dikenalnya saat berlibur di Bali, surfing di laut…namun mereka tidak sibuk berbicara tapi melakukan tindakan.
Saya ngga bawa bendera Bu… Tp saya bawa seeagam timnas sejak pertama pindah ke Sydney :)
memang kalo kita jauh perasaan bangga itu pasti ada, tapi coba kalo tiap hari baca atau nonton kondisi terkini negara kita, saya yakin yang di rantauan akan berguman..”untung gua udah disini…kayaknya ganti passport aja kali yah..” heee….tapi kalo yang buat kuliah sosial politik atau budaya, mungkin tambah semangat…karena berbekal lulusan LN jadi lebih PD…”ah saya kandidat wakil rakyat masa depan..korupsinya mantep juga duitnya euy..!”
O’ya….pesen satu sop buntutnya ya bro…!
Jadi kapan loe ganti passport? Hahahahaha…
Yaps,
senada dengan komentar2 sebelumnya, terrasa haru ketika membacanya sampai pada paragraf akhir…
Indonesia tanah air beta………….
Dan lebih haru lagi teringat kemarin malam Sawung Jabo bersama Sirkusbarock nya pulang kandang dan show gratisan lagu2 lamanya di TBY (Taman Budaya Yogyakarta)…
Maturnuwun sharinge Dab…
Woh, bilangin Mas Jabo suruh balik Sydney hehehehe
Hadirnya acara2 tersebut semakin bisa kerasan tinggal disana ya? Bisa dijadikan obat dikala kangen tinggal ditanah air :-D
Betul sekali! Komentar anda juara! Menarik kesimpulan dr satu ranah yg tak saya sangka sebelumnya:)
aihh..terharu bacanya.. kadang org indonesia yg tgl di indonesia aja ga mempunyai semangat kaya mereka..
Itulah…
Ngga nyangka, di negara sendiri jarang melihat kemeriahan walaupun bukan dihari Nasional. Terkadang memang benar kata orang, saat jauh bangsa sekampung menjadi lebih akrab dibanding saat berada dikampung sendiri :(
Intinya, hati ini butuh romantisme untuk lebih peduli terutama dalam hal kebangsaan begini ya…
Orang Indonesia ada dimana-mana, disini Malaysia juga sering diadakan acara seperti ini biasanya dilaksanakan oleh PPIM/PPIM cabang.
Ic… Liputannya dongg
Setuju mas. Kadang-kadang orang mencemooh anak-anak yang tinggal lama di luar negeri dengan “sok kebule-bulean”, padahal ya gemana ya..? Secara mereka tinggal di sana lama.. APalagi kalo lahir di sana. Aku aja pulang kampung ke Makassar dua minggu aja logat langsung rada bugis.. Apalagi bertahun-tahun.. Setidaknya mereka ada usaha untuk menghargai negerinya, dengan cara yang tidak sama dengan orang lain. Semoga acara 2 kayak gini bisa mengobati kerinduan akan Indonesia.. :)
Makasih komennya, Mbak.. Benar, kita barangkali yg trlalu silau dgn sgla sesuatu yg berbau barat …
Festival Indonesia di Sydney untuk mengikat tali persaudaraan Masyarakat Indonesia di rantau
Kayak iklan TVRI
Oh Indonesia …. Engkau emang sungguh membanggakan … Tapi kapan ya biar bisa tambah bangga ngeliat prestasi olahraganya ??
jadi terharu mas. kisahmu soal Indonesia Raya itu memang keren. di luar negeri, saat orang2 Indonesia berjarak dg tanah airnya, mungkin mereka akan merasakan kerinduan yang mendalam dan sejenis cinta. meski, ironisnya, kami2 yg di Indonesia justru terus-menerus muak dg ulah politisi2 Indonesia. hah. :)
Sama aja kok, saya di sini juga muak dgn politisi2 busuk tanah air
ternyata ada juga festifal Indonesia di luar negeri yahhh
“wah, enak ya kamu sudah di luar negeri?” pasti kamu sering kalimat seperti itu ya Don? :) aku belum pernah ke luar negeri dan aku tak tahu seenak apa sih hidup di luar negeri. cuma aku mikirnya simpel saja, wong aku selama di Jakarta aja masih sering kangen Jogja, apalagi kalau aku di luar negeri ya? :D kalau di Jakarta, mau ke Jogja kan gampang. paling lama duduk 10 jam di kereta, sudah sampai. ongkosnya jg nggak mahal2 amat. :))
btw, di festival itu ada mi jowo nggak Don? :)
Mie jowo ada :) sydney – jakarta jg cuma 6 jam :))
wah nasionalisme disana cukup kuat juga ya
masih bisa maksain buat belajar make bahas indonesia meskipun ga begitu lancar
apalagi sampe maksain nari tarian daerah di indonesia
salut deh
Baca postingan mas DV saya jadi pengen bisa kerja atau sekedar berkunjung ke Aussie