Eka: ?I will blog with or without sponsors

25 Nov 2013 | Cetusan, Harblognas

Sama halnya dengan Imelda, Eka Situmorang (atau yang akrab kupanggil ‘Eka’ atau bahkan ‘CeritaEka’ karena blognya memang demikian titlenya -red) adalah sedikit dari kawan online yang pernah kutemui.

Awal kedekatanku dengan Eka sendiri berjalan cukup unik.
Pada sebuah lomba menulis blog akhir dekade silam aku menang! Tapi karena aku baru saja pindah ke Sydney, tentu tak mungkin untukku datang ke Jakarta menerima hadiah dari lomba itu. Lalu aku minta Eka untuk mewakilinya dan ia mau!

Tapi tentu bukan karena ‘hutang budi’ itu maka aku menuliskan Eka di sini.?Ada satu sisi yang hendak kusampaikan melalui interview di bawah ini yaitu bagaimana Eka memposisikan diri sebagai blogger yang meski oleh banyak orang (bahkan diriku sendiri, awalnya -red) dianggap sebagai contoh keberhasilan seorang blogger yang memonetize blognya, tapi nyatanya tak selalu apa yang ia sebutkan di blog itu sebenarnya mendatangkan bayaran.

Nah? Kaget kan!
Lalu untuk apa Eka tetap merview kalau tak semuanya mendatangkan bayaran??Simak penggalan interview di bawah ini…

Kapan kamu mulai ngeblog?
Aku mulai ngeblog Maret 2009 di blog gratisan ceritaeka.wordpress.com, kemudian mulai Agustus 2009 migrasi ke self-hosted blog ceritaeka.com.

Apa sejak awal sudah tercetus ide untuk membuat blogmu itu monetized?
Soal monetized, sebenarnya aku masih kurang terlalu ngerti maksudnya. Apakah blog yang menghasilkan uang dengan cara apapun termasuk monetized blog?

Tapi blogku memang menerima review jika ada permintaan serta mendapatkan kompensasi dalam bentuk atau jumlah yang sesuai kesepakatan. Kalau hal tersebut termasuk monetized blog, maka yes artinya blogku di-monetized.

Iya. Kupikir begitu definisinya. Menurutmu bukan?
Dibayanganku monetized blog itu adalah blog yang terima banner ads yang pay per-click atau membuat tulisan dengan keyword-keyword tertentu untuk bisa tampil di halaman pertama Google. Aku nggak lakukan itu. Tapi blogku memang menerima review jika ada permintaan serta mendapatkan kompensasi dalam bentuk atau jumlah yang sesuai kesepakatan. Kalau hal tersebut termasuk monetized blog, maka yes artinya blogku di-monetized.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal tadi, apakah memang sejak awal sudah tercetus ide untuk membuat blogmu monetized, Ka?
Nggak, tapi memang misalnya aku sedang jalan-jalan ke mana, aku tulis dengan gamblang nginep di mana, pakai maskapai apa, yang gitu-gitulah. Aku sebut brand dengan senang hati for free karena aku suka. Kemudian dari situ malah ada brand lain yang mendekati. Dan kalau apa yang ditawarkan sejalan dengan hatiku maka aku terima.

OK, kamu setuju nggak kalau berarti kusebut kamu adalah seorang blogger yang memonetize dengan senang hati? Begitu?
Aku ndak setuju, Don.?Karena kalau disebut monetize blog dengan senang hati maka itu bisa jadi misleading seolah tujuanku ngeblog hanya untuk monetize or making money from that.

The fact is, I will blog with or without sponsors. Tawaran dari brand itu aku anggap bonus, bukan tujuan.

Lalu?
Aku blogger, for I know aku suka nulis. Kalau blognya terus dilirik brands, itu ekses yang menguntungkan. Tapi sekali lagi, monetize bukan tujuanku utamaku ngeblog.

…untuk pelaku yang memonetize blognya, mesti hati-hati juga pada saat memonetize blog. Ada kode etik sendiri yang mesti dipatuhi.

Bagaimana tanggapanmu tentang monetizing blog itu sendiri?
Monetizing blog is nice. Some readers will get new insight or information from that. Tapi untuk pelaku yang memonetize blognya, mesti hati-hati juga pada saat memonetize blog. Ada kode etik sendiri yang mesti dipatuhi.

Masalahnya Don, kode etik ini bisa berbeda-beda tiap orang. I am fine with those who monetize their blogs as long as they still have some etiquette. Misalnya, tidak semata-mata review membabi buta bilang bagus semua hingga menafikan kenyataan produk tersebut.

Wah menarik ini! Kalau begitu bagaimana kode etik yang kamu terapkan ketika kamu menerima permintaan review sebuah produk?
Aku terima permintaan review dengan salah satu atau beberapa kondisi seperti: kalau produknya aku cocok, aku suka atau menurutku hal itu akan menjadi informasi yang berguna buat pembaca. Kalau nggak cocok atau nggak berguna buat pembaca, nggak aku ambil karena mubazir.

Contoh, tahun lalu aku menolak tawaran kampanye seorang cagub, dan tahun ini aku menolak tawaran kampanye dua orang capres. Walau kompensasinya menggiurkan tapi aku nggak bisa melakukan itu karena nggak sreg di hati.

Pernah juga pada saat proses review aku menemukan cacat atau hal kurang baik dari produk tersebut, aku informasikan keluhanku ke pihak yang menawarkan supaya jadi input tambahan buat mereka. Bukankah itu juga tugasku sebagai pereview? Jadi selain memberitahukan produk tersebut di blog juga memberikan masukan baik atau buruknya produk tersebut.

Bukan berarti aku ndak jujur, aku telah melakukan bagianku dengan menyampaikan temuanku ke mereka secara langsung dengan harapan hal tersebut diperbaiki oleh mereka.

Jika mereka mengijinkan, aku tuliskan soal kekurangan tersebut di blog dengan bahasa yang solutif dan tidak memojokkan. Contoh, “amenities di kamar mandi hotel A kurang komplit, andai saja diberikan amenities yang lebih lengkap, nginep di sini jadi lebih asyik.” Komplen soft tapi solutif gitulah, Don. Nggak cuma caci maki.

Tapi, kalau pihak brand tidak setuju hal tersebut dituliskan di blog ya aku nggak tuliskan keluhan itu tapi juga nggak memuji soal amenities. Bukan berarti aku ndak jujur, aku telah melakukan bagianku dengan menyampaikan temuanku ke mereka secara langsung dengan harapan hal tersebut diperbaiki oleh mereka.

Kan ada monetized blog dan ada juga buzzer yg beredar di twitter timeline. Menurutmu apakah buzzer di timeline itu merupakan kelanjutan dari monetizing blog atau keduanya merupakan dua hal yang berbeda?
Menurut pendapatku pribadi, hal tersebut sama aja. Yang berbeda adalah platform atau channel komunikasinya. Tapi pada dasarnya sama.?Hanya saja, ya karena beda channel, ya beda juga bagaimana cara penyampaian ‘message-nya.’

Bagimu sendiri, Ka ketika harus menulis review, lebih nyaman di blog atau Twitter?
Aku merasa jauh lebih nyaman di blog, karena ketersediaan ruang yang lebih luas dalam menuliskan opini. Jadi bisa mengemukakan alasan, latar belakang atau memberikan informasi tambahan secara lebih leluasa.?Lagi pula kalau di blog, tektok pada saat komentar juga enak karena ya itu tadi, ruangnya luas.

Ada blogger yang hantam kromo terima semua tawaran review, nggak sesuai sama passion-nya ya terima aja

Ada banyak pihak yang menganggap monetized blog itu kurang lazim karena dianggap ‘mata duitan’ dan tetek bengeknya. menurutmu gimana?
Kurang lazim itu masuk kategori relatif sih, Don. Tiap orang punya ukurannya sendiri.

Blog kan berkembang, tidak lagi hanya menjadi media bertukar pikiran tapi bisa juga jadi media curhat, diary atau malah media iklan sekalian.

Di mataku yang merasa bahwa hidup itu nggak bisa lepas dari merk apapun, menyebut nama brand di dalam blog (or some people called it monetizing) itu sah-sah saja asal dilakukan dengan beberapa poin pegangan yang sudah aku sebutkan di email sebelumnya. Tapi ya itu kan poin peganganku secara pribadi, yang tentunya tidak sama dengan orang lain. Walau aku mengenal beberapa blogger yang memiliki pandangan yang sama denganku juga.

Hence, aku juga ndak bisa menyalahkan kubu yang bilang blogger yang me-monetizing blog itu matre bla bla, karena memang ada juga blogger yang mereview produk tanpa memberikan informasi yang seimbang atau yang sejujurnya ia rasakan. Ada blogger yang hantam kromo terima semua tawaran review, nggak sesuai sama passion-nya ya terima aja. Tapi kan ndak semua blogger begitu. Pada intinya hal itu kembali lagi ke orangnya ?.

Trus ada pandangan dari para blogger yg bilang bahwa blogger yg mau ngereview produk itu sah-sah saja asal ada pemberitahuan bahwa itu adalah advertorial seperti halnya di televisi atau di majalah ada label ‘ADV’ nya, menurutmu sebagai orang yang pernah mereview, gimana pandanganmu tentang hal ini? Maksudku mudah dilakukan atau ada tuntutan dari brand untuk tidak melakukan itu misalnya?

Pemberitahuan bahwa itu ADV sah-sah aja. Tapi buatku sendiri nggak harus. Hal itu balik lagi ke persona masing-masing. Dari brand sendiri ada yang membolehkan, ada yang tidak. Nggak semua brand ketat kok.

Aku pribadi kadang aku tulis, kadang enggak. Aku memang tidak menulis hal itu ADV tapi seringnya aku bilang “thank you Garuda”, “terima kasih hotel Sheraton for inviting me to this trip” atau yang begitulah. Menurutku itu sama juga dengan memberitahukan bahwa trip ini disponsori oleh pihak-pihak tersebut.

Untuk aku pribadi, pilihan tidak menulis kata ADV ada beberapa alasan: selain karena ada permintaan dari Brand tapi kadang aku nggak tulis karena aku punya experience dengan produk tersebut.

Misalnya, suatu produk minyak goreng, aku memang konsumen minyak itu, aku tahu keunggulannya dan kenapa aku memilih minyak itu. Menurutku ndak perlu aku tulis ADV (walau misalnya diijinkan brand) karena kalau pun aku lagi tidak diminta endorse brand minyak itu, suatu kali kalau aku lagi inget aku pasti ngetwit bilang juga pake itu minyak karena memang bagus.

Ok, next. Kan taon 2014 itu taon politik di Indonesia. Market buzzer dan blogger untuk menerima tawaran membantu strategi baik caleg, capres maupun cawapres mulai rame? Kalau bole tahu, gambaran kasar saja, harga tawar untuk itu berapa rupiah dan hitungannya per apa gitu?
Soal harga tawar itu akan berbeda tiap blogger atau buzzer, Don. Parameternya apa, aku juga kurang tau. Ada blogger atau buzzer yang punya rate sendiri, ada juga yang menunggu tawaran rate dari agency atau brand.

Untuk harga tawar kasarnya berapa, aku tidak tahu, Don.

Sebarluaskan!

4 Komentar

  1. Eka berapi-api banget yes, hehe.

    Tapi emang dia dan gw mirip banget sih, kita akan sukacita endorse brand kalo emang dirasa cocok.
    Soal rate.yg lazim menurut gw (sekali lagi menurut gw) untuk terima tawaran capres sih 1,5 juta ke atas ya.

    Balas
  2. Eka adalah salah satu blogger yang datang ke kopdar pertama yang diadakan oleh IBN. Waktu dulu pertama kali sharing tentang visi-misi IBN, sempat grogi juga berhadapan dengan doi yang serius dengerin kemudian nanya2. Thank you Eka, for the friendship and supporting us until now. *HUGS*

    Balas
  3. Ahh Mbak Eka, Aku ketemu pertama kali waktu di Sidoarjo ya. Baik banget mbak Eka. Aku baca interviewnya seru loh.. Sayang kita gak sempet ngobrol banyak waktu itu. Aku baca obrolan ini sampe lupa kalau ada kerjaan haha

    Balas
  4. Eh ada mbak Eka :-)

    Pertama kali ketemu dan bertegur sapa dengan mbak Eka juga karena acara IBN di Sidoarjo
    Kagum banget ama kemampuan speaking beliau. Ceriwis tapi berisi…

    Sukses terus mbak Eka…

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.