Ellen…

15 Agu 2013 | Cetusan

Pokoknya, 2007.
Aku lupa kapan tepatnya, tapi aku bisa memastikan bahwa di tahun itu aku mendapatkan Ellen dari kawan kerjaku di Indonesia dulu, Rahmat namanya.

Waktu itu aku memang perlu memberikan Pluto, anjingku yang satunya lagi, kawan baru setelah Prita, kawan lamanya meninggal karena cacingan dan kami telat mengobatinya sementara Rahmat kebetulan adalah juga pecinta anjing yang punya banyak relasi yang berprofesi pembibitan anjing ras. Klop!

Lantas ia membawa Ellen yang waktu itu belum diberi nama Ellen. Ia teckel murni yang berbulu panjang, Long-haried Dachshund, usianya belum lagi dua bulan. Warnanya coklat tua dengan beberapa spot berwarna abu-abu dan yang paling menarik perhatianku saat itu adalah, matanya yang indah, berwarna biru!

Aku lantas menggantinya dengan ongkos enam ratus ribu, harga yang lantas menjadi kesepakatan kami termasuk ongkos antar ke Klaten, rumah orang tuaku yang akan jadi rumah baru Ellen.

Pada sebuah minggu yang cerah, kami bertiga, Rahmat dan kawannya tadi, mengantarkan Ellen ke rumah yang saat itu disambut (alm) Papa, Chitra dan Mama.

Yang kuingat saat itu, reaksi mereka ketika melihat Ellen untuk pertama kalinya.

“Wah, kamu kok masih kecil sekali… dihajar Pluto nanti!” tukas Mama.
Chitra saat itu begitu terpana pada keanggunan Ellen yang meski masih puppy tapi memang sudah menampakkan ruas-ruas cantiknya baik itu pada bentuk wajah, bulu, gesturenya dalam berjalan dan bertingkah serta yang paling menarik perhatiannya sama dengan yang membuatku tertarik sejak mula-mula, bola mata Ellen yang didominasi warna biru, “Kayak pake softlens ya, Mas!”

Tapi kenapa ia dinamai Ellen?
Entahlah. Kalian percaya kan ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata pokoknya sejak pertama kali aku melihatnya aku merasa harus memberinya nama demikian, Ellen!

“Reaksi Pluto waktu kukasi tahu kalau Ellen udah pergi sama kayak reaksi Pluto ketika kukasih tahu kalau Papa meninggal, tahun 2011 yang lalu, Mas. Dia melengos lalu berjalan menjauh dariku pelan-pelan, ke dapur, duduk terpaku, membelakangi kami.. lama.. lamaaa banget!”

Lantas sebenarnya yang ditakutkan Mama tadi terjadi.
Pluto, yang ketika kutulis catatan ini telah berusia 11 tahun, begitu melihat kedatangan Ellen langsung mengejar, menyerangnya dengan serudukan lalu menggigit perut Ellen. Ia, yang jelas bukan lawan seimbang Pluto itu mengerang lalu menangis sementara Pluto harus puas kena tendang Papa lari terbirit-birit.

Tapi toh Pluto dan Ellen lama-lama bisa menyesuaikan diri lantas layaknya tinja dan kentut, mereka selalu ada bersama-sama dimanapun dan kapanpun.

Kalau pagi, menemani Papa membaca koran dan menikmati kopi di halaman samping rumah Klaten. Lalu kalau aku dan Chitra pulang dari Jogja pada akhir pekan, mereka selalu mengikuti kemanapun kami pergi. Terutama Ellen, ia selalu berusaha menempelkan tubuhnya ke sela-sela kaki kami. Kadang menjengkelkan, tapi sebenarnya ia adalah sosok yang menyenangkan.

Lalu ketika kami duduk atau tiduran, ia selalu berusaha menarik perhatian kami supaya digendongnya dia lalu dimanja. Nah kalau sudah begitu biasanya Pluto naik pitam. Ia selalu tak suka kalau pasangannya, Ellen, kami ambil untuk dimanja-manja. Bukan karena cemburu perihal ia yang tak pernah dimanja tapi lebih karena ia tahu Ellen adalah miliknya. Ya, semacam rasa kepemilikan yang tak berlebihan sebenarnya… seperti kamu dan pasanganmu, kan?

Mereka menjadi teman yang sangat dekat bagi Papa hingga Papa meninggal April 2011 silam. Konon, Pluto dan Ellen lah sosok-sosok pertama yang malam itu memberi tahu Chitra dan Mama yang telah tertidur dengan cara meringik-ringik melihat Papa terserang stroke di depan televisi ketika menyaksikan pertandingan siaran langsung sepak bola, 24 jam sebelum ia akhirnya wafat.

Sewaktu aku pulang untuk keperluan pernikahan Chitra, Juli 2012, aku memperhatikan ada sedikit yang tak beres pada tubuh Ellen. Puting payudaranya tampak membesar padahal ia tak hamil. Chitra lantas menjelaskan memang ada tumor pada payudara Ellen tapi semua sudah dalam pengawasan tim kedokteran hewan di UGM, Jogja.

Beberapa waktu sesudahnya, Chitra (dan suaminya, Ayok) lantas membawa Ellen ke Jogja untuk operasi pengangkatan tumor payudaranya. Puji Tuhan semua yang direncanakan berjalan dengan baik, Ellen sehat meski aku tak bisa membayangkan apakah Pluto protes dan merasa kehilangan karena payudara pasangannya diangkat.

Setelah itu hingga sekitar tiga hari yang lalu, kehidupan Ellen dan Pluto tak pernah jadi bahan pembicaraan baik itu ketika aku menelpon Chitra atau Mama kecuali paling sesekali Mama terdengar memanggil mereka untuk masuk ke rumah karena hari telah gelap.

Tiga hari yang lalu, Joyce, istriku, mendapatkan kabar dari Chitra bahwa Ellen ‘sedang tak enak badan’. Ia baru saja disuntik karena flu dan pilek, hal yang tak membuatku tertarik untuk mengikuti lebih lanjut, bukan karena tak sayang pada Ellen tapi aku percaya pada orang-orang di sekitarnya yang menyayanginya.

Lalu tiba-tiba selasa pagi silam, Chitra mengabarkan bahwa Ellen harus segera dioperasi siang itu karena ada infeksi di rahimnya, “Kalau tidak, ia bisa mati!” tukas adikku semata wayang itu menjelaskan dalam kekhawatirannya. Kami lantas berunding terkait masalah dana pagi itu, namun sayang, semuanya itu tak membantu Ellen untuk lebih lama menikmati hidup.

Kondisinya melemah di atas meja operasi ketika beberapa dokter sedang mengupayakan yang terbaik baginya, Ellen lalu pergi untuk selamanya.

Aku berusaha untuk tegar mendengar Chitra bercerita itu semua. Kuhibur adikku dengan mengatakan bahwa kematiannya adalah yang terbaik bagi Ellen karena sakit yang sudah terlalu berat untuk ditanggungnya.

Pluto (kanan) dan Ellen (berdiri), 2007.

Tapi ketika ia hendak melanjutkan cerita bagaimana ia lantas menceritakan kematian Ellen ke Pluto, pasangannya, adalah hal terberat bagiku, menyesakkan namun ada baiknya kubagikan di sini,

Begini tukasnya di jendela messenger yang kuterima kemarin pagi, sehari setelah Ellen pergi,

“Reaksi Pluto waktu kukasi tahu kalau Ellen udah pergi sama kayak reaksi Pluto ketika kukasih tahu kalau Papa meninggal, tahun 2011 yang lalu, Mas. Dia melengos lalu berjalan menjauh dariku pelan-pelan, ke dapur, duduk terpaku, membelakangi kami.. lama.. lamaaa banget!”

Selamat jalan, Ellen, selamat beristirahat! Setidaknya Papaku kini tak sendirian lagi menikmati kopi dan koran di setiap pagi di taman surga. Engkau tentu sedang menuntaskan rindu kepadanya sambil mengibas-ibaskan ekor di kakinya.

Aku akan ‘cuti’ mempublikasikan tulisan di blog ini untuk beberapa waktu ke depan karena alasan pribadi yang tak dapat kutuangkan di sini. Tulisan berikutnya akan terbit pada 2 September 2013. I’ll see you soon!

Sebarluaskan!

10 Komentar

  1. Nderek belasungkawa …

    Balas
  2. Nice story mas,jadi inget xiaopai,sering banget ke dokter gara2 kencing batu.Sudah 2x operasi .Matanya sedikit putih gara2 digigit mimi.xiaopai jika le luar rumah bisa pulang sendiri,dia akan panggil2 dari luar pagar.Gak bisa diajak lari cepat karena kegemukan. Dietnya gagal,suka makan buah,takut bunyi keras,suka ngorok,sembunyi di bawah ranjang.gak mau didandani. Mimi suka sembunyi dibawah mobil,berjemur matahari,jika jam pulang 2nyaduduk manis depan pintu

    Balas
  3. dari fotonya kulihat Ellen memang cantik.
    setidaknya kamu cukup beruntung pernah memelihara anjing secantik Ellen, Don!

    Balas
  4. Ellen lucu juga klo saya hobi pelihara burung mas, hehehhehe

    Balas
  5. hmm.. Ellen, satu-satunya makhluk hidup yang setia mengawal (ya, mengawal karena ia selalu berjalan didepanku) saat aku terbangun tengah malam dan ke toilet untuk kencing. ia yang menemaniku..

    sekarang handuk tempatnya tidur, ga pernah kusingkirin. biarin aku terbiasa melihat handuk itu kosong.. penghuninya sudah pergi..

    hmm. sedih lagi deh. besok sata pulang, jangan kelepasan tanya “Ellen mana” hehehhehe

    Balas
    • :))

      Balas
  6. Merinding dan nangis baca cerita ini. :'(

    Balas
    • Thanks :)

      Balas
  7. aku bukan pecinta hewan, om. Kucing saja, aku memegang tak berani. Tapi kepergian Ellen memang membuat terharu -_-

    Balas
    • Thanks :) Nulisnya pake hati tuh :D

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.