Diek (1)

18 Apr 2011 | Cetusan, Diek

Kingford Smith (Sydney) International Airport, T1 International, 6 April 2011, 05.00 pm



Aku telah berada di lambung pesawat Jet Star JQ37, duduk di kursi bernomer 27K yang berbatasan dengan jendela pesawat bersama dengan lebih dari sekitar seratus penumpang lainnya menuju ke Bali, Indonesia.
Sore itu, untuk pertama kalinya pula aku kembali bepergian seorang diri setelah menikah karena selama dua setengah tahun belakangan, semenjak menikah, aku selalu pergi kemanapun bersama-sama dengan istri dan sejak setahun belakangan kemarin bahkan menjadi bertiga dengan anakku, Odilia.
Dibandingkan dengan ratusan yang lain, aku pergi ke Indonesia barangkali dengan alasan yang paling berbeda. Kebanyakan dari mereka pergi untuk sebuah liburan ke pulau dewata. Bercelana pendek, kaos oblong, senyum lebar mengulas di bibirnya ditingkahi yel-yel khas ‘aussie’ sementara tangan mendekap erat kekasih hati dan sesekali bibir mereka pun bertautan, bercumbu; seperti keluar dari sebuah rutinitas yang mengekang dan setelah sekian lama direncanakan. Sementara aku, aku pergi dengan segala yang serba mendadak. Tiada ulasan senyum yang kusuguhkan kali ini kepada siapapun di dalam pesawat. Tiada semangat untuk pulang yang menggebu-gebu karena semua tergantikan oleh sebuah keharusan yang tanpa semangat pun keharusan adalah harus!
Kondisi kesehatan Papaku lah pemicunya.
Bermula dari SMS yang kuterima pagi hari dari Chitra, adik semata wayangku yang berbunyi demikian:

Mas, papa msk Bethesda. Serangan stroke td pagi jam 2. (06/04/2011 6:38am)

Awalnya aku tak langsung memutuskan untuk pulang saat itu. Pikirku, serangan stroke adalah sesuatu yang menjadi awal dari sebuah ‘derita’ yang berkepanjangan lalu selain itu, perkara pulang kampung dari Australia ke Indonesia adalah perkara yang melibatkan begitu banyak perhitungan mulai dari perhitungan waktu cuti, berapa lama aku harus meninggalkan anak-istri yang jelas membutuhkan kehadiranku serta tentu saja biaya yang tak bisa dibilang sedikit.
Maka ketika Joyce, istriku, menawarkanku untuk pulang, awalnya aku menggeleng. “Mungkin nggak sekarang… ” balasku singkat. Aku lantas bersiap untuk pergi ke kantor seperti biasa, masuk ke kamar mandi, cuci muka, buang air besar dan mencuci botol susu anakku, rutinitas yang selalu kulakukan setiap pagi.
Di tengah asyik mencuci botol susu di kamar mandi, tiba-tiba Joyce masuk dan mengabarkan sesuatu yang menggelegar, “Hon, Chitra barusan sms.. dia bilang Papa kritis! Kemungkinan untuk sembuh kecil sekali dan sekarang sudah dipasangi alat pemacu buatan untuk tetap bisa bertahan hidup!” Maka hilanglah semua perhitungan yang harus kuperhitungkan untukku pulang ke Klaten. Sesegera mungkin aku harus bergabung dengan Mama dan Citra untuk mengusung duka yang sama.
Adapun sakit yang diderita ayahku memang sangat mendadak dan mengejutkan.
Ia tak pernah mengeluhkan sakit serius apapun sebelumnya kecuali (kalaupun ini dianggap serius) gusi bengkak dan gigi berlubang yang lubangnya memang telah berumur kira-kira seumuran denganku lalu sinus yang tumbuh di pangkal hidungnya yang selalu membuatnya bersin setiap pagi yang juga telah menahun umurnya. Sangat jarang, bahkan bisa dibilang hampir tak pernah ia mengeluhkan pusing ataupun demam apalagi yang lebih daripada itu.
Namun meski demikian, kenyataan bahwa ayahku perokok berat ditambah lagi kebiasaannya yang kerap menunda makan serta semakin berkurangnya jam tidurnya seiring semakin bertambahnya jadwal nonton sepakbola yang menjadi acara kegemarannya, semuanya memang sering membawaku berpikir tentang betapa rentannya kesehatannya akan penyakit-penyakit yang bisa saja mengancam karena perilakunya itu. Dan, hari itu datang seperti pembuktian pikiran-pikiranku itu.
Sesuatu yang sebenarnya bisa kukomentari dengan, “Nah, bener kan!” namun tak juga kunjung keluar ungkapan itu; tergantikan dengan suatu kepedihan, suatu ancaman bahwa mungkin saja hidup Papa telah berada di pinggiran usianya.
Lalu tiba-tiba sapaan hangat flight attendant untuk menegakkan sandaran kursi yang sedari tadi memang kupasang agak sedikit ke bawah, membangunkanku dari lamunan.
Kesibukan pramugari mempersiapkan keberangkatan pesawat bagiku adalah sesuatu yang menarik oleh karenanya meski mudah bagiku untuk menambal kembali lamunan yang dipecahkannya tadi, tapi ketika suara deru pesawat mulai membising dan terasa roda-roda kecilnya mulai mendorong pesawat menuju landas pacu, dan jantung pun kian berdegup kencang.
Ah, adakah kalian yang merasakan hal yang sama denganku?
Perasaan yang tak keruan ketika pesawat hendak lepas landas meski kita telah sekian puluh bahkan ratus kali menggunakan layanan jasa pesawat terbang?
Barangkali degupnya, kencangnya sama seperti degup yang masih sanggup kuingat setiap Papaku dulu pulang ke Kebumen untuk kembali bekerja. Mama dan aku, hingga sekitar pertengahan 1984, aku berusia 6.5 tahun, hidup terpisah dari Papa. Kami tinggal di Klaten, di rumah yang sekarang ditinggali Eyang, Citra dan Mama sementara Papa tinggal di Kebumen, merajut karir di sebuah instansi keuangan yang dulu milik negara. Jadi, setiap sabtu sore, Papa selalu menyempatkan diri pulang ke Klaten untuk berlibur lalu pada minggu sorenya, seperti yang kubilang di atas, ia pulang ke Kebumen untuk keesokan harinya kembali bekerja. Citra? Citra, adikku, waktu itu belum lagi lahir…
Ritual kepulangan Papa ke Kebumen waktu itu biasa dimulai setiap Minggu pukul 2 siang. Setelah kami bertiga puas berjalan-jalan ke kawasan pertokoan di kota Klaten sekalian santap siang di sana, tak lama setelah sampai rumah, Papa langsung bersiap untuk kembali ke Kebumen. Ia mengemas barang-barangnya dibantu Mama sementara aku bersama Eyang dan Eyang Buyut melanjutkan nonton televisi.
Ketika Papa selesai berkemas, ia lantas mandi, berganti baju lalu duduk di sebelahku dan biasanya tak lama aku langsung minta dipangkunya.
Saat-saat seperti itu, ia lantas mengusap-usap rambutku dan berkata-kata bijak semacam, “Sing ati-ati… maem-e sing akeh…” (Hati-hati, makan yang banyak – jw)
Waktu lain, ia sering pula menghardik meski lembut, “Ojo nakal! Manut karo Mama, nek pit-pitan ojo adoh-adoh yo!” (Jangan nakal! Nurut Mama, kalau sepedaan jangan jauh-jauh ya! – jw)
Meski.. ya meski aku hanya mendengar sambil lalu dan terus berkonsentrasi pada siaran televisi.
Sekitar pukul setengah empat, Papa berpamitan pada Eyang dan Eyang Buyut lalu ia keluar menggandeng Mama dan aku menuju ke gerbang rumah. Ia lantas mengecup kening Mama dan tak lupa mencium pipiku, sesuatu yang kuingat dulu tak terlalu kusuka karena bau rokok yang mengaroma di bibir Papa :) “Yo wes, tak mangkat sik yo…” (Ya sudah, aku berangkat dulu ya – jw)
Lalu Mama menggendongku di bibir gerbang dan Papa berlalu sementara langit menjingga di ufuk barat menutup hari itu.
Kepergiannya biasa kubarengi dengan celoteh celoteh semisal,
“Pa, ati-ati..”
Papa menjawab meski tak menoleh “Yo, Le…” (Ya, nak – jw)
Lalu kusambung dengan, “Pa, suk setu pundhutke dolanan yo…” (Pa, besok sabtu belikan mainan ya – jw)
Tetap tak menoleh, Papa menjawab lagi “Yo, Le…”
Dan terus-menerus demikian hingga ia benar-benar tak terlihat lagi, membelok ke arah lain di perempatan jalan lalu kami masuk ke rumah. Mama menutup gerbang sementara aku lari ke pelukan Eyang yang siap menghiburku karena keberangkatan Papa itu. Barulah setelah itu, berangsur-angsur, desiran degup jantung kembali normal dan kami pun melanjutkan hidup di minggu yang baru keesokan harinya…
* * *
Kali ini pesawat benar-benar siap lepas landas. Ia telah berada tepat di tengah garis landas pacu. Derunya semakin menggeletar dan dalam hitungan detik, daya kuatnya menggerakkan pesawat ke depan makin lama makin laju hingga akhirnya iapun terbang mengangkasa.
Pesawat melakukan beberapa kali manuver di udara untuk mendapat posisi yang stabil dan dalam setiap lekukannya, aku begitu menikmati pemandangan ufuk barat yang menjingga tersisa setelah matahari berparipurna untuk tugas hari itu…. Kepadanya, kepada ufuk yang sama dengan apa yang selalu aku dan Mamaku lihat saat melepas kepergian Papa di minggu sore di masa kecilku, aku menyampaikan sesakku. “Pa, aku ra butuh dipundhutke dolanan meneh.. aku mung nyuwun siji, Papa gek ndhang mari!” (Pa, aku nggak butuh dibelikan mainan lagi.. aku cuma minta satu, Papa lekas sembuh! – jw)
Telingaku semakin pekak oleh derunya mesin pesawat yang menerbangkan… satu-satunya suara yang mampu kudengar tinggal suaraku sendiri. (Bersambung…)

Sebarluaskan!

25 Komentar

  1. waduh don, marakno berkaca-kaca…

    Balas
  2. so touching…
    nganti mbribik
    untaian hurufmu hardcore tenan…
    awesome!

    Balas
  3. tulisan kali ini benar benar bernyawa…

    Balas
  4. Hihihi lama gak muncul ahirnya bikin cerita panjang yang bersambung ya mas, don! :D

    Balas
  5. :(( Ikut sedih baca kisahmu Don. Ah, tulisanmu selalu memberiku inspirasi menulis Don. U r a great writer!

    Balas
  6. Gilak…! Tulisanmu kali ini benar-benar gilak!
    Aku gak sabar menunggu sambungan berikutnya…

    Balas
  7. waaa….ceritanya baguss….kata2nya mengalir….jadi alurnya enak untuk dibaca…niat cuma baca dikit malah jadi keterusan….mantap…kerennn…
    salam :)

    Balas
  8. may the memories live on… …

    Balas
  9. bagus don…tulisanmu bagus bgt

    Balas
  10. Sangat menyentuh. Sukses membuatku menangis pagi ini.

    Balas
  11. Menyentuh banget
    Ini cerita beneran ya?
    Ikut mendoakan Papanya lekas sembuh

    Balas
    • Maaf, saya baru tahu dari tulisan di blog Uda Vizon
      Semoga tenang di sisiNya

      Balas
  12. Donny….
    Tak terasa air mataku jatuh…
    Terhanyut pada ceritamu….

    Balas
  13. jadi kelingan almarhum mamaku :(

    Balas
  14. Kenangan-kenangan dengan orangtua ketika orangtua sedang dalam kondisi seperti yang dialami Papa Om Don, sungguh sering menjadikan hidup membutuhkan kebersamaan.
    Tetap sabar, Om, Tuhan pastilah memberikan jalan yang terbaik untuk kekesaih-Nya, kok.
    Salam kekerabatan.

    Balas
  15. Terimakasih udah sharing tulisan yg bagus banget ini.. Mengingatkan vi3 pada papi vi3 yg meninggal karena stroke juga.. :(

    Balas
  16. Netes air mataku Don..
    Perkataan2 kecil dimasa lalu begitu berharganya skr yah..

    Balas
  17. Begitu dekatnya hubunganmu dengan Papa waktu kecil dulu ya Don …
    Sampai kalimat-kalimat yang kalian ucapkan pun masih terekam dengan kuat dalam ingatan …

    Balas
  18. Cerita yang sangat menyentuh Don…. sampai berkaca-kaca aku…

    Balas
  19. ceritamu membuatku ikut merasakan setiap detik perjalanan syd indo mu hari itu.
    tak kelarin baca dl ya…the whole stories, okay ?
    1st comment, i like this !

    Balas
  20. bersiap membaca tulisan selanjutnya. meski bayang2 Om masih lekat di pikiranku :(

    Balas
  21. perjalanan udara yang panjang untuk menemui anggota keluarga terakhir kalinya merupakan momok bagi perantauan spt kita ya Don…. Cerita yang indah meski penuh duka.

    Balas
    • Tul!:)

      Balas
  22. Tulisan ini, mengingatkan aku pada komunikasi aku dan alm. Papah ketika pertama kali kena serangan stroke,”aku merasa ada yang ngga beres dengan badanku, kamu pulang ya?” begitu katanya waktu itu ditelfon. Setelah sebelumnya denger suara almh. Mamah yang panik waktu sadar Papah ngga bisa berdiri :'(

    Balas

Trackbacks/Pingbacks

  1. Diek (2) ? Donny Verdian - [...] Aku menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya. Simak kisah sebelumnya di Diek (1) [...]
  2. Diek (3) ? Donny Verdian - [...] menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya. Simak kisah sebelumnya di Diek (1) dan Diek [...]
  3. Diek (4) ? Donny Verdian - [...] menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya. Simak kisah sebelumnya di Diek (1), Diek (2) dan Diek [...]
  4. Stanislaus (2) / Diek (6) ? Donny Verdian - [...] menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya. Simak kisah sebelumnya di Diek (1), Diek (2), Diek (3), Diek (4)…
  5. Stanislaus (3) / Diek (7) – TAMAT ? Donny Verdian - [...] menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya. Simak kisah sebelumnya di Diek (1), Diek (2), Diek (3), Diek (4),…
  6. Stanislaus (1) / Diek (5) ? Donny Verdian - [...] menuliskan rangkaian kisah tentang ayahku dan kepergiannya.? Simak kisah sebelumnya di Diek (1), Diek (2), Diek (3) dan Diek…
  7. Cloud/online storage ? Donny Verdian - [...] pola percakapan yang sama terjadi lagi sekitar dua bulan silam.?Kali itu tentu tak melibatkan Papaku yang telah berpulang tahun…
  8. Ebiet - DV - […] Ketika akhirnya Papa berpulang ke Rumah Bapa, 2011 silam, di dalam pesawat yang mengantarku pulang kembali ke tanah rantau,…

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.