Malam ini mungkin bakal menjadi malam terakhir bagi Sumiarsih (60) dan Sugeng (44), ibu dan anak terpidana mati kasus pembunuhan berencana 20 tahun yang lalu.
Panasnya peluru akan merobek permukaan kulit dadanya menembus jantung dan mengantarkan nyawanya ke alam yang lain lagi.
Pernahkah kita mencoba turut merasakan bagaimana gejolak batin mereka saat-saat ini?
Aku ingat betul setiap hari minggu sore dulu dimana aku harus kembali ke Jogja setelah berakhir pekan di rumah orang tua dimana keduanya berjarak sekitar 100 kilometer
adalah saat yang paling tidak mengenakkan. Aku selalu berharap mobil travel warna putih yang akan mengantarkanku kembali ke Jogja lambat-lambat saja datangnya sehingga aku masih
bisa bercengkrama dengan keluargaku lebih lama lagi. Tapi ketika mobil itu akhirnya tiba, aku toh hanya bisa pasrah melangkah meski tetap bergembira karena setidaknya minggu
depan aku masih bisa mengulangi lagi mendapatkan kehangatan yang sama dari keluarga.
Akan tetapi masalah mati, masalah hukuman mati yang akan dihadapi Sumiarsih dan Sugeng tentu berbeda dengan ilustrasi di atas.
Mereka berdua tentu tak pernah bisa berharap untuk saling bertemu dengan para napi lainnya dan bekerja serta berkarya bersama di LP seperti sebelum-sebelumnya.
Jarak antara mereka berdua dengan para napi dan kita yang masih ada di dunia ini adalah simpul terdekat sekaligus terjauh dalam kehidupan ini, kematian.
Terlepas dari itu semua masalah hukuman mati memang bukan soal yang gampang untuk dijawab.
Aku sendiri akan sangat susah untuk menjawab tentang setuju atau tidak setuju terhadap pelaksanaan hukuman mati di tanah ini.
Ada bias yang memiliki dependensi, sangat subyektif.
Dependensi itu adalah perihal “tergantung”.
Tergantung siapa yang ditembak mati.
Kalau yang ditembak mati teroris tentu aku akan bersuka karena mereka telah menghilangkan begitu banyak nyawa.
Kalau yang ditembak mati itu koruptor, wah itu akan lebih menyenangkan lagi meski tampaknya sampai kiamat pun juga tak akan ada hukuman mati bagi para tikus itu.
Lalu bagaimana pula seandainya aku kenal baik dengan si terpidana mati, sudah barang tentu aku bermurung durja.
Atau kalau ternyata korban pembunuhannya adalah saudara atau kawan dekatku sendiri?
Wah bisa jadi aku akan berada di barisan terdepan mendesak percepatan hukuman mati itu tadi.
Entahlah… tapi mungkin semua itu karena aku dan kita semua adalah manusia.
Hati nurani adalah sekeping bidang lembut yang tertutup kerasnya dunia.
Perasaan berkasih, tak tega dan memaafkan tak jarang terhalang kuat oleh segalanya yang berlawanan.
Aku ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Leo Tolstoy, sesaat setelah ia menyaksikan eksekusi mati penggal kepala (Guilotin) di Paris, Perancis.
“When I saw the head part from the body and each of them fall separately into a box with a thud, I understood not with my mind but with my whole
being–that no rational doctrine of progress could justify that act…”
Selamat jalan manusia Sumiarsih dan manusia Sugeng.
Berbahagialah karena setidaknya sesudah kehidupan ini kalian berdua tak mungkin bisa berbuat dosa lagi.
Selamat diterima dan bertemu dengan Muara yang menjadi kepercayaan Anda berdua.
pantaas
klo
akau diliat
kejahatanya
Setiap orang, tidak peduli siapa, mesti bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannya.
Saya tak pernah bisa membayangkan perasaan orang-orang yang tanggal kematiannya sudah ditentukan. Saya juga tidak bisa memberikan keputusan apakah akan setuju atau tidak dengan hukuman mati. Terlalu banyak sisi yang harus dijadikan pertimbangan.
Apakah yang ingin kita capai dari hukuman mati ini??? Efek Jera??? Kematian mereka tidaklah serta merta akan mengubur kebengisan mereka. Kebengisan yang lebih daripada yg pernah mereka lakukan akan segera muncul. Satu hal yang pasti dari hukuman mati ini adalah bertambahnya nyawa anak manusia yang hilang…Andai saja kita dan aku khususnya punya pengampunan…..
Hukuman mati mungkin lebih sebagai faktor untuk mencegah orang berbuat lebih jahat.
Yang mengherankan adalah mereka berdua menunggu selama 20tahun untuk ditembak setelah vonis dijatuhkan, sudah tersiksa terlebih dahulu.
Kronologis kejadiannya gimana sih sebenernya nih kasus…?
@DM: Oh ya? Bahkan sampai harus membayar dengan nyawa sekalipun ?
@Rafki: Yap! Setuju!
@rtb: tentu pertimbangannya nggak cuma soal itu, Mas :)
@Ronggo: no comment :)
@Hedwig: itulah dia, berarti hukumannya adalah 20 tahun penjara bonus timah panas ya ?
@Chandra: Di Kompas Online banyak noh…
Subyektifitas memang sering meliputi perasaan kita, terutama kepada orang-orang terdekat kita tapi kita semua tentu akan setuju apabila hukum di negeri ini ditegakkan secara obyektif bukan subyektif…salam
itu dia, apakah hukum dunia ada yang adil??
kita liat saja hukum yang asli nantinya..duh jadi sedih bacanya!
mas donny, menurut saya sih sebenarnya kurang manusiawi juga kalau dari sisi kemanusiaan karena harus menghilangkan nyawa, apa pun motif dan alasannya. tapi agaknya hukum menggunakan sudut pandang yang berbeda. saya kira tujuannya jelas utk menimbulkan efek jera kepada orang lain agar tdk melakukan hal yang sama. memang persoalan hukuman mati ini akan terus menimbulkan banyak pro dan kontra, mas.
Pernahkah terpikir perasaan orang2 yang keluarganya dihabisi dengan begitu sadis? Jika, ini jika loh Don, pembunuhan itu dilakukan atas dasar membela diri hendak dihabisi…mungkin rasa ibu itu ada. Tapi ini? Astaga, pembunuhan yang dilakukan secara sadar hingga tercipta rekontruksi pembunuhan yang begitu detil dan terperinci?
bangun don… bangun…. kebo amat siih tidurnnya… perasaan bandung – jogja ga jauh2 amat deeh…udh ditungguin tuh sama org asuransi…
ini kasus 20 tahun yg lalu….
sekarang saya ingin bertanya pada mas verdian..”definisi teroris itu bagaimana..?”
yg pasti, kejadian ini betul2 “meneror” warga surabaya, bahkan menghantui masa kecilku yg emang sekota….
pantas tidak “teroris” kategori ini diberi hukuman mati..?
@Torasham: Itulah, Mas.
Saya sendiri tak mau terjebak dalam definisi-definisi dan penilaian karena seperti yang saya bilang di dalam tulisan ini, masalah hukuman mati sangat pelik untuk dipersoalkan.
Salam kenal
huammm… ngantuk :(
oya… itu itu… hukum mati…
-nyawa => bukan hak manusia untuk mencabutnya. walaupun kadang Tuhan mencabutnya tanpa ba-bi-bu, tetap bukan hak kita untuk mencabut nyawa orang lain.
masukin ke sel, suruh kerja rodi bangun bendungan, atau hal-hal lain akan lebih memberi makna untuk sebentuk nyawa yang dititipkan Tuhan kepada dia.
setuju ma DM
Sebetulnya perlu diingat bahwa kemampuan manusia untuk melihat kebenaran itu selalu terbatas, sehingga memvonis hukuman mati yang sedemikian final bukanlah hak manusia.
Yang menciptakan batasan itu agama, Mon. Percayalah :)