Ebiet

1 Mar 2016 | Cetusan

Ebiet mengingatkanku pada mendiang Papaku.

Ia dulu penyuka Ebiet G. Ade dan demikian pulalah aku jadinya.

Waktu ku SD dulu, Papa punya sebuah tape deck lengkap dengan amplifier dan equalizer yang oleh Mama diletakkan di dalam sebuah rack bertingkat. Di samping kiri dan kanannya terdapat dua bongkah speaker besar dan di atas masing-masing speaker itu, terdapat rack kaset.

Semuanya tersusun rapi di sudut ruang makan di rumah kecil kontrakan kami di Jl Bengawan, Kebumen, Jawa Tengah.

Tapi sebenarnya kaset yang diputar ya itu-itu saja.?Mamaku suka Vina dan Endang S. Taurina, aku suka Julius Sitanggang sementara Papa, Ebiet.

Pagi menjelang dan sore sepulang kerja, Papa memutar Ebiet kencang-kencang. Pintu rumah dan jendela dibiarkan terbuka lebar-lebar seolah ingin mengoroki telinga tetangga yang waktu itu rata-rata suka dengan Nasida Ria, Itje Trisnawati dan Rhoma Irama.

Papa begitu menghidupi waktunya dengan lagu-lagu Ebiet. Ia sampai punya guyonan konyol terkait Ebiet. Karena waktu itu Chitra masih bayi (aku terpaut tujuh tahun dengan Chitra, adikku) sering Papa keluar kamar mandi hanya bercelana dalam dan dalam perjalanan ke kamar untuk berpakaian, ia menyanyikan penggalan lagu

Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih (Untuk kita renungkan – Ebiet G. Ade)

dan kalau begitu, Mama biasanya teriak, ?Nggilani!!!?

Papaku orang yang musikal.
Ia tak berkutat pada memutar dan mendengarkan lagu. Ia kerap mendendangkan Ebiet ditemani gitar bolong merk Osmond dan sepotong suara yang tak sumbang tapi juga tak bagus-bagus amat sebenarnya?

Dan ketika engkau datang? aku pejamkan mataku whuooooo? (Cintaku kandas di rerumputan – Ebiet G. Ade)

“Bagian kuwi aja nganti fales, Le. Terutama pas bagian ?Dan?? kuwi dhuwur banget, dadi kudu ngira-ira ben ora kaget? (Bagian itu jangan sampai fals, Nak. Terutama bagian ?Dan?? Nadanya tinggi sekali jadi harus bisa mengira-ira supaya nggak kaget! –jawa)? tuturnya sambil nggenjreng gitar seolah memberiku kursus singkat Ebiet.

Padahal aku tak memperhatikan benar apa yang ia katakan; aku lebih memperhatikan semangatnya; sepulang kerja dengan bau keringat khas-nya, kacamata kusam yang turun nyaris ke hidung mancungnya, kemeja lusuh tergulung hingga bagian lengan, rokok tergamit di jemari kanan, gitar di pangkuan paha kanan, dan di pangkuan kirinya, anak sulung kesayangannya: aku.

Waktu akhirnya kami diberi berkat membeli mobil, kaset-kaset di dalamnya pun juga tak lebih dari Ebiet meski aku kadang curi-curi menyelipkan KLa Project ataupun Dewa19; musik yang bukannya tak disukai oleh Papa tapi kalau sudah ada Ebiet, yang lain jadi tak penting lagi…

Pada saat kondisi ekonomi kami ambruk sekitar 1997an, Ebiet juga tak lepas dari Papa dan kami sekeluarga. Kalian Dengar Keluhanku dihayati betul olehnya.

Ada satu momen yang kuingat sangat waktu itu. Papa yang kehilangan pekerjaan, berusaha mencari kerja, pergi ke Jakarta beberapa malam. Sangu-nya pas-pasan tapi motivasinya gila-gilaan!

?Aku harus dapat kerjaan! Nanti kalau kamu mesti pindah Jakarta, nggak papa ya, Tyas!? paparnya di hadapan Mamaku sebelum ia berangkat menumpang bis malam kelas ekonomi Kebumen – Jakarta.

Tiga hari ia pulang, sangunya tandas demikian pula motivasinya dan sorot matanya.?Pekerjaan tak didapatkan, suram.

Di kursi depan, Papa tak kurang musikal, menerjemahkan dukanya menyanyikan lagu yang seolah justru menguatkannya, menguatkan kami.

Dari pintu ke pintu kucoba tawarkan nama?
Demi terhenti tangis anakku dan keluh ibunya…
Tetapi nampaknya semua mata memandangku curiga?
Seperti hendak telanjangi dan kuliti jiwaku….

Aku yang beranjak remaja waktu itu, kadang ikut menemaninya bernyanyi di teras rumah kalau aku sedang pulang dari Jogja.

Pada suatu sore di saat kami masih berada di pusaran keadaan yang tak menyenangkan itu, Papa berujar, ?Le, mengko nek awake dewe wes penak meneh uripe, aku arep tuku gitar siji meneh dinggo kowe. Awake dewe main bareng lagu iki.. Kowe suara siji, aku suara loro (Nak, nanti saat hidup kita sudah kembali enak, aku akan beli gitar satu lagi untukmu. Kita akan main bersama lagu ini. Kamu suara satu dan aku suara dua – jawa)?

Sayang hal itu tak pernah kesampaian.?Jangankan berpikir membeli gitar, untuk makan dan mencukupi kehidupan sehari-hari pun ia harus berjuang sangat keras dan aku sempat pula menghentikan kuliahku untuk mengurangi bebannya.

Ketika akhirnya Papa berpulang ke Rumah Bapa, 2011 silam, di dalam pesawat yang mengantarku pulang kembali ke tanah rantau, Australia, di saat matahari masih malu-malu muncul dari ufuk timur, aku bernyanyi Titip Rindu Buat Ayah. Tenggorokanku kelu tapi air mataku tak kunjung mengalir. Mengenang Papa melalui Ebiet tak melulu menerbitkan duka karena hidup ini sejatinya ajang untuk suka mengalahkan duka.

Seperti halnya sore ini. Aku memutar Ebiet di Apple Music-ku.
Aku mengingat sebongkah bagian hidup masa laluku yang sangat kubanggakan, papaku.?Papa yang sangat musikal, papa yang menyenangkan, papa yang mungkin jauh sangat dari kesempurnaan, tapi ia tak pernah kurang dan berkekurangan bagi seorang anak yang lebih jauh lagi dari sempurna: aku! DV! Aku!

Sebarluaskan!

6 Komentar

  1. dan air mata mengalir… :'(

    Balas
    • Nggak perlu. Udah cukup. Mengenang Papa dalam senyum itu lebih menarik dan menguatkan.

      Balas
  2. Aku ingin dikenang seperti ini ama anakku nantinya. Musikal.

    Balas
    • Amin.

      Balas
  3. Aku dadi kelingan bapakku :)
    Selerane nganti saiki tetep Ebiet, ora berubah. Nek wis nyetel Ebiet, volumene ngalahke liyane :))

    Aku iseng golek iphone 3gs bekas, pertanyaane “Iki dinggo nyetel lagu iso ora? Nek iso lagu-lagune Ebiet dilebokne kene yo..” :))

    Balas
    • Menarik yo! Disyukuri dan dirawat, pengalaman memiliki ayah pada usia lanjut itu sesuatu yang mahal, Kawan.

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.