Beberapa hari yang lalu, kantor tempatku bekerja, sebuah raksasa pengolahan dokumen dunia, mengadakan acara semacam “show and tell” tentang apa saja yang ada di portfolio kami masing-masing dalam bidang yang kami sama-sama tekuni, graphic design and web development . Bukan ajang saling pamer, tapi lebih ke soal menggali apa yang menjadi kapabilitas per orang serta batasan-batasan yang barangkali justru melalui acara ini bisa didobrak oleh kapabilitas orang lain.
Kami lantas sibuk mempersiapkan diri.
Manajer memberi waktu hingga dua minggu sebagai waktu mempersiapkan portfolio dan 30 menit untuk membawakannya dalam presentasi di depan semua anggota tim.
Jalannya presentasi sendiri berlangsung seru.
Beberapa membawakan dalam format web, aku dan dua orang temanku, sementara yang lain lebih suka membawakan dalam format Powerpoint dan Adobe PDF format document.
Meski patokan awal adalah 30 menit, tapi pada praktiknya tak jarang mblandhang sampai hampir satu jam tergantung pada seberapa banyak pertanyaan dari audiens yang dilayangkan terkait dengan karya-karya yang pernah kami hasilkan.
Di dalam tim, aku tergolong yang paling muda.
Jadi tak seperti yang lainnya, praktis aku tak butuh waktu lama untuk mempresentasikan portfolio yang kususun berdasarkan pengalaman kerjaku sepuluh tahun terakhir lalu menjawab pertanyaan yang kalau kuhitung tak sampai lima dan dengan mudah kujawab. Berbeda jauh dengan teman yang hendak kuceritakan sebagai tokoh utama dari tulisan ini yang jika kuhitung-hitung tak kurang dari lima belas pertanyaan dilayangkan kepadanya selepas presentasinya yang apik.
Aku tak bisa menyebutkan namanya tapi sekadar gambaran, ia adalah yang paling senior baik dari sisi usia maupun pengalaman.
Ia mulai berkiprah sejak komputer grafis masih berupa angan-angan yang tergantung di langit. Dalam presentasinya, ia bercerita betapa dulu ia harus berjuang mati-matian hanya untuk berkoordinasi dengan tukang cetak supaya warna yang ditumpahkan di kertas nantinya tak jauh melenceng dari apa yang dirancangnya di media konsep. Lalu ketika komputer mulai ‘masuk’ diperkenalkan di area kerja, ia begitu keranjingan dengan fasilitas “Paint”, standard what-so-called graphic design software bawaan Microsoft Windows hingga kini pada akhirnya dengan susah payah, ia menyesuaikan diri dengan beberapa software pengolah grafis termutakhir.
Melalui presentasi yang disampaikan, aku dibuatnya takjub dengan berbagai karyanya yang meski ia bilang sebagai “sesuatu yang sangat mudah dikerjakan sekarang karena sudah ada banyak software design graphic bertebaran” tapi tetap memiliki greget sebagai karya yang luar biasa pada masanya. Terlebih saat ia membuka lembar portfolio sampai pada sosok tokoh kartun yang sangat kukenal (dan kuyakin kalian yang tumbuh di era 90-an pasti juga kenal tapi aku tak ingin menyebutnya karena kode etik) yang ternyata adalah karya aslinya! Aku sampai tergeleng-geleng bagaimana ia menjelaskan proses pembuatan dari sangat dasar hingga akhirnya sampai pada proses final yang memakan waktu sangat lama dan membutuhkan tenaga dan daya kreasi yang luar biasa.
Setelah menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang bertubi-tubi datang kepadanya, ia pun menutup presentasinya nan gemilang itu dengan berkata “Apa yang kusampaikan barusan tentu tak sebanding dengan apa yang kalian capai dalam setidaknya 10 tahun terakhir karena pada dasarnya apa yang kukerjakan dalam waktu bertahun-tahun barangkali bisa dikerjakan anak-anak jaman sekarang dalam waktu 1 bulan menggunakan skillnya!” Tepuk tangan dan tempik sorak meriap memenuhi ruangan menyambut presentasinya yang luar biasa sementara aku malah termangu dibuatnya.
Aku tercenung sesaat. Aku membayangkan bahwa barangkali ketika usiaku sama dengannya, akupun akan berujar yang sama, merasa bahwa apa yang kukerjakan di masa lalu adalah sebuah hal yang jika dibandingkan dengan kemajuan jaman kala itu nanti menjadi sesuatu yang tak terlalu berarti. Jika saat ini, apa yang kukerjakan adalah “The Big Wow”, apa jadinya nanti pada 20-30 tahun mendatang di saat ada milyaran “Wow” yang lainnya memenuhi dunia ini?
Presentasi pun usai dibawakan oleh semua anggota tim secara bergiliran tapi rasa penasaran tentang apa yang kupikirkan di atas masih kecamuk.
Kuputuskan untuk menyambangi temanku tadi sekedar untuk memberikan apresiasi tentang tokoh kartun idolaku yang teryata adalah karyanya.
“It’s awesome!” ujarku padanya sambil mengulurkan tangan menyelamati.
“Thanks, Donny…tapi apa yang kusampaikan tadi telah menjadi sejarah masa lalu, kan?”
“Ah, kau merendah… semua karya memiliki masanya. And all of yours were the best in that decade, right?”
Ia hanya mengangkat bahu sembari tersenyum.
“Hmmm, boleh aku lihat sekali lagi portfoliomu?” pintaku padanya.
“Oh, no worries!”
Lalu kamipun duduk. Ia tampak berapi-api menjelaskan kembali bagian demi bagian sama seperti yang ia jelaskan di depan tim tadi. Ia barangkali berharap aku memperhatikan hasil karyanya, tapi bagiku itu tak terlalu penting lagi karena aku sudah tahu bahwa karyanya luar biasa dan itu adalah lebih dari cukup. Justru lebih penting bagiku untuk memperhatikan bagaimana ia membawakan sesuatu yang ia banggakan tentang masa lalu yang telah diraihnya. Aku merasakan betapa ia telah mulai renta tapi semangat dan daya untuk tetap maju adalah sesuatu yang dominan tampak darinya.
Bono, vokalis U2 yang terkenal itu, dalam lagu Moment of Surrender menuliskan bagaimana nasib sebuah bintang (dalam arti sesungguhnya; benda langit) yang menua, meredup lalu menjadi sebuah bintang mati yang pekat dan tak berpijar adalah layaknya nasib seseorang yang telah melewati masa jayanya. I did not notice the passers-by And they did not notice me demikian tulisnya. Masa memang memiliki kadaluarsa dalam prespektif manusia yang tinggal di dalamnya dan bukan dari prespetkif manusia yang hidup di masa sesudahnya dan demikianlah terus-menerus selanjutnya.
“So, what do you think, Donny?” tanya temanku menoleh ke arahku yang duduk di belakangnya sambil tersenyum menantikan pendapatku menyoal presentasnya.
“Ah… as i said before, that’s fantastic!” ujarku tersenyum Ia menganguk-angguk sambil tersenyum, layar pun ditutup dan dengan telunjuk tangannya yang mulai bergetar tanpa bisa dikontrolnya, ditekannya tombol escape pertanda pertunjukan telah usai digelar…
*Untuk CR… You’re the man!
mantab dibaca…
Bikin merenung
tulisanmu kali ini apik tenan
wooow mesti saja jaman dulu saat orang belum mengenal sofware yang mempermudah dalam desain atu yang lain akan sangat susah payah untuk menghasilkan sesuatu seperti saat sekarang kita tinggal menggeser mouse hal yang sekarang kita lalui pun akan di hargai kesulitanya saat semua nanti terasa mudah
” jaman durung ono autocad nek nggambar proyek butuh mejo gambar gede tur butuh pirang pirang ndino gawe gambar siji mbasan wis ono autocad uh tinggal klik geser beres”
lha ada U2 di ujung tulisan wakakakaka
ojolali mas dab nek bali ngabari yah mengko nang hyat ngidul ngulon tris ngidul jalan magelang wakakakaka mengko konco2 citra di jak
Tinggal bagaimana otang zaman sekarang menghargai si perintis dimasanya :)
Jadi teringat kalau karya karya lawas dulu adalah yang juga Big WOW, sekarang bahkan menjadi sekarang WOW atau OOooo.
Meskipun begitu menciptakan dengan hati dan merasakan dihargai teman teman dekat atau sesama pekerja di Industri yang sama(bahkan dengan kompetitor) tentu akan sangat membanggakan. Tak salah kalau CR akan tetap bersemangat mas DV :)
oh ya, Saya mau dong sekali kali lihat portfolio mas DV, buat tulisannya yah ;)
Saya pernha liat lo.. di donnyverdian.com
Hidup ini sangat berarti untuk tidak memberi arti. Mungkin itulah yang CR rasakan sehingga tetap berkarya di usia senjanya. Dan kerendahan hatimu untuk memberikan apresiasi sungguh membuatku bangga. :D
Sudah jadi hal wajib tak tertulis, jika ingin dihargai maka hargailah mereka yang merintis industri Mu … :)
so.. di atas langit masih ada langit….
:D
Tulisan yang bagus Donny….
Betapa sekarang kita makin mudah, namun justru itu tantangannya, apakah kita bisa menghasilkan karya yang lebih spektakuler?
Dari bidang saya…..
Membayangkan dulu mengonsep surat pake tulisan tangan, disetujui dulu, baru di ketik pake tik..tok..terus salah..balik lagi.
Sekarang kita bisa melakukan call conference, para investtor dari belahan dunia manapun bisa berdiskusi dari mulai aspek finansial sampai makro dan mikro perusahaan….Bagaimana kita bisa meyakinkan investor agar terus menjadi pemegang saham korporasi, dsb nya….
Namun yang tak berbeda adalah kemampuan kita….bagaimana kita bisa lebih baik..dan lebih baik…semua hanya tool, pada akhirnya kembali pada diri kita sendiri, apakah mampu bersaing dan menghasilkan karya yang lebih bagus.
Ia mba, sekarang malah bisa maen maen lebih casual via skype :) hihihi
saya masih mereka-reka apa makna yang dikandung pada tulisan kali ini..
mungkin seperti ini “setiap hal pasti memiliki akhir”
you know, it’s it’s it’s…. hmmmm…
*speechless*
both of you are…. hmmmm…
awesome…!
Aku ingat cerita eyangku di Samarinda.
Waktu itu, anaknya, -Oomku, kuliah di jurusan Teknik Sipil di Semarang, dan membutuhkan meja gambar yang sangat mahal… menjelang lulus, mulai deh marak “menggambar” design konstruksi dengan program komputer. Waktu harus kembali ke Samarinda, Oom-ku bingung mau diapakan meja segede itu. repot membawanya, sementara dibuang sayang, karena eyangku membelinya dgn susah payah dr gaji guru.
Mau dijual pada mahasiswa Teknik Sipil angkatan di bawahnya, mereka tak butuh lagi: buat apa meja segede itu kalau untuk menggambar sudah jauh lebih mudah dgn program komputer? Katanya, menggambar dengan meja tinggal menjadi teori dengan praktek yang relatif sedikit (asal bisa mungkin ya maksudnya?
Akhirnya meja itu dgn berat hati ditinggal di kamar kosnya..
Luar biasa… :D
Inilah perjalanan hidup. :)