Aku menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya. Simak kisah sebelumnya di Diek (1)
A m i n? S u t a w i d j a j a. Temanku, tapi dia lebih senang dipanggil sebagai “Amen”, entah kenapa.
Sosoknya bagiku begitu berarti.
Mulanya, Ia hadir ketika kami sama-sama mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta pada pertengahan dekade 90-an. Dan sebenarnya tak hanya bagiku, bagi rombongan orang-orang yang pernah tinggal di rumah kontrakannya di Gang Semar, bawah jembatan layang Lempuyangan, Yogyakarta, Amen adalah seorang yang begitu berarti karena ia rela menyediakan waktu dan rumah kontrakan serta komputer bututnya untuk ramai-ramai dipakai dan dinikmati secara gratis, tanpa bayar.
“Hidup ini memang terkadang menjengkelkan. Di banyak sisi kita diminta untuk tidak mengkhawatirkan hal yang kita takutkan terjadi padahal logika kita menyadari bahwa hal itu ada tak jauh dari perhentian saat itu.”
Tuhan memang telah menggariskan betapa komunitas Gang Semar termasuk Amen sebagai tuan rumahnya sebagai entitas yang begitu berarti.
Hingga kini jika hasrat untuk bernostalgia sedang menyeruak ke permukaan, sering aku memikirkan bagaimana laku hidupku jika tak bertemu komunitas itu! Belum tentu aku bisa berkarier di bidang web development seperti sekarang ini kalau aku dulu tak mengenal Gang Semar karena di sanalah untuk pertama kalinya aku mengenal bagaimana membangun sebuah situs web hingga akhirnya terhanyut untuk mencintai dunia itu hingga kini. Namun yang lebih daripada itu, yang paling berarti sebenarnya adalah pertemanan itu sendiri.
Pertemanan antaraku dengan Amen dan aku dengan yang lainnya, ibarat mobil tumpangan, mereka datang tepat pada waktu di saat aku memang membutuhkan sokongan hidup, dalam arti yang sebenar-benarnya.
Awal tahun 1997, Papaku, mengalami ‘pukulan’ di karirnya dan hal itu mengubah segalanya.
Aku tak sanggup menceritakan detail ‘pukulan’ itu selain hanya mampu mengatakan bahwa Papa mengalami penderitaan akibat kesalahan yang tak ia perbuat dan hukum pun setuju untuk membuktikannya demikian. Adapun pelaku-pelaku kesalahan yang sebenarnya masih bisa berenang-renang dalam kebahagiaan, Papa dan keluarganya harus mengalami gejolak kemunduran ekonomi yang sangat menyesakkan untuk sekian lama.
Hidupku pun mau tak mau ikut tergoncang. Kuliahku berantakan dan aku harus berjuang keras untuk mengongkosi hidupku. Sesuatu yang tak mudah karena sebelumnya, ketika keadaan masih ‘menyenangkan’ aku terlanjur mematok terlalu tinggi gaya hidupku sehingga ketika jatuh, aku terantuk begitu keras, benturannya terasa hingga ke sekujur hidupku waktu itu.
Untunglah ada Amin.. eh Amen!
Pernah suatu kejadian, aku benar-benar tak punya uang dan tak sanggup lagi untuk meminjam ke teman lainnya karena sudah terlalu banyak pinjaman uang yang kumintakan pada mereka. Amen, meski ia bukan pula orang kaya lantas menjadi pihak yang membopongku (dalam arti yang sebenar-benarnya) ke warung angkringan dekat Gang Semar untukku dibayarinya makan sambil marah-marah, “Kowe ki cen asu, Don! (Kamu memang anjing, Don! – jw) Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sudah tak makan dua hari dan dua malam?!”
Aku hanya tersenyum… kecut, sekecut bau mulutku karena dua hari tak tersentuh makanan, kecut pula senyumku karena perih menanggung lapar…
Hidup lalu membawa kami menjauh dari kenangan manis itu. Sepatah demi sepatah Tuhan memahat kami untuk semakin tegak berdiri melawan hari-hari, mengarungi hidup. Amen memilih berkarir di bidang videografi sementara aku tetap setia pada web development.
Tahun 2006, ia menikah di Bali setelah beberapa waktu sebelumnya menetap di sana hingga kini, sementara aku, seperti yang kalian ketahui, setelah 15 tahun ‘mendekam’ di Jogja, per 2008 silam aku memilih untuk bermigrasi ke Australia, berkeluarga dan menetap di sini.
* * *
Setelah sekian lama, bola nasib kami yang bergulir saling bertautan, bersinggungan lagi. Di tengah rasa galau yang mengeriyap karena sakit Papaku yang begitu mendadak (6/4/2011), aku menghubunginya untuk permintaan bantuan karena aku berencana untuk singgah dulu di Bali semalam sebelum melanjutkan penerbangan ke Jogja.
“Aku butuh kamar hotel…” ujarku lewat jendela social media.
“Oh, yang berapaan semalam?”
“Berapapun! Nanti kubayar sesampainya di Bali!” tandasku.
“Trus?” tanyanya.
“Aku butuh kamu beliin tiket pesawat ke Jogja!”
“Hmmm… untuk kapan?”
“Sepagi mungkin hari berikutnya, 7 April 2011!”
“OK!”
“Lainnya?” tanyanya lagi.
“Aku butuh nomer telepon Indonesia plus pulsanya…”
“Pulsa berapa?”
“Sebanyak mungkin!”
“Hmmm…udah? Ada lagi?”
“Ada! Aku butuh kamu temani, Su! Seperti dulu!”
“Oks!”
Setibaku di hotel, meletakkan barang ke kamar, aku berjalan kembali ke lobi hotel menanti kedatangan Amen. Tak sampai lima menit ia datang dan kamipun larut menuntaskan rasa rindu persahabatan.
“Ayo, makan!” ujarku.
Seporsi ayam betutu pedas dan sepiring nasi panas mengepul tersaji ditemani beberapa botol bir. Ditemani ramainya lalu-lalang kendaraan di sekitar pantai Kuta dan diselimuti lembabnya udara yang menyiksa, kami saling menukar berita.
“Men, bagaimana dulu rasanya ketika kamu ditinggal ‘pergi’ Ibumu?”
Ia menunduk, duka itu ternyata masih tampak nyata meski ibunya telah berpulang beberapa waktu silam lamanya. “Hmmm, ya berat… ia pergi begitu mendadak tapi kuikhlaskan, Don!”
Aku nanar, termenung.
Papaku koma dan aku tak bisa membohongi diriku sendiri, aku begitu takut kehilangannya tapi mau tak mau aku harus mempersiapkannya. Hidup ini memang terkadang menjengkelkan. Di banyak sisi kita diminta untuk tidak mengkhawatirkan hal yang kita takutkan terjadi padahal logika kita menyadari bahwa hal itu ada tak jauh dari perhentian saat itu.
“Rasanya? Men?”
Ia tersenyum, “Seperti sembilu….”
“Lalu, bagaimana kau mampu bangkit dan mendapat penghiburan?”
Ia tak menjawab. Telunjuk kirinya dipalangkan dengan telunjuk kanannya membentuk salib, mengarahkannya padaku.
“Yesus?” tanyaku.
Ia mengangguk….
Waktu dengan lincah bergerak maju dan tak terasa hari yang berat itu terlewati. “Sudah hampir jam 1 malam dan kita tak muda lagi, Bung! Aku perlu istirahat lagipula besok jam lima pagi aku sudah harus sampai di Ngurah Rai!” Kami lalu berjalan di trotoar menuntaskan sisa canda tawa, mengulang apa yang pernah kami alami dulu di malam-malam seperti itu di Yogyakarta.
Setelah membayar lunas segala sesuatu yang ia bayarkan sebelumnya, aku pamit beristirahat. Kami saling berpelukan. Lama.
“Ati-ati, Don… serahkan Papamu pada Yesus!”
“Amin, Men!”
Sepi. Aku masuk ke kamar mandi. Membasahi tubuh dan membersihkannya, berharap duka ini cepat berlalu meski sebenarnya ia belum lagi datang saat itu. Sebelum terlelap, aku menelpon istriku dan mengabarkan bahwa semua baik-baik saja kecuali nomer telepon yang belum lagi aktif entah kenapa.
“Aku tidur dulu, Hon… udah hampir jam 2 di Bali.”
“He eh… kamu nanti ke bandara jam berapa?”
“Jam 5”
“OK… nite-nite.”
“Nite… eh Hon?”
“Hmmm..?”
“Aku tadi udah pesen ke Citra sebelum berangkat ke Bali… hmmm.. kalau ada apa-apa dengan Papa, dia akan mengabarimu terlebih dulu” tukasku.
“Hmmm..”
“Jadi, kalau memang ada apa-apa, please telepon ke hotel ini dan minta sambungkan ke kamarku ya…”
“OK… no worries!”
Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya, pukul setengah dua. Kunyalakan pesawat televisi dan ada pertandingan siaran langsung sepakbola di sana, Chelsea melawan kesebelasan yang begitu dicintai Papa, Manchester United. Hmmm… papaku saat ini sedang terbaring sakit di rumah sakit, koma.. ia pasti ingin menonton pertandingan ini tapi tak kuat.. tak mampu.. tak sanggup, batinku.
Tak seperti malam-malam sebelumnya, entah kenapa kali itu aku begitu malas menutup hari dengan doa. Aku terlelap, tertidur meski hatiku terjaga. Terjaga untuk Papa. Papaku. (Bersambung…)
Gambar diambil dari sini
a good story.marake mengharu biru…huhuhu. Di tunggu sambungan nya ya?hehehe
semedhot…
saka swargane Gusti, Papamu tansah ngawat-awati, mongkog duwe putra kang tansah suyud marang asepuh…
perasaan sak pasrah-pasrahe-pasrah ya dab
nglangut tenan tulisanmu.
Tulisanmu mengingatkanku pada kepergian Ibuku 5 tahun yang lalu.
Rasanya? Hampa!
Cuma dengan berserah diri, masa-masa tanpa almarhumah bisa dilewati.
Saya belum mengenalmu, tapi saya mendoakanmu dan keluargamu kuat dan tabah sepeninggal ayah terkasih.
Kekhawatiran dan kecemasan di dada memang mengambil semua ruang di otak dan hati, sehingga mungkin karena tak ingin nantipun berdoa dgn kurang khusyuk, kita memilih untuk menundanya dulu. Menurutku begitu, krn kalau sdh benar2 menyita pikiran, kdg saat berdoa pun jd terpikir2 trs.
Tapi tetap kita harus berdoa dalam setiap menit hidup kita ini.
Ah. Nice bgt punya teman spt Amen itu.
Meski hanya secuil, perkoncoan seorang DV dengan Amen ‘kau tahu siapa’ pernah kusaksikan sendiri. Tapi ternyata yg kulihat benar2 hanya bak remah belaka. Perkawanan itu jauh lebih dekat dari yang kubayangkan.
Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi saudara dalam kesusahan, begitu kata Raja Sulaiman. Moga persahabatan DV-Amen terus langgeng.
Teriring ucapan simpati atas duka DV (kalo tak salah menafsir karena aku tak ikuti perkembangannya), moga kekuatan dan penghiburan senantiasa beserta. Yakini bahwa di sana tak ada lagi sakit penyakit dan air mata.
Gusti mberkahi.
Amen = Angel yang ikut menggendongmu disaat kamu terjatuh
Sahabat itu bisa melebihi saudara ya?
Barangkali aku yang lebih beruntung Om, sebab, Emakku (Ibuku) sakit parah pendarahan yang disusul meninggalkan kami ketika saya masih kanak-kanak. Saya belum peka sepeka Om Dom ketika Papa Om tercinta jatuh sakit. Saya ketika itu belum mengerti apa-apa. Belum merasa bahwa Emak tiada. Tetapi, ketika sudah tua ini, saya sungguh ingin mengenangnya, mengingat-ingat kepahlawanan Emak.
Biarlah Om dan keluarga tetap ada dalam rengkuhan Tuhan.
Salam kekerabatan.
Teman yg tepat, hadir di saat yg tepat. Bisa pula memberikan arah ketika kita gamang… Ah, mengharu biru …
Friend in deed is a friend in need…
Dirimu dan Amen menunjukkan itu, aku terinspirasi olehnya :)
Donny,
Ceritamu kembali membuatku berkaca-kaca..
Engkau mengungkapkan dengan baik sekali….
Jika
Engkau teruskan ceritamu ini, secara kilas balik,…
Banyak orang yang akan belajar hikmahnya Don..
Hidup ini memang keras, dan kita harus berjuang untuk terus menggapai yang lebih baik
Sayapun mengalami pasang surut seperti ini
Yang jika orang lain melihat, kayaknya aman-aman aja..(tentu setelah melihat sekarang ini)
Tapi kita selalu percaya, Gusti Allah ora sare
Gusti Allah akan selalu mendengar doa umat Nya
Dan kita, manusia, tak akan dicoba melebihi kemampuan kita
Selalu ada hikmah dibalik cobaan itu
Donny menjadi lebih kuat
Menjadi anak yang memahmi kerja keras, berbudi dan selalu berdoa untuk orangtua nya.
Kamu beruntung banget don… ??? tangan2 TUHAN yg mendampingimu untuk menghadapi semua…
Aku Percaya .. Bagi kita yg percaya padaNYA.. ??? kekuatan yg Besar.. Yakni Kasih KaruniaNYA yg DDIA sediakan bagi kita.. Karna salib kita telah ditanggung olehNYA..
Jesus Bless u n ur new fam (joyce n ur little angel) my friend..
orang baik dikelilingi oleh orang baik. selau berdoa untuk bapak ya mas :) bapakku juga sudah pergi tiga tahun lalu, tapi rasanya baru saja terjadi. tulisanmu apik mas
Panggilannya msh SU juga ya..
beruntung sekali punya sahabat seperti Amen :)
mulai berkaca2 dan langsung meluncur ke kisah berikutnya :)
Waw cerita yang menyentuh mas don… Mengikhlaskan segala sesuatu memang susah. Tapi, belajar untuk ke jenjang yang lebih baik dalah kehidupan itu sifatnya wajib. Agar kita bisa lebih dewasa dalam menyikapi hidup… Nice story :)
Persahabatan yang menyentuh hati. Beruntung Donny memiliki sahabat yang begitu baik ….
Terus mengikuti kisah perjalananmu mengantar Papa …
Rasanya aku tadi sudah komen di posting ini, kok nggak ada ya?
…
Beruntung sekali memiliki sahabat yang benar-benar bisa berbagi hati, seperti Amen-mu.
ah, Amen-mu itu…. sungguh-sungguh sahabat sejati…
rasanya pengen mengenalnya juga…
Thanks God Don, kamu dipertemukan dgn sobat bernama Amen itu..
Thanks God atas sharing dalam ceritamu,
Kawatir adalah rasa manusia yg amat sangat manusiawi yg kadang sulit kita cegah…
Kawatir kehilangan, ntah itu kapan , pasti akan terjadi…tapi slalu percaya n berpegang,
kita tak pernah ditinggalkan sendirian oleh Nya.
aku pun masih berkaca’ teringat papa…sampai saat ini.
aku nggak nyangka perjuangan hidup kamu Don, salut buat persahabatan kalian berdua ama Amen….
Air mataku menetes sesaat setelah membaca tulisan ?Men, bagaimana dulu rasanya ketika kamu ditinggal ?pergi? Ibumu?? itu kak… :(
Penolong itu adalah Yesus…. Amen
Harus kita pegang sampai akhir hayat kita
Amen for that!:)