Aku menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya. Simak kisah sebelumnya di Diek (1) dan Diek (2)
Satu hal yang bisa kukenang tentang Papaku adalah kegilaannya pada bola, pada sepakbola. Selagi muda, seminggu sekali, Papa selalu meluangkan waktu untuk bermain sepakbola bersama kawan-kawan dekatnya di lapangan sepakbola dekat rumah. Membawa sepatu ‘bola’, berseragam ‘bola’, mengendarai mobil kesayangannya dengan keringat yang masih ‘kotos-kotos’, ia berapi-api menceritakan bagaimana tadi menggolkan bola ke gawang lawan.
“Koyo Lothar Matheus kae, Pa?” (Kayak Lothar Matheus itu, Pa? – jw) gurauku..
“Hehehe… yo ora…bedo. Papa kan striker nek Lothar kae libero…!” (Hehe, ya nggak.. beda! Papa kan striker, kalo Lothar itu libero – jw) ujarnya ringan sambil menyeruput teh panas manis buatan Mama sebelum pergi ke kamar mandi.
Aku sendiri, tak seperti Papa, kurang suka sepakbola. Sebenarnya sih dulu pernah suka, tapi itupun hanya karena euforia setiap piala dunia yang penyelenggaraannya setiap empat tahun sekali. Selainnya itu, aku lebih gemar menonton pertandingan bola basket, barangkali karena tinggi badanku yang jangkung ini lebih membuatku tertarik untuk bermain basket bersama kawan-kawan di sekolah.
Selain bermain bola, Papa juga ‘gila’ mengikuti perkembangan sepakbola dunia termasuk menonton pertandingan sepakbola. Salah satu contoh ‘kegilaan’ Papa terhadap ‘bola’ dulu yang kuingat betul adalah bagaimana ia menikmati tayangan ‘pandangan mata’ final Piala Presiden 1989 antara kesebelasan Persebaya Surabaya melawan PSIS Semarang melalui siaran radio. Padahal kan kalian tahu sendiri namanya juga siaran radio, yang ada hanya komentator yang berteriak-teriak berusaha melukiskan pemandangan pertandingan senyata mungkin.
“Aku percaya Tuhan telah menyiapkanku dengan segala daya dan upayaNya supaya aku tetap tegar dan kuat menghadapi hari itu. Oleh karenanya, tak ada alasan bagiku untuk tidak berusaha berjalan tegap menghadapi kenyataan”
Sedikit mengenang kejadian itu, aku yang turut duduk di sebelah Papa mendengarkan siaran radio itu mendadak bingung,
“Loh kok ngerti-ngerti Mustaqiem (Persebaya) wes tekan ngarep tho Pa? Mau rak bal-e isih dicekel Ribut Waidi (PSIS) bar adep-adepan karo Putu Yasa (kiper Persebaya)?” (Loh kok tau-tau Mustaqiem sudah di depan Pa? Bukannya tadi bola masih dipegang Ribut Waidi dan ia berhadap-hadapan dengan Putu Yasa? – jw)
Papa yang kutanyai demikian, bukannya memberikan lampu cerah, ia pun turut bingung dibuat komentator pertandingan yang tak berhenti berteriak-teriak itu. “Hehehe… lha mbuh, aku yo bingung kok ngerti-ngerti ngono.. sing penting Persebaya moga-moga menang, Le!” (Wah nggak tahu, aku juga bingung kok tiba-tiba begitu… yang penting Persebaya semoga menang, Nak! – jw) Kami lantas tertawa berdua meski pada akhirnya Persebaya harus mengakui kemenangan Laskar Mahesa Djenar itu, 1 – 0.
Beda dulu beda dengan hari-hari lalu sebelum sekarang. Ketika siaran langsung sepakbola melalui televisi bukan lagi menjadi sesuatu yang mahal, Papa semakin termanjakan dengan pertandingan demi pertandingan yang kerap digelar dinihari. “Papamu ki nek bobo jam 4 esuk.. sok-sok jam 5, Le… mengko jam 7 wes wungu!” (Papamu sekarang kalau tidur jam 4 pagi, kadang malah jam 5 lalu jam 7 sudah bangun -jw) tukas Mama menjelaskan tabiat Papa ketika aku pulang berlibur Januari 2011 kemarin.
Ya, Papa memang praktis selalu ‘lek-lekan’ kalau ada sepakbola. Ditemani rokok Wismilak ‘Diplomat’ kesukaannya serta didampingi Pluto dan Ellen, dua anjing kesayangannya, Papa melewati malam demi malam dengan teriakan “Golll!” ketika tim jagoannya menjaringkan bola ke gawang lawan, atau mengeluh susah ketika tim kesayangannya terkalahkan.
Lalu siapa tim kesayangan Papa sebenarnya?
Untuk tingkat Indonesia, tentu Persebaya adalah pegangannya. Tapi untuk kelas dunia, Papa menjagokan Manchester United yang kerap disebutnya sebagai “emYu”. Pernah waktu aku main ke Bandung dan berbelanja di factory outlet, mencarikan oleh-oleh untuk Papa adalah hal yang paling mudah karena aku tinggal pergi ke kounter Nike, menggamit sebuah polo shirt bertuliskan Manchester United dan kujamin, sukalah ia :)
Hingga malam sebelum malam yang kuceritakan di babak-babak berikutnya di tulisan ini, Papa pun masih menikmati pertandingan antara Inter Milan melawan Schalke 04 di televisi. Saat itu, hari masih terlalu muda, 6 April 2011 sekitar pukul 02:15 WIB, ketika Chitra, adikku, mendapati Papa kejang dan kaku terserang stroke sementara pertandingan antar keduanya masih digulirkan di televisi dihadapannya.
Ia lantas membangunkan Mama juga Eyang untuk menolong Papa, sementara Pluto terus meringik dan melolong seakan tahu bahwa maut sedang mengintai begitu dekat dengan tuannya. Dengan bantuan tetangga serta teman dekat Chitra, Papa lalu dilarikan ke rumah sakit lokal di Klaten, namun tak sampai beberapa lama kemudian ia dirujuk pindah ke RS Bethesda Jogja untuk penanganan lebih lanjut karena Papa sudah terlanjur koma. Saat itulah, Chitra untuk pertama kalinya mengabarkan kondisi Papa kepadaku melalui SMS.
* * *
Febris Hotel, Kawasan Pantai Kuta Bali,? Kamar 604, 7 April 2011 pukul 04.00 WITA
Telepon berdering kencang!
Aku yang baru tertidur dua jam sebelumnya terbangun olehnya. Awalnya kudiamkan karena kupikir itu adalah morning call yang memang kupesan pada petugas hotel untuk membangunkanku untuk mengejar penerbangan paling pagi ke Jogja, 06.15 WITA. Tapi kan aku minta untuk dibangunkan jam 4.30 WITA, bukannya jam 4.00 WITA seperti sekarang ini! batinku.
Dering telepon pun terhenti. Beberapa menit kemudian, telepon berdering lagi. Kencang.
“Pagi, Bapak!” suara diseberang.
“Pagi!”
“Ada telepon dari keluarga…”
“Oh, baik…” Aku mengucek mata, kantuk masih mengungkungiku.
“Halo, Hon…” suara istriku di sana.
“Ya, Hon…”
“Udah bangun..?”
“Hmmm belum… bangun karena telpon ini.. aku baru bobo dua jam lalu, Hon…”
“Hmmm…”
“Kamu ngebangunin aku biar nggak telat ke bandara ya?”? aku menebak demikian karena demikianlah biasanya istriku mempersiapkanku kalau aku perlu mengerjakan sesuatu di pagi hari.
“Bukan… hmmm..”
“Oh… lalu?” Alisku mengernyit.
“Hmmmm… jangan kaget… kamu siap?”
“… yyy…ya?” Telapak tanganku mendadak basah oleh keringat dingin, tanganku gemetar.
“Papa udah nggak ada!”
“??? — ???”
“Papa meninggal 10 menit yang lalu.. Citra barusan menghubungiku…”
Aku terdiam. Tercekat. Tiada linangan air mata saat itu, aku hanya merasa seperti sesuatu yang besar tercerabut begitu saja dariku.
Sementara di layar televisi, kulihat Rio Ferdinand memeluk Wayne Rooney usai peluit panjang pertandingan antara Chelsea melawan “emYu”. Rooney yang kerap dieja sebagai “Runi” oleh almarhum Papa adalah pencetak gol satu-satunya pada pertandingan itu.
Waktu lalu beranjak menunjuk pukul 4.30 WITA. Aku segera berkemas lalu bergegas. Tubuhku gemetar ketika berjalan, bukan karena kantuk atau letih yang kurasa tapi karena satu hal yang lain yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata kepedihannya namun berkelindan di kepala.
Sebelum beranjak dari kamar, sambil mematikan pesawat televisi, aku menggumam lirih, “Pa, emYu-mu menang!”
Aku pergi meninggalkan hotel menuju ke bandara menatap Yogyakarta sementara matahari masih bersembunyi jauh di bawah ufuk. Aku percaya Tuhan telah menyiapkanku dengan segala daya dan upayaNya supaya aku tetap tegar dan kuat menghadapi hari itu. Oleh karenanya, tak ada alasan bagiku untuk tidak berusaha berjalan tegap menghadapi kenyataan yang ada meski sebenarnya, aku teramat sangat berduka.
Ayahku. …Diek. Didiek Hardiono, pagi itu telah berpulang… (Bersambung…)
Gambar diambil dari sini.
:(
Turut berduka cita Don.. May his soul rest in peace
Speechless gue..
I aint good in words in times of sadness :(
kali ini membaca tulisanmu bikin aku susah menelan ludah.
~bernyawa dan sedih.~
im so sorry to hear that . :(
smgat trus y kang :D
turut berduka cita, DV. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan dan semoga alm. papamu beristirahat dengan tenang. Tulisan yang sangat bagus, menguras emosi pembacanya karena ditulis sebagai persembahan bagi Papamu…
speechless :(
selalu salut ama pilihan kata mas ku yang satu ini,,,,tapi kali ini,,,aku bener2 tersentuh,,,ya,,aku inget,,,di malam meninggalnya om,,ada pertandingan chelsea lawan MU…:(
Biasanya setiap MU menang, beliau selalu sms aku,,,,karena aku maniak Chelsea…
:(:(:(
sekali lagi, turut berduka ya, Don
Turut berduka, bos. Kebetulan 3 hari sebelumnya, mama mertua saya, juga meninggal di Solo. I can feel what do you feel :)
Merinding baca ini mas don… seperti kebawa untuk membayangkan betapa cintanya almarhum dengan sepakbola… semoga almarhum tenang disana. :)
Ikut bela sungkawa sedalam-dalamnya Don.
Beliau pasti tengah berbahagia “menonton pertandingan bola” di sisiNya.
Aku bisa bayangkan rasanya kita tak ada di samping orang yang kita cintai saat dia sedang meregang nyawa. Tp kita manusia tak bisa menebak kapan umur kita berakhir.
Ow, get it now. Judul “Diek” itu singkatan dr nama papamu ya Don..
Meski aku sudah mendengar secara langsung darimu mengenai cerita berpulangnya Papamu, tapi membaca kalimat demi kalimat di sini terasa begitu dalam dan membuatku terlarut di dalamnya…
Kali ini air mataku menetes membaca tulisanmu ……..
Donny, kembali air mataku menetes. Saya bisa membayangkan betapa hampa dan sedihnya hati Donny mendengar kabar tersebut.
Ikut belasungkawa ya Don, semoga Papa damai di alam sana.
hiks..hiks..hiks…..huaaa…….
speachless, sambil terus mengalir airmataku…
GBU