Ereksi

20 Sep 2016 | Cetusan

Ketika penis seorang pria ber-ereksi, sejatinya kehidupan sedang dipertaruhkan, apakah akan dibawa kepada kebaikan atau kekelaman.

Kelam adalah ketika seorang suami tega menceraikan istri hanya karena ia tak kunjung mendapatkan ‘jatah’ padahal penisnya tiap malam tegang, ereksi.

Kelam adalah, saat Ken Arok memutuskan untuk membunuh Tunggul Ametung, bosnya, hanya karena ia tertarik dengan Ken Dedes setelah sebelumnya rajin mengintip wanita nareswari itu mandi di telaga asri.

Tapi dunia tanpa ereksi juga adalah dunia yang sepi, dunia yang tak berkelanjutan. Kita semua ada karena para pendahulu kita, ayah, kakek, kakeknya kakek dan kakek-kakek di atas-atasnya lagi bisa ber-ereksi. Meski mungkin untuk beberapa kasus ada orang yang punya anak dari proses inseminasi buatan yang tak membutuhkan ereksi tapi jumlahnya hingga saat ini masih amat sedikit.

Hari-hari ini kita dibuat heboh dengan pengaburan/blurring perlombaan renang pada Pekan Olahraga Nasional yang diadakan di Jawa Barat. Adalah atlit renang wanita asal Papua, Margaretha Herawati, yang pada tayangan stasiun televisi nasional dikaburkan bagian dadanya. Malah di screen lain, pengaburan terjadi di sekujur tubuh atlit tersebut hingga hanya menyisakan kepala saja.

Ereksi

Margaretha Herawati, atlit renang Papua itu…

Ereksi

Bahkan hanya tampak kepalanya saja yang tidak di-blur

Ini bukan kali pertama.
Beberapa waktu lalu bahkan sosok Suzuka yang ada di film kartun Doraemon pun harus dikaburkan pada bagian tubuh tertentu. Hampir tak masuk akal sebenarnya karena dulu, di era 90an, film Doraemon selalu kutonton tiap minggu pagi dan pikiran untuk ereksi ketika melihat Suzuka itu laksana jauh panggang dari api alias tak terpikir sama sekali!

Usaha pengaburan itu bagiku amat terkait dengan bagaimana supaya kita, para pria, tak ereksi melihat tayangan-tayangan tadi.

Padahal alih-alih mencapai tujuan, yang terjadi menurutku sebaliknya, ada beberapa kejanggalan dalam pola pikir para pembuat kebijakan yang tak bijak itu.

Pertama, pengaburan bagian tubuh tertentu itu memicu kondisi bahwa seolah bagian tubuh lainnya tak mampu mengundang syahwat.

Di Kebumen, kota tempat tinggalku dari tahun 1984 – 1993, dulu ada orang gila. Seorang wanita, usianya mungkin masih awal 30-an. Ia selalu telanjang bulat. Tubuhnya sintal dan payudara serta pantatnya kencang. Tapi tak sekalipun aku pernah tertarik secara seksual untuk membayangkan ketika berpapasan dengannya padahal waktu itu aku duduk di bangku SMP (1991 – 1993) dan nafsu birahiku sedang tinggi-tingginya karena akil balik.

Sebaliknya aku dulu pernah amat terangsang hanya dengan memperhatikan guru Bahasa Inggris di tempat kursus mengajari kami mengucap kata ‘door’ karena bentuk mulutnya yang membentuk lubang, membulat.

Syahwat itu panggilan. Ia hadir bukan karena bentuk bokong dan toket saja. Ada alasan-alasan lain yang kadang justru tak bersumber dari sana asal-muasalnya.

Kedua, pengaburan itu meremehkan daya khayal anak bangsa!

Seolah dengan dikaburkannya dada dan bokong lalu kita semua tak mampu berkhayal dan ber-ereksi. Sebaliknya, mengaburkan itu justru meningkatkan daya khayal yang kian baik karena makin banyak tantangan, makin banyak yang tak kelihatan akan membuat kita makin bebas dan liar untuk membuat gambaran dalam benak kita sendiri-sendiri.

Dulu aku pernah iseng bertanya pada seorang tuna netra. Bagaimana ia bisa berereksi kalau tak bisa melihat? Ia menjawab bahwa dengan mendengarkan suara pun, khayalan itu terbangun dengan amat baik. Visual hanyalah pendukung belaka, Kawan!

Ketiga, pengaburan itu adalah simbol ketidaklincahan kita untuk berdinamika secara tepat di jaman kiwari.

Ini barangkali yang terpenting sekaligus kesimpulan dari tulisan ini. Pengaburan itu laksana usaha orang tua untuk membuat anak kecil-nya nggak ngambek karena ia melihat ada anak kucing duduk di depannya.

Si orang tuanya berpikir, adalah percuma untuk menyuruh si anak kucing pergi karena toh ia akan kembali. Ia lantas menyuruh si anak itu untuk menaruh jempol tangan ke depan matanya hingga si anak kucing tak terlihat karena tertutup jempol. Lalu orang tua itu berujar, “Nah, sekarang anak kucingnya udah nggak ada, kan?”

Sama dengan kita! Karena pemerintah takut kita ber-ereksi, mereka memilih untuk menutup aurat seolah menyatakan bahwa aurat itu tak ada di sana hanya dengan pengaburan tersebut. Padahal mereka, dan kita, sejatinya juga tahu, keseronokan itu munculnya di kepala bukan di belahan pantat yang kencang dan bohay, tak juga di ujung puting payudara yang menjulang menantang rembulan!

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.