Jogja, 1996.
Selepas lulus dari SMA Kolese De Britto Yogyakarta, aku menghadapi dua dilema.
Pertama, aku malas melanjutkan kuliah.
Kedua, kalaupun aku mau, aku tak yakin bisa mencari institusi pendidikan yang menyenangkan semenyenangkan SMA Kolese De Britto!
Aku sempat berpikir mau prei dulu, libur dulu barang setahun. Pulang ke Kebumen (dulu orang tua tinggal di sana) doing nothing sambil menunggu mood, siapa tahu mendadak bergejolak pengen giat belajar lagi.
Tapi kalau aku pulang lantas pacarku gimana dan dikemanain?
Kira-kira tiga bulan sebelum lulus aku erlanjur jadian dengan pacar pertamaku. Jadi kalau pulang ke Kebumen sementara dia masih studi SMA di Jogja, bagaimana aku ngapelinnya? Maka akhirnya, mau tak mau, aku harus berpikir untuk kuliah dan harus di Jogja supaya bisa pacaran dengan lebih leluasa.
Tapi kuliah apa? Dimana?
Atma Jaya sudah tutup pendaftarannya.
Sanata Dharma waktu itu baru terkenal sebagai sekolah guru atau kalau tidak ya Bahasa Inggris, keduanya aku tak suka. Satu-satunya ‘yang tersisa’ adalah Duta Wacana. UMPTN? Nggak lulus padahal aku sudah ambil jurusan yang menurutku waktu itu paling jarang disasar peserta ujian, Sastra Jawa hahahahaha!
Lagi-lagi aku terantuk dilema. Di Duta Wacana mau jadi pendeta? Aku Katolik! Mana bisa dan aku tak mau jadi pendeta. Lalu aku berusaha cari tahu, kawan-kawan bilang bahwa Duta Wacana bagus di jurusan Teknik Informatika-nya.
“Hah? Teknik Informatika itu apa?” tanyaku. Teknik Informatika dulu belum terkenal sama sekali.
“Komputer! Pemrograman!” Lalu yang terbayang adalah wajah Pak Himawan (alm), guru kimia De Britto yang juga mengajar Pemrograman Komputer, mata pelajaran yang tak kusukai waktu di SMA (sebenarnya hampir semua mata pelajaran di SMA tak kusuka sih!)
Maka masuklah aku ke sana…
Awal keberadaanku di Duta Wacana amatlah merana.
Aku tak kerasan. Untuk itu aku memutuskan untuk tak mau ikut MOSPEK sekalian karena aku tak sudi dibentak-bentak kakak angkatan, takutnya makin tak kerasan lagi. Kawan-kawan di sekeliling menurutku adalah pribadi-pribadi yang aneh, yang tak se-cool di De Britto dulu dan…oh kamu tahu, hanya empat orang… sekali lagi, empat orang lulusan SMA Kolese De Britto angkatanku yang kuliah di Duta Wacana! Jadi andaikan aku ada di padang pasir, waktu itu aku merasa berada di padang tertandus dengan tingkat rasa haus yang maksimal!
Tapi di situ dan dari situ ‘tangan Tuhan’ bekerja.
Aku dibuatNya jadi rajin kuliah. Rasa ketertarikanku pada ilmu pengetahuan bangkit. Aku jadi tak bisa lepas dari komputer meski untuk itu aku harus pinjam kanan-kiri, ngendon di lab hingga larut karena perekonomian Papa ambruk sebelum aku sempat meminta untuk dibelikan satu unit komputer.
Aku mengikuti kuliah dengan tekun, terlibat dalam banyak diskusi tentang pemrograman dan komputer, larut berlama-lama di toko buku untuk ‘numpang baca’ buku komputer sebelum internet ada dan terjangkau aksesnya.
Dan yang paling mengejutkan adalah, aku berkawan banyak dengan sesama mahasiswa Duta Wacana.
Profil mahasiswa Duta Wacana amatlah beragam dan hal ini menguntungkan karena aku bisa belajar lebih banyak lagi tentang budaya yang mereka bawa. Ada yang banyak berasal dari Sumatera Utara hingga yang dari Papua. Dari Timor Leste, Flores dan Kupang, Maluku dan Kalimantan, Sulawesi dan tentu saja Jawa. Agamanya tentu juga macam-macam. Meski mayoritas adalah Protestan, tapi yang Katolik juga ada demikian juga umat agama lainnya. Kami berkawan tanpa saling membedakan asal-muasal.
Bahkan salah satu epik perkawanan yang pernah kubuat justru lahir di sana, di Duta Wacana. Adalah Gang Semar, kumpulan anak-anak Duta Wacana yang tinggal di rumah kontrakan kecil di Gang Semar, Lempuyangan, Yogyakarta. Di sanalah sebenarnya karier web developmentku yang hingga kini kutekuni berawal mula!
Hingga kini, dua puluh tahun sesudah aku merasakan hari pertama di Universitas Kristen Duta Wacana, aku masih berhubungan dan hidupku berkelindan dengan ‘mata rantai’ Duta Wacana. Beberapa rekan seangkatan aktif di ruang bicara Whatsapp. Bahkan tiga sahabatku yang sama-sama tinggal di Sydney, Australia, Leo, Ferry dan Pampie, mereka adalah kawan-kawan sekampus dulu. Ferry malah pernah bekerja sebelah-menyebelah satu ruangan di perusahaan terdahulu, tahun lalu.
Lalu kemarin terpetik kabar tak terlalu menyenangkan di media. Pihak kampus didatangi serombongan orang. Mereka meminta foto di baliho kampus diturunkan karena menurut mereka tak pantas sebuah institusi pendidikan kristen seperti Duta Wacana memasang foto orang berpenampilan khas pemeluk agama lain. Permintaan yang aneh? Kalau jamannya adalah jaman baik maka itu tampak aneh tapi hari-hari ini bukankah kita sudah terbiasa menelan dan melahap hal-hal seperti itu?
Bersyukur pihak kampus Duta Wacana pada akhirnya menyepakati permintaan mereka. Hal itu adalah yang terbaik yang bisa dilakukan.
Bukannya takut, tapi mungkin malas cari ribut. Bukannya kalah dan bertelut tapi mungkin lebih pada pemahaman?yang kita tahu bahwa perjuangan yang sesungguhnya sesuai visi adalah melahirkan generasi profesional yang mandiri yang mampu merepresentasikan betapa kampus Duta Wacana, tempat kita belajar, tempat kami belajar dulu adalah kampus yang begitu menghargai perbedaan.
Jogja, Mei 2006.
Siang itu setelah memarkir motor aku berjalan ke biro kampus setelah hampir lima tahun tak pernah mendatanginya. Aku datang bukan sebagai wisudawan seperti kawan lainnya. Aku datang untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai mahasiswa karena memutuskan untuk melanjutkan studiku yang terbengkalai ke AKAKOM Yogyakarta.
“Lho kamu datang-datang kok mau mundur?” begitu kata mbak penjaga biro tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Ia yang siang itu ada disitu adalah ia yang sepuluh tahun sebelumnya juga melayani pendaftaranku sebagai mahasiswa. Tak jauh dari sana, seorang dosen yang aku tahu namanya hanya menatapku kosong. Aku melambaikan tangan tanda pisah kepadanya…
Sorrr…. bummm!
Donny Verdian, Nomer Induk Mahasiswa: 22961545
Menjadi universitas Kristen unggul dan terpercaya yang melahirkan generasi profesional mandiri bagi dunia pluralistik berdasarkan kasih – Visi Universitas Kristen Duta Wacana.
miris saya membaca berita itu,
apakah semboyan bhinneka tunggal ika akan segera diganti dengan semboyan lain.
Makin hari makin banyak orang tidak memaknai arti semboyan negara tercinta ini.
Keindahan itu tercipta karena ada perbedaan, kalo semua mau diseragamin malah jadi gak nyaman apalagi dipaksa untuk sama…..
Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, bukan malah dimana bumi dipijak disitu saya ingin disanjung.
salam #JB161 #UKDW