Dipangku, mati

5 Mei 2014 | Cetusan

Belum lama ini aku mengikuti team building activity sebuah komunitas indonesia di sini.

Pada satu sesi kami diminta oleh pembawa acara untuk mengambil sehelai kertas kosong berukuran A4. Di sudut kiri atas harus ditulisi nama masing-masing lalu kami mengedarkan kertas itu ke samping dan masing-masing dari mereka harus menuliskan setidaknya satu hal positif dari kita lalu menggesernya lagi ke sebelahnya dan demikian seterusnya.

Kira-kira lima belas menit kemudian, kertas telah kembali ke masing-masing pemiliknya. Dengan jumlah peserta yang kurang lebih dua puluh lima orang, berarti seorang kira-kira hanya membutuhkan waktu sekitar 37 detik untuk menuliskan hal-hal positif dari kawan sendiri. Menarik tapi masuk akal karena bagaimanapun juga kan itu lingkaran perkawanan. Jangan bayangkan jika hal itu terjadi pada 25 orang yang bermusuhan atau yang belum mengenal satu sama lain, mungkin butuh berjam-jam untuk mampu mencari sisi positif orang yang ada di sebelahnya.

Pada akhir acara, setelah renungan dan evaluasi, pembawa acara berujar,??Lumayan kan?! Jangan dibuang! Boleh disimpan di bawah bantal dan dibaca ulang!?

Dan apa yang ia katakan itu memang benar adanya.?Meski tak benar-benar kusimpan di bawah bantal, tapi at least hingga 24 jam ke depan setelah acara aku masih menyimpannya, sekali-kali membaca, lalu mengira-ira siapa yang menuliskan apa, dan menyimpannya lagi di saku celanaku. Begitu berulang-ulang.

Kita memang senang kalau dipuja dan diberitahu hal-hal kebaikan kita, sama seperti air yang akan selalu mengalir ke bawah dan laut yang akan terpisah dari daratan karena semua itu adalah hukum alam.

Sebaliknya kita akan tak terlalu senang jika kita diberitahu hal-hal yang tak baik dari diri kita.

Kalaupun ada orang yang berani bilang ?suka dikritik demi kemajuan?, bagiku itu pertanda dua hal. Pertama, orang itu mungkin telah bertransformasi secara dewasa untuk jadi pribadi tangguh yang memanfaatkan kritik untuk maju, atau kedua, kamu sedang berhadapan dengan orang munafik yang senyum sok tegar ketika dikritik tapi di belakang mereka sedang menunggu lengahmu untuk membalas dendam.

kalau kamu berhadapan dengan orang yang sulit ditaklukkan dengan cara frontal, pangkulah ia supaya mati!

Mengenai pujian, almarhum Papaku pernah berujar begini, ?Le.. kalau kamu berhadapan dengan orang yang sulit ditaklukkan dengan cara frontal, pangkulah ia supaya mati!?

Tentu papaku ketika itu tak sedang bicara soal bunuh-membunuh. Konteks pembicaraannya lebih tentang bagaimana bersiap dan bersikap menghadapi dunia yang penuh persaingan.

Ia sedang menggunakan filosofi huruf jawa yang lantas dijelaskannya kepadaku demikian,

aksara inti dalam huruf jawa dan berjumlah 20 (ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la, pa-dha-ja-ya-nya ma-ga-ba-tha-nga) itu adalah huruf-huruf berakhiran vokal/hidup.

Lalu bagaimana kalau kita ingin menuliskan kata/kalimat yang memiliki akhiran suku kata konsonan?

tanda pangku/pangkon

tanda pangku/pangkon

Dalam tataran yang lebih kompleks, kita mengenal istilah sandangan dan pasangan, tapi dalam konteks umum, kita memerlukan pangku/pangkon untuk mematikan vokal sehingga sebuah kata bisa memiliki suku kata konsonan.

Contoh, kita ingin menuliskan kata ?mangan? (makan) ataupun ?manuk? (burung).
Tanpa pangku/pangkon bagi huruf na dan ka, kedua kata itu akan terbaca sebagai mangana dan manuka.

baris pertama adalah penulisan 'mangan' tanpa pangku/pangkon sehingga terbaca sebagai mangana... baris kedua adalah contoh penggunaan pangku/pangkon...

baris pertama adalah penulisan ‘mangan’ tanpa pangku/pangkon sehingga terbaca sebagai mangana…
baris kedua adalah contoh penggunaan pangku/pangkon…

Ini penerapan pangku/pangkon pada penulisan kata manuk

Ini penerapan pangku/pangkon pada penulisan kata manuk

Sama halnya dengan kebanyakan manusia.
Menghadapi musuh yang brilian dan vokal, kalau kita kewalahan melawannya secara frontal, filosofi Jawa mengajarkan kita untuk memangku musuh itu tadi hingga ke-vokal-annya hilang lalu mati.

Dalam konteks nyata, hal itu bisa dilakukan salah satunya dengan menempatkan diri kita sedikit lebih rendah dari dirinya lalu menggunakan kata-kata pujian untuk disematkan kepadanya. Dengan kata-kata pujian, kita seolah sedang memangkunya hingga akhirnya diam dan mati.

Ditilik dari sisi positif, syukur-syukur ketika ke-vokal-annya hilang, ia lantas tak menganggap kita musuh dan malah jadi berteman, tapi jika ia tetap keukeuh menempatkan kita pada posisi yang bersebarangan, setidaknya pangkon/pangkuan yang kita berikan padanya akan sedikit melenakan dan pada saat itulah kita punya waktu untuk melakukan perhitungan.

Makanya hati-hati jika dipuji. Bisa jadi kita sedang dipangku dan di-ninabobo-kan!

Aku memutuskan untuk membuang kertas ?pujian? sehari setelah acara itu berlangsung. Aku tahu aku tak sedang dipangku oleh sang pembawa acara atau oleh kawan-kawanku di komunitas itu, tapi aku takut ketika aku membaca kertas itu berulang-ulang, aku sedang mengusahakan sebuah kursi sofa yang empuk atas inisiatifku sendiri lalu menjatuhkan diri di atasnya dan nggak mau bangun lagi.

Move on!

Ini contoh kertas 'pujian' kemarin. Ini bukan milikku...

Ini contoh kertas ‘pujian’ kemarin. Ini bukan milikku…

Sebarluaskan!

14 Komentar

  1. Bagi saya, kalo kita di kritik, berarti orang yang mengkritik kita adalah orang memperhatikan kita, dan mungkin hal itu adalah hal terkecil yg (mungkin) selalu kita lewatkan.

    Balas
    • Betapa mulia hatimu :)

      Balas
  2. Nek jarene koncoku, dipangku LC yo iso matihhhh..

    Balas
    • LC ki sopo/opo?

      Balas
  3. wah boleh nih, idenya dipinjam buat game liburan ntar…

    Balas
  4. Hal yang aku pelajari dari membaca tulisan ini:

    Aksoro Jowo wae ndue pasangan, mblo..
    Ha kowe? :(
    *nduding awake dewe

    *ning tetap menginspirasi ding.. :)

    Balas
  5. kapan hari kakakku juga ngomong seperti itu, don.
    tapi memang iya sih, kalau kebanyakan dipuji, kita bisa lengah. lama-lama mati deh.

    Balas
    • Bener.. Kalau dipuji hal yang jauh dari kebisaan kita, itu mudah terdeteksi sebagai sebuah upaya ‘pemangkuan’.. yang berat itu kalau pujiannya ngga secara verbal, sesuai kebisaan kita, tapi tiba-tiba kita sadar kita sudah dipangku.. dilenakan :)

      Balas
  6. Soal aksara Jawa, sangat mirip atau bahkan sama dengan Bali mas. Kalau tidak salah aksara Bali juga datangnya dari Jawa. Urutan aksaranya pun mirip, cuma ada yang ada yang terbalik saja.

    Tapi kalau dalam aksara Bali, untuk mematikan vokal dibelakang caranya bukan dipangku tapi di-tegul(ikat), prinsipnya sih sama persis, hehe.

    Balas
    • Ya, benar itu… aku melihat kemiripannya sangat banyak, Bli.

      Balas
  7. mangku..
    prinsip yg susah diterima maupun diterapkan
    hamangku buwono
    prinsip awal mataram mungkin dr situ juga ya Mas
    jadi pemimpin yg melenakan dunia dan sekaligus mematikannya..

    Balas
  8. Ueedann … orisinal tenan tulisanmu Pak’e … inspiring … suwun

    Balas
  9. Filosofi jawa seperti ini apakah juga berlaku bagi temen-temen bule di Ostrali, Bos? Apakah orang bule “dipangku” juga mati?

    Balas
    • Harusnya nggak sama karena basicnya memang beda… Aku nggak pernah mencoba untuk mempraktekkannya di sini :)

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.