Aku punya teman yang selalu resah ketika seseorang, siapapun dia, memutuskan untk pindah agama dari yang sama dengan yg dianutnya tadi ke sesuatu yang lain.
Pernah dulu ia bahkan jadi kehilangan nafsu makan hanya gara-gara artis idolanya memutuskan pindah agama mengikuti agama suaminya. “Murtad!” serunya.
Yang lebih parah dari itu ada juga. Ia pernah bereaksi begitu keras ketika salah seorang kawannya yang juga adalah kawanku tiba-tiba memutuskan pindah agama padahal kami sama-sama pernah aktif di gereja. Sebenarnya yang ‘panas’ bukan dia saja, kami, termasuk aku, panas juga waktu itu meski tak se-reaktif dia.
Ia, kawanku yang kuceritakan yang pertama tadi, menuduhkan berbagai hal yang menurut dia adalah common trigger, sebab musabab umum terjadinya pindah agama. “Ah paling kalo ngga soal wanita ya wanita atau wanita!!!” “Kurang satu, peningkatan karir!” ujarku mengimbuhi biar ramai.
Hal pindah agama memang selalu menjadi polemik yang tak pernah berkesudahan, sifat ekslusivitas agama adalah penyebabnya. Adanya ajaran bahwa jalan kebenaran hanya ada satu “dan itu pasti agamaku!” membawa konsekuensi yang tak ringan karena otak akan melogikakan kalau jalanku benar dan karena hanya ada satu jalan maka punyamu pasti salah!
Tak berhenti di sini, perkara pindah agama semakin pekat untuk diurai atau setidaknya ‘diikhlaskan’ begitu saja karena kebanyakan agama yg menganut ‘pola pembenaran yang terbenar’ itu juga biasanya memiliki konsep komunal yang kuat; yaitu bahwa semakin banyak orang yg ikut agamanya maka akan selamatlah orang itu dan kita sebagai pengajaknya pun mendapatkan upah yang besar.. di surga.
Sehingga ketika seseorang memutuskan untuk melepaskan diri dari satu agama ke agama yang lainnya, pola kejadian yang terjadi seperti yang dialami kawanku tadi adalah sebuah stereotipe yang jamak demi tetap bersatunya kalangan domba atau dalam jargon agama lain, demi termuliakannya sebuah kaum.
Padahal jika kita berani meletakkan agama dalam konteks yang lebih ‘humanis’, kita bisa memberi perspektif yang agak berbeda pada peristiwa perpindahan agama itu tadi. Jumat minggu lalu ketika aku pulang dari sebuah farewell party untuk salah seorang rekan kerja, ketika melewati salah satu dinding kafe yang dijadikan tempat acara, aku menemukan kata-kata indah seperti tampak di gambar atas, every exit is an entrance somewhere else.
Tentu tujuan penulisan pesan ini bukan ditujukan untuk soal pindah-pindahan agama. Tapi apapun tujuannya, bagiku maksudnya cukup bisa diaplikasikan dalam perkara ini. Ucapan itu bagiku memberi makna bahwa keluar dari sebuah agama bukanlah akhir dari segalanya, ia adalah pintu masuk ke agama lain yang lebih baru dan berbeda. Ada semacam bubuhan semangat yang ditorehkan dengan kata ‘baru’, bukan untuk memburukkan yang lama tapi lebih pada sesuatu yang belum pernah dicoba dan semoga percobaannya menyenangkan.
Jadi, kenapa kita tak santai saja ketika kita harus melepas ‘kepergian’ seseorang yang harus pindah agama? Kenapa kita tak sarungkan parang dan lipatkan tangan ketimbang menyiapkan bogem mentah lalu berpikir dengan mulut terkatup mengurung segala sumpah serapah bahwa adalah hak setiap orang untuk blusukan ke agama apa saja semau dan sesuka mereka?
Kenapa kita tak dengan kepala dingin berpikir bahwa kalau memang kebenaran yang paling benar itu hanya satu dan itu agamamu, ditinggal pindah seorang, sepuluh orang, sejuta orang ataupun seluruh umat manusia pun tidak akan mengubah kebenaran itu sendiri?
Jadi, sekarang berikan tanganmu untuk memeluk para pemberani yang memutuskan pindah agama itu dan mulut untuk berkata, “Selamat atas pilihanmu! All the best and good luck!” Lalu marilah kita lanjutkan hidup seperti sedia kala…
apakah ini pertanda akan terjadi kemurtadan seperti selama ini tersinyalir?
:)
“Ada semacam bubuhan semangat yang ditorehkan dengan kata ?baru?, bukan untuk memburukkan yang lama tapi lebih pada sesuatu yang belum pernah dicoba dan semoga percobaannya menyenangkan.” Untuk kalimatmu yang ini aku masih belum yakin. Pertanyaanku adalah, apakah dia sudah sempat mendalami agamanya yang lama? Ataukah dia selama ini hanya duduk melamun di tempat ibadah, sementara doa-doa dan kalimat suci keluar dari telinga kirinya?
Kalau selama ini dia hanya memakai agama yang lama sebagai semacam label yang ditempelkan di jidatnya, apakah kita perlu kesal jika akhirnya berpindah agama? Toh paling-paling dia hanya ganti label. :D Apalagi kalau alasan kepindahannya semata-mata hanya demi pasangan hidup atau karier. Jadi makin kelihatan seperti apa kan kualitasnya? :D
Ah, lagi pula siapa sih yang tahu seberapa dalam isi hatinya? Hanya dia sendiri dan Tuhan yang tahu. Itu kalau dia kenal dengan dirinya sendiri dan Tuhan. Hihihi.
Pindah agama… ini masalah besar. Apalagi kalau keluarga sendiri yang melakukannya… pasti di ubek ubek sampai gila…:)
semoga makin bertambah maju negara.. makin terbukalah…
Kalau yang pindah agama itu bukan orang dekat (anggota keluarga) mungkin kita bisa santai saja. Tapi yang mungkin sedikit limbung adalah ketika yang melakukannya adalah orang dekat tadi, anak misalnya. Atau bahkan orang tua kita, apakah kita tidak ikut pindah, atau bagaimana?
Mungkin, diperlukan sebuah sikap bijaksana dengan pikiran yang terbuka untuk menghadapi kejadian seperti itu. Saya sendiri pernah bertanya kepada diri sendiri, bagaimana jika suatu saat nanti anak saya jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan orang yang berbeda agama. Lalu, bagaimanakah sikap saya?
Entahlah, mungkin waktu yang ada saat ini bisa saya jadikan untuk belajar bagaimana jika kejadian itu benar-benar terjadi.
iya betul. Tuhan juga gak rugi kok ditinggal 1-2 atau semilyar umat sekalipun. Dia santai saja di Surga. Saya juga santai.. :twisted:
setiap orang itu punya pilihan masing2 dan yang pasti itu yang terbaik untuk mereka
Aku punya banyak saudara yang pindah agama lain, dan aku tidak menjadikannya masalah, meskipun ya… “aneh” terasa ada jarak. Untungnya mereka tetap datang dan mengucapkan selamat Natal/Tahun baru, bahkan ikut doa makan bersama :)
Yang pernah aku rasa “aneh” bercampur bahagia, waktu ada saudara yang pindah masuk ke agama kami. Kami menjadi semakin dekat. Atau waktu ada beberapa orang Jepang yang minta aku menjadi ibu permandian mereka… bahagia.
Dua rasa “aneh” yang berbeda tentunya.
Bagiku, pindah agama merupakan hak masing-masing, yang perlu dihormati, meskipun tidak harus diikuti jejaknya :)
Kalau kata orang tua aku. pindah agama itu terserah aja. asal jangan kamu ;)
Menerima keputusan yang berkaitan dengan agama memang tak mudah, apalagi bagi keluarga. Dibutuhkan hati lebih luas dari samudera agar bisa berpikir jernih bahwa semua konsekuensi adalah tanggung jawab pribadi.
Bener… pengalaman pribadi menyebutkan demikian. Kamu juga? :)