Dua belas uskup dalam pernikahan. Apa salahnya?

8 Feb 2016 | Agama

Aku nggak habis pikir dengan cara pikir orang-orang yang mengkritik kedatangan dua belas uskup dalam penerimaan sakramen pernikahan cucu pengusaha properti papan atas, Ciputra, Narsis namanya, lengkapnya Narsis Nararya Ciputra yang menikahi Melisa.

Kalau dua belas uskup dibilang terlalu banyak, lantas ukuran pas-nya berapa??Apakah diatur dalam kitab hukum kanonik gereja katolik bahwa sebuah penerimaan sakramen pernikahan maksimal hanya boleh dipimpin oleh sekian imam, sekian uskup?

uskup

Foto pernikahan Narsis – Melisa. Credit photo: Floresa.co

Aku juga yakin para uskup itu bukan manusia goblok.?Mereka tentu sudah memikirkan baik-buruknya, dan itu bukan melulu soal uang stipendium yang memang biasa diberikan pasangan pengantin kepada imam yang membawakan acara.

Mari berpikir positif dan para mahasiswa yang harusnya punya logika yang sedang cerah-cerahnya tentu bisa berpikir jernih.

Sebagai pengusaha developer kelas kakap, Ciputra, tentu punya banyak kenalan dan relasi. Aku yakin ia juga tak segan membantu Gereja ketika dibutuhkan karena memang Gereja memerlukan bantuan umat untuk operasional, kan?

Orang tua si Melisa juga tokoh. Ibunya adalah salah satu pengurus Yayasan John Paul II meski i have no idea yayasan apakah itu.

Jadi lumrah toh kalau mereka kenal sebegitu banyak uskup dan mengundang mereka untuk bersama-sama mendoakan bahtera rumah tangga si Narsis dan Melisa.

Kalau aku punya kenalan sebanyak seribu uskup, pun akan kuundang dalam pernikahanku dulu! Tapi aku tak punya. Kalaupunya puya, waktu itu aku tak punya cukup uang untuk mengongkosi akomodasi mereka?

Atau jangan-jangan pikirmu, uskup dan imam itu tidak boleh berkawan sekalipun itu dengan seorang yang kaya? Kalau memang benar, betapa kasihan orang kaya hanya karena kekayaannya maka lantas dianaktirikan? Betapa kasihan para uskup, hanya karena jabatannya lantas dibatasi pertemanannya?

Hermawi Taslim, ketua Forkoma PMKRI, dalam artikel ini ?menyebutkan, ?berlebihan dan terkesan menghilangkan sikap kritis Gereja Katolik yang terkenal dengan semboyan option for the poor atau berpihak pada orang miskin.?

Menurutku, tidak ada kaitannya antara hadir dalam sebuah perayaan penerimaan sakramen pernikahan dengan hilangnya kesan option for the poor. Logikanya, kalau punya sejuta teman miskin, apa tak boleh berkawan pula dengan satu orang kaya? Justru, siapa tahu, mereka berkawan dengan orang kaya untuk membantu membiayai misi mereka bagi orang miskin?

Aku berharap, komentar yang disampaikan Hermawi Taslim ini tidak mewakili PMKRI secara utuh dan formal. Karena kalau demikian, bagiku sebenarnya energi yang digunakan untuk membahas isu tak penting ini bisa dipakai untuk menguliti isu-isu yang lebih aktual yang justru lebih condong ke the poor.

Misalnya, membahas isu-isu aktual seperti penuntasan kasus-kasus HAM yang dijanjikan untuk diselesaikan oleh Jokowi tapi sampai sekarang juga belum terlaksana.

Atau, kalau mau yang lebih terdahulu nan arkaik tapi tak kunjung diselesaikan, kenapa tak membahas soal kasus HAM genocide/pembasmian pasca geger tahun 1965, termasuk merunut balik ada atau tidak kaitan antara PMKRI dengan Orde Baru saat itu seperti tertuang di referensi ini??Kalau ada, maka harus berbuat seperti apa untuk condong kepada the poor, mereka yang terzalimi oleh sejarah?

Come on guys, piknik gih!

Credit photo utama: Backgroundbandit

Sebarluaskan!

10 Komentar

  1. Beberapa uskup yang diundang menghadiri perayaan ekaristi penerimaan sakramen perkawinan tersebut apakah lalu harus duduk di tempat duduk umat? Pastilah para bapa uskup ini akan diundang oleh konselebran utama untuk berkonselebrasi. Dan saya kira memang demikian, jadi tidak ada kesalahan di sini.

    Balas
  2. tdk ada yg aneh, uskup2 datang krn diundang oleh org tua pengantin yg memang krn kegiatannya jd kenal dgn mereka, tp imo yg dikritik adalah kehadiran uskup2 dgn seragam lengkap, kl hadir dgn memakai pakaian biasa apa tidak bisa ?

    Balas
  3. Ini masalah yang bias tafsir. Omongmu gak ada salahnya di atas, pun dengan mereka yang punya perspektif bersebrangan denganmu.
    Yang mengusik perhatian adalah “common sense”, bukan hal prosedural, liturgis, hirarkis, maupun teologis.

    Cuma satu prinsip yang perlu selalu diingat, bahwa empat ratus uskup/imam menumpangkan tangan sekalipun tidak berarti ada empat ratus rahmat pemberkatan pernikahan dan membuat pernikahan itu rahmatnya berlimpah empat ratus kali.

    Komenku wangun ora su?

    Balas
    • Ora. Karena common sense menurutku tidak bisa dibawa ke dalam ranah perdebatan dan tidak pula bisa dijadikan sebagai landasan opini. Kenapa? Simply karena common sense dari satu orang ke orang lain sejatinya tak pernah sama…

      Balas
      • ?Memang wajar kalau ada suara sumbang, berhubung peristiwa itu tidak lazim,? kata Uskup Agung Samarinda Mgr Yustinus Harjosusanto MSF, salah satu yang hadir.

        Ketidaklaziman bin ora lumrah kuwi diakui sama ndoro Uskup. Jadi kalau orang bereaksi karena common sense, ya wajarlah.

        Balas
  4. Sudah ada klarifikasi dari salah satu uskupnya.

    “?Memang wajar kalau ada suara sumbang, berhubung peristiwa itu tidak lazim,? kata Uskup Agung Samarinda Mgr Yustinus Harjosusanto MSF, salah satu yang hadir.

    Ia menjelaskan, kehadiran mereka bukan karena yang didatangi itu orang kaya.

    ?Tetapi, keluarga itu memperhatikan keuskupan luar Jawa yang nota bene miskin,? katanya.

    Ia menjelaskan, kalau diperhatikan, uskup yang datang adalah semua dari luar Jawa. ?Mungkin ada beberapa uskup yang memiliki kedekatan karena seasal dengan keluarga Ibu Liando,? katanya.

    Mantan Uskup Tanjung Selor ini mengatakan, dirinya mengenal Ibu Liando karena merupakan salah satu donatur Keuskupan Tanjung Selor.”

    Nah sekarang bagaimana. Gereja Katolik katanya berpihak pada orang miskin. Tapi ketika (sebagian) gerejanya sendiri miskin, siapa yang berpihak pada mereka? Tampaknya ya ibu si mempelai perempuan ini. :D

    Balas
  5. Bukan salah para uskup itu sampai 12 orang yang hadir memimpin misa. Kemungkinan besar mereka diundang orang tua pengantin dan tentu saja dikirimi tiket dan disediakan akomodasi. Memang lucu, misa ditangani oleh 12 orang, yang dinamai misa konselebrasi saja cuma dipimin oleh beberapa imam. Yang ini mungkin ada beberapa uskup yang cuma berdiri saja, tak kebagian “peran”. Yang seharusnya dipertanyakan adalah MENGAPA orang tua pengantin sampai mengundang para uskup itu? Seandainya orang tua pengantin itu menjadi donatu tetap ke keuskupan yang dikepalai 12 uskup tersebut, mereka tidak harus mengundang para uskup tersebut. Apakah mereka berpikir makin banyak uskup yang memimpin misa, pemberkatan pernikahan menjadi makin afdol???

    Balas
  6. “Aku juga yakin para uskup itu bukan manusia goblok.” Tentu saja ke-12 uskup tersebut bukan manusia goblok; mana mungkin mereka mau memberikan sakramen pernikahan pada pengusaha papan bawah seperti penjual rokok, juru parkir, dsb.? Tapi pelacuran gereja ini sebetulnya bukan hal yang baru. Sejarah gereja Katolik pernah dinodai praktik indulgensi (hukuman untuk dosa dikurangi dengan cara pembayaran uang kepada gereja) yang memicu Gerakan Reformasi yang dipimpin Martin Luther tahun 1517.

    “Sebagai pengusaha developer kelas kakap, Ciputra, tentu punya banyak kenalan dan relasi. Aku yakin ia juga tak segan membantu Gereja ketika dibutuhkan karena memang Gereja memerlukan bantuan umat untuk operasional, kan?”

    Gereja bukan arena untuk melakukan transaksi dagang. Bantuan tanpa pamrih boleh saja, bahkan perlu, tapi membantu gereja karena mengharapkan imbalan yang terselubung sama saja dengan perdagangan. Ingatlah apa yang dilakukan Jesus: “Lalu Jesus masuk ke Bait Allah dan mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Ia membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati” (Matius 21:12). Cerita yang sama diulang dalam Markus (11:11-12, 15-16), Lukas (19:45) dan Johanes (2:13-25). Sayang, keserakahan selusin uskup yang kesurupan uang stipendium melupakan moral yang sering diulang-ulang ini. Padahal, Jesus sendiri mengatakan: “Lebih mudah seekor unta masuk lubang jarum daripada seorang kaya masuk kerajaan Allah” (Markus 10:25).

    Balas
    • maaf om, mereka hadir krn kenal dgn org tua nya pengantin wanita, jd bukan dgn ciputra … imo, silahkan hadir tp tdk perlu smp bertugas di altar, dgn hadir sbg undangan dan tanpa memakai jubah toh mereka tetap bisa memberkati kok

      Balas
  7. katolikkah aku….
    Karena mereka terus-menerus menanyai Dia, Yesus berdiri dan berkata kepada mereka, ?Orang yang tidak berdosa di antara kalian hendaklah dia menjadi yang pertama melempar perempuan ini dengan batu.?
    ?

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.