Eksekusi Mati. Efektifkah?

29 Apr 2016 | Indonesia

Setahun lalu, delapan orang yang secara hukum terbukti mengedarkan narkoba, dieksekusi mati di Nusakambangan. Tiga bulan sebelumnya, Januari 2015, enam orang terpidana mati kasus narkoba lainnya di-dor juga.

Dunia menyambut hal itu dengan beragam reaksi utamanya karena hal itu terjadi pada awal masa pemerintahan Presiden Jokowi yang baru diangkat Oktober 2014.

Sebagai presiden, Jokowi sebenarnya bisa saja menerima permohonan grasi dari para terpidana waktu itu tapi tentu ia punya alasan tersendiri kenapa akhirnya memutuskan untuk menolak.

Darurat Narkoba

Barangkali Jokowi berpikir bahwa Indonesia ada dalam situasi darurat narkoba dan hal itu harus bisa diselesaikan dengan salah satunya menolak grasi tersebut supaya eksekusi mati segera dilakukan.

Hal ini ?terbaca? dalam pernyataannya pada sela-sela kunjungannya dalam pertemuan Pers Nasional di Auditorium TVRI Senayan, Jakarta Pusat.

Dalam acara yang diadakan pada Senin 27 April 2015, atau dua hari sebelum delapan terpidana dieksekusi, Jokowi seperti dirilis Liputan6?bilang begini, “Itu yang harus dijelaskan. ?Dan pers harus menjelaskan, setiap hari ada 50 generasi muda kita mati karena narkoba. Kalau dihitung setahun, ada 18 ribu. Itu yang harus dijelaskan.”

Wow! Jumlah yang sangat masif tentu saja!

Tapi, kalau memang eksekusi mati adalah cara ampuh untuk mengurangi jumlah korban narkoba, kenapa dalam setahun belakangan tak ada satupun terpidana mati terkait kasus narkoba yang dieksekusi padahal konon menurut Budi Waseso, Kepala Badan Nasional Narkotika pada Februari 2016 silam melalui Detik.com?ada 151 orang terpidana mati yang menunggu eksekusi.

Biaya

Barangkali penyebabnya adalah faktor biaya. Menurut Jaksa Agung Prasetyo melalui Kompas.com, biaya eksekusi per terpidana adalah 200 juta rupiah tergantung tempat pelaksanaan serta tergantung ada tidaknya biaya angkut terpidana dari daerah dimana ia ditahan ke tempat pelaksanaan eksekusi.

Anggaplah angka eksekusi per terpidana tetap sama, 200 juta rupiah, maka untuk ?menghabiskan? ke-151 terpidana lainnya, pemerintah hanya perlu dana sekitar 30.2 milyar rupiah saja.

Apakah angka itu sulit didapat di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini?

Ingat, ini kan darurat, harusnya ada kantung dana lain yang bisa diambil mengingat kedaruratan ini.

Tapi tak ada yang lebih mengejutkan dari berita yang kudapat melalui DetikCom bahwa untuk tahun 2016 ini Kejaksaan Agung hanya mengajukan anggaran untuk mengeksekusi 14 orang saja dan tak terkonfirmasi apakah kesemuanya dari kasus narkoba atau tidak.

Kenapa hanya 14 orang atau di bawah 10 persen dari total terpidana yang menunggu eksekusi?

Efektifkah?

Hal ini membuat pertanyaanku pada akhirnya berubah tidak pada seberapa serius Jokowi dalam mengatasi darurat narkoba tapi lebih kepada efektifkah eksekusi mati yang dilakukan selama ini?

Jika efektif, bagaimana dengan pernyataan Luhut Panjaitan?pada kuliah umum di ITB beberapa waktu lalu yang menyebut bahwa jumlah korban narkoba setiap hari adalah 30 – 50 orang?

Kalau benar angka itu adalah hasil analisa jitu, lantas berapa jumlah penurunan yang dicapai setelah keempat belas orang terpidana dieksekusi tahun lalu?

Kenapa angkanya masih sama saja, 50 korban per hari?

Pemerintah seharusnya tak hanya mengevaluasi anggaran terhadap biaya eksekusi mati saja karena ada yang lebih penting daripada itu yaitu menilai seberapa efektifkah eksekusi mati mempengaruhi penurunan angka korban narkoba.

Jika memang ternyata tidak efektif, pemerintah harus memulai penelitian terbaru tentang cara ampuh menanggulangi narkoba lalu membuktikan dan menunjukkan pada dunia.

Kuyakin kalau Indonesia berhasil, undangan terhadap Jokowi untuk bicara di forum-forum internasional akan semakin banyak dan tak hanya terbatas pada topik penanggulangan teroris atau bagaimana cara mengatasi ilegal fishing saja tapi juga tentang betapa efektif cara penanggulangan narkoba di Indonesia tanpa hukuman mati.

A sign of hope is the increasing recognition that the dignity of human life must never be taken away, even in the case of someone who has done great evil. Modern society has the means of protecting itself, without definitively denying criminals the chance to reform. I renew the appeal I made most recently at Christmas for a consensus to end the death penalty, which is both cruel and unnecessary. – St. John Paul II

Sebarluaskan!

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.