Ex Diktator? Tangan Besi? Wes, Ngawur Tenan!

27 Jan 2008 | Cetusan, Indonesia

Mau tak mau, berita meninggalnya Soeharto (27/01/2008) menjadi sesuatu yang hangat untuk dibicarakan. Tak terkecuali di kediaman saya, dimana saya dan Tunggonono, pensiunan preman ndeso yang menjadi batur[1] saya, tinggal.
Tunggonono yang malam ini , entah kebetulan atau tidak, berbusana hitam-hitam memasang tampang serius sambil memperhatikan televisi yang tak henti-hentinya menyiarkan kematian mantan presiden tersebut.
Sedikit-sedikit ia menggeleng-gelengkan kepala, mengambil nafas dalam-dalam dan ber-ah-uh seperti orang mengeluh.

“Kamu itu kenapa tho, Nggon? Sedikit-sedikit ah-uh.. sedikit-sedikit geleng-geleng kepala. Ngopo jhe?”

“Lha Mas Don itu apa nggak tahu tho..? Ketinggalan jaman tenan!”

“Lha yo tauuu.. Soeharto tho..?”

“Iya… lha kok kalau sudah tau, Mas Don diam saja?”

Nah! Nadanya sudah mulai agak sengak[2] ini namanya!
“Weh.. trus saya disuruh ngapain?”

“Lha yo doa Mas, doa!
Apa nonton tivi sini bareng saya… Ndherek[3] berbela sungkawa bareng itu lho, orang-orang di Batavia yang pada datang ke Cendana.
Mas Don malah aneh dari tadi di depan komputerrrr terus.”

Saya yang semula agak pengen emosi pun terpaksa tertawa mendengar komentar Tunggonono yang menurut saya kok agak terlalu hanyut dalam nestapa yang dinasionalkan ini.

“Hehehehehehe… lha yo nek doa apa ya harus lapor ke kamu, Nggon? Nek soal nonton tivi… wah aku ndak bisa soalnya banyak kerjaan yang harus kusiapkan buat besok jhe. Maaf saja!”

“Mas Don itu makin tua memang nggak gathekan[4] kok sekarang!”

“Halah… Lambemu bisa aja. Nek ora gathekan ya kamu wes ndak kugaji lho! Kamu itu… cuma ndak bisa nonton tivi njuk kamu bilang nggak gathekan.”

“Hehehehe… Guyon, Mas… Guyon! Ampunnn!” Tunggonono salah tingkah melihat reaksi spontan saya yang mungkin menurut dia cukup menohok itu.

Keadaan beberapa saat hening menyisakan suara reporter televisi yang terus melaporkan.
Saya yang pada awalnya sebenarnya memang sedang mempersiapkan pekerjaan untuk besok dan tutup telinga rapat-rapat, akhirnya tergelitik juga berkunjung ke beberapa situs berita online mencari tahu tentang kabar-kabar terakhir kematian Soeharto siang tadi.

Dan tak lama kemudian…

“Bos…”
“Hmmmm….”

“Kalau sudah meninggal gitu njuk gimana soal hukumnya ya..?”
“Lha mbuh … itu urusannya pemerintah.”

“Kira-kira nek miturut Mas Don apa nanti ya anak-anak serta kroninya akan tetap diadili atau bebas begitu saja ya?”
“Lha mbuh…. itu bukan urusanku jhe, Nggon. Lagipula opo urusannya kita kalau mereka diadili atau bebas ya nggak ngaruh tho dengan kita?! Harga tempe ya tetap akan naik lha wong kedelai semangkin mahal dan semangkin langka gitu.”

“Oo.. iya ya.. lha kok nyaut sampe tempe segala… Eh Mas Don, lha terus apa ya arwahnya bisa tenang di alam sana ya..? Mangsuk surga atau …?”
“Makanya, terlepas dari mangsuk mana-mananya, maafkanlah! Dari kemarin kan aku sudah bilang demikian…”

“Hmmmm… hehehehe iseng lagi ini, Pak Harto di alam sana kira-kira ketemu sama siapa saja ya?”
“Lha mbuh, aku ya ndak tahu lha wong aku bukan Gusti. Menurutmu?”

“Hehehe.. ketemu Bung Karno, Bung Hatta, Pak Pram, DN Aidit, Pak Sobron, Nyoto, Kamaruzaman, A Latief, Letkol Untung, tujuh pahlawan revolusi, Soe Hok Gie, orang-orang korban Timor-Timur 76, orang-orang korban Tanjung Priok 84, orang-orang korban Reformasi 98. Trus ketemu lagi sama… wah banyak pokoknya. Njuk di sana mereka pada reunian nggak ya?”

“Ah uwis ah Nggon.. Omonganmu itu ora ilok! Tur suwe-suwe kok omonganmu samsoyo ora mutu babar blas!”
(“Ah sudah lah Nggon.. Omonganmu itu tidak pantas! Lagipula, lama-lama omonganmu semakin tidak bermutu sama sekali!”)

“Lho, Si Bos… Ini kan jaman reformasi?”

“Lha iya! Reformasi ya reformasi. tapi apa hubungannya? Kamu mau apa dengan reformasi? Mau sok liar gitu? Kamu dari dulu sedikit-sedikit pasti mengaitkan dengan reformasi. Latah kowe!

Wes tho, prinsipku tetap sama, maafken dia!
Selainnya itu aku nggak anggep penting. Yang sudah ya sudah!
Wes ah! Ojo ngganggu konsentrasi kerjaku sik daripada nanti kamu ndak bisa digaji gara-gara kerjaanku kacau lho. Kamu nonton tipi saja dan saya bekerja lagi”

Tunggonono pun terdiam. Sepertinya ia mahfum dan sepakat dengan pendapat terakhir itu tadi.
Ia kembali bergeleng-geleng kepala dan ber-ahu-uh mengeluh seperti awal tadi, larut dalam siaran demi siaran yang menyorot di satu tempat dan satu sosok itu.
Saya pun kembali berkonsentrasi pada komputer meski sebenarnya tidak lagi menyangkut soal kerja dan pekerjaan.
Beberapa saat saya tertarik pada satu pemberitaan dari sebuah situs asing… disitu dituliskan bahwa ex-diktator yang memerintah dengan tangan besi, bla bla bla…. telah meninggal dunia.
Lalu saya pun ketularan Tunggonono, geleng-geleng kepala sendiri…
Ngawur, bener-bener ngawur.. orang baik-baik dan berjasa sangat besar bagi negara kok dibilang ex diktator dan tangan besi segala…
Wes, ngawur tenan!

Ya ndak?!

  1. pembantu
  2. sinis
  3. ikut; turut
  4. perhatian
Sebarluaskan!

5 Komentar

  1. ok ok, jadi tangan apa dia mas Don?

    Balas
  2. @ndaru: tangan apa ya hmmm.. ah ini aja… TANGAN air, kutidak kulupakan.. kau terkenang selama hidupku. Biarpun sahaya pergi jauh.. tidaklah hilang dari kalbu. TANGAN ku yang kucintai engkau kuhargai..;) Lucu ra..? ndagel ra..?

    Balas
  3. Seluruh keluarga cendana dan semua orang menghimbau supaya memaafkan semua kesalahan H.M. soeharto, tapi kenapa saat Bj habibie yang jauh2 terbang dari jerman di usir saat melayat, si dede yusuf dan mayang sari juga. Dan mungkin masih banyak lagi lainnya…

    hmmm sifat manusia semakin aneh.. heueeheu

    Balas
  4. @Leah: Bu Leah, lhhoo itu justru yang istimewa dari pengaplikasian ungkapan Mikul Dhuwur Mendhem Jero.. artinya sudah berubah jadi meninggikan bapaknya dan memendam dalam-dalam mantan mungsuh-mungsuh nya hehehe… barangkali ya barangkali :)

    Balas
  5. kalo aku sih setuju sama pendapatnya mas Donny, maafkan dia saja toh juga jasanya juga gak sedikit untuk bangsa ini. Tapi juga banyak orang mengatakan bahwa pak Harto itu punya banyak kasus pelanggaran HAM & KKN. Jadi gimana itu ya, Mas? aku sebagai orang awam dalam menyimak kisah pak Harto jadi bingung antara mengamini yang ini dan menyetujui yang itu.
    :D

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.