Seberapa sering kamu di-php-in iklan makanan? Mendapati pesanan makanan yang datang ternyata jauh dari ekspektasi yang didapat saat melihat foto makanan dalam menu?
Aku pernah, tapi tak sering karena menurutku hal seperti ini bisa dihindari dengan tidak terlalu banyak mencoba makanan/rumah makan baru (Aku memang bukan tipe orang yang suka mencoba makanan/rumah makan baru).
Beberapa bulan lalu, bersama keluarga, di satu pagi di akhir pekan kami pergi ke coffeeshop dekat rumah untuk sarapan. Biasanya aku memesan big brekkie ala Australia: sosis babi, bacon (daging babi iris), telur mata sapi dan hashbrown. Tapi pagi itu aku tertarik pada gambar sandwich dengan tangkupan roti yang tebal menggemaskan, keju meleleh di tepiannya dan seiris bacon yang tampak renyah nan garing. Akupun tak kuasa memesannya.
Sepuluh menit kemudian pesanan datang dan penampakannya ternyata sangat berbeda dari iklannya. Beruntung aku seorang Katolik yang dituntut untuk bersyukur setiap waktu hehehe…
Dua tahun silam, Lab42, sebuah lembaga market research mengadakan survey tentang tingkat akurasi iklan terhadap produk pada 500 orang dan hasilnya cukup mencengangkan karena hanya tiga persen yang menyatakan setuju bahwa iklan sangat akurat terhadap produk. (Simak di sini artikelnya).

photo courtesy Lab42
Lalu, apa yang salah?
Kenapa hal ini bisa dan sering terjadi?
Bisa jadi produsen makanan yang terlalu ngoyo untuk membelenggu customer dengan image produk yang dijual. Bisa pula karena produsen tak bisa menjaga konsistensi kualitas dalam artian, ?keindahan? yang tampak pada foto makanan adalah keindahan alami tapi ia tak bisa menciptakan sistem yang mampu menduplikasi keindahan tersebut pada setiap order.
Atau perlukah kita timpakan kesalahan pada agency pembuat iklan??Sudahkah mereka bekerja berdasarkan brief klien? Atau justru karena mereka tak berprinsip bahwa sebenarnya membuat iklan bagus itu adalah presisi cerminan dari produk yang diiklankan dan bukannya melebih-lebihkan?
Apapun itu, menurutku harus ada konsensus sejak awal dari produsen bahwa ekspektasi pelanggan yang apa yang muncul dari iklan adalah sesuatu yang harus dipenuhi.
Tayangan video berikut berbicara banyak tentang bagaimana sebuah raksasa produsen hidangan cepat saji, Mc Donald membuat materi iklan produk.
Adalah menarik menyimak alasan agency dalam tayangan di atas, kenapa makanan harus di-make up sebelum difoto. Menurutnya, karena foto hanya memiliki dua dimensi maka ia harus dibuat untuk menginformasikan ke klien tentang apa saja yang ada di dalam kemasan yang sebenarnya hanya akan tampak pada tiga dimensi.
Tapi toh produksi iklan tetap tak bisa menghindari retouch foto menggunakan software sehingga kesan ?buatan? itu tetap ada. Ya nggak?
Entah di Indonesia, tapi di sini, ketika kita tidak puas terhadap pesanan makanan (termasuk ketidakpuasan karena merasa tertipu foto dalam menu), kita berhak untuk menyatakannya kepada produsen sebagai sebuah keberatan dan biasanya ditanggapi dengan membuat ulang order tanpa bayar.
Aku menemukan sebuah video buatan orang yang selow sekali membuat riset kecil-kecilan di lapangan tentang bagaimana keakuratan iklan terhadap produk.
Apa yang kau pikirkan setelah menyaksikan utuh video di atas?
Aku berpikir bahwa si produsen yang didatangi harus bersyukur! Kenapa? Orang yang mendatangi hanya minta sekali koreksi order lalu puas! Bayangkan kalau ia bertemu dengan orang yang tak mudah puas dan minta berulang kali hingga sama persis dengan gambar.
Kalau aku jadi kasir yang menerima order, barangkali aku akan mengembalikan uang yang sudah dibayarkan sambil berujar, ?Kesempurnaan hanya milik Allah, kesalahan hanya milik?..? #ImissYouBundaDorce.
Aku sering banget nemuin yang kayak di video ituh. Huhu. Tapi sayangnya nggak bisa komplain kayak dia, ya, untuk minta seperti di foto.
Mana mau produsen makanan di Indonesia menukar makanan yang di komplain gak sesuai foto iklannya. Berantam iya, ditukar belum tentu, hehehe…