Kenapa aku bisa bikin buku, dua tahun lalu?
Jawaban singkatnya adalah karena ada gempa Jogja, 27 Mei 2006!
Bukan semata-mata kualitas, tapi sekali lagi karena gempa. Dengan kata lain, kalau tidak ada gempa barangkali takkan ada penerbit yang mau menjadikan beberapa tulisanku menjadi sebuah buku.
Buku itu kemudian kuberi judul “Detik-detik yang Menghempas” meski akhirnya diubah oleh editor menjadi “Detik-detik Menghempas”
Awal mulanya, semua artikel yang ada dalam buku itu adalah rangkaian posting pada blog yang memiliki alamat sebelum ini, hasil permenungan setelah seminggu sejak gempa “turun lapangan”
bersama beberapa anak buahku di GudegNet meliput langsung ke tempat-tempat terparah seperti Bantul dan Piyungan.
Lalu beberapa minggu tepatnya sesudah gempa terjadi, seorang penerbit mengkontakku melalui email perihal kemungkinan penggunaan tulisanku sebagai naskah buku.
Aku ingat betul, ketika itu respon spontanku adalah “Boleh saja! Tapi saya maunya itu untuk free, dalam arti saya ndak mau terima sepeserpun fee.”
Statement yang akhirnya kurelease pada level kenyataan itu sempat mengundang tanda tanya besar terutama bagi keluargaku.
Mama dan Papaku sempat bertanya kenapa aku tak memanfaatkan uang hasil penjualan buku itu untuk setidaknya membantu mereka membangun kembali beberapa bagian rumahku yang memang ikut
rusak karena hempasan gempa. Lalu aku menjawab bahwa bukuku bercerita tentang nestapa yang dialami orang-orang di Bantul dan Piyungan sana, oleh karenanya kepada merekalah
keuntungan finansial itu harus diperuntukkan, “Untuk urusan rumah kita, nanti Tuhan pasti akan kasih jalan!”
Lalu pada akhirnya mereka pun mengerti.
Permasalahan kemudian datang justru pada cara bagaimana supaya aku dapat memberitahu kepada khalayak bahwa aku tidak mengambil untung rupiah sepeserpun, namun tidak dengan sesuatu yang
bersifat mencolok.
Kenapa hal ini harus diberitahukan, awalnya aku pun tak setuju karena bagiku beramal itu harus dilakukan tidak secara terang-terangan supaya tidak mendatangkan pujian,
akan tetapi justru dari pijakan ini aku belajar berpikir bahwa meski beramal itu tidak harus digembar-gemborkan tapi tetap harus dinyatakan demi sebuah tanggung jawab publik.
Ketika tangan kanan memberi sedekah memang benar tangan kiri harus disembunyikan supaya ia tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh si kanan, tapi otak dan hati harus tahu
dan paham kenapa dan bagaimana kita beramal supaya setidaknya nanti kalau Tuhan bertanya kenapa kita beramal, kita bisa menjawab dengan lugas dan tepat serta dapat dipertanggungjawabkan.
Opsi pertama untuk memberitahukan kepada khalayak waktu itu adalah dengan menuliskan terang-terangan di halaman sampul bahwa aku menyumbangkan 100% hasil penjualan ini untuk amal.
Tapi hal itu kuhindari dan kutolak karena menurutku cara seperti ini justru memancing orang untuk memuji kita dan kemudian membeli karena pujian itu tadi.
Kalau begitu itu menurut saya sama saja bohong; membangun citra dan menebar pesona melalui amal yang kita lakukan itu sama saja onani.
Setelah berdiskusi dengan penerbit yang hendak menerbitkan buku itu, akhirnya kudapat cara yang paling “aman”.
Cara itu adalah dengan cara cukup menuliskan statement beberapa kata banyaknya pada Kata pengantar. Demikian isinya:
“…. Pada kesempatan ini saya juga ingin mengatakan bahwa dari pihak saya sebagai penulis tak ada niatan untuk eksplorasi ke arah komersial sama sekali karena sejak awal
saya telah berniat untuk menyumbangkan seluruh keuntungan penjualan yang menjadi hak saya bagi para korban bencana….”
Meski demikian, seperti yang sudah kuduga sebelumnya, suara “nyinyir” nan sumbang dari orang-orang yang menyangsikan ketulusanku itu ternyata tetap ada.
Seorang mantan teman yang tinggal di selatan jakarta, pada sebuah kesempatan setelah kuberitahu bahwa sebentar lagi aku akan mencetak sebuah buku tentang gempa Jogja langsung mengubah
status YM menjadi demikian “Selalu saja ada yang tega untuk mengambil keuntungan dibalik sebuah musibah”.
Hmmm.. saya pun hanya bisa mengulum senyum, secara ego dan emosi, saya punya hak untuk memberitahukan kepada temanku bahwa aku tidak menerima uang sepeserpun, tapi aku lihat justru
disitulah tantangan untuk menghindari godaan yang mengatasnamakn ego dan emosi sesaat itu.
Dua bulan sesudah gempa dan beberapa saat sebelum Habibie akhirnya membuat buku dengan judul yang kurang lebih bernada sama “Detik-detik yang Menentukan”, bukuku pun jadi dan
terpampang di toko-toko buku di Yogyakarta serta banyak kota lainnya. Beberapa rupiah yang kuterima sesudahnya, langsung kuserahkan pada manajemen perusahaan tempatku bernaung untuk
diserahkan pada yang berhak untuk membagikannya sebagai sumbangan para korban gempa.
Begitulah!
Lantas kalau dulu aku tak mau menggembar-gemborkan aksi sosialku, kenapa pula saat ini aku memberitahukan ini semua kepada kalian?
Heh! Terasa aneh bukan?
Tapi ini kan sudah lewat dua tahun. Sementara bukuku pun juga sudah tandas tak tersisa di rak-rak toko buku serta tidak ada niatan (maupun tawaran!) untuk mencetak ulang buku tersebut,
sehingga tentu tidak ada lagi gesekan kepentingan atas nama apapun juga tho kalau aku mengumumkan ini semua?
Bukan pula sebagai ajang untuk membuatku jumawa oleh pujian dan sanjungan kalian bahwa aku dulu, dua tahun lalu pernah beramal dengan cara seperti itu. Kupikir untuk mengharapkan pujian
seperti itu akan terasa sangat basi dan bau.
Jadi, apa salahnya?
yah paling tidak… diantara kesulitan ada ketenaran uhuhuuhuhu….
pertama tama :
salam untuk anda yang sedang menunaikan tugas yang mulia
yang kedua : sebenarnya sikap manusia yang sangat sulit dihilangkan adalah sikap berburuk sangka… secara gak sadar kita seakan akan iri dengan apa yang dimiliki oleh orang lain sedangkan kita tidak bisa memilikinya…. sabar aja mas… Tuhan lebih tahu makna hati seorang hambanya…. perbuatan baik akan dibalas dengan perbuiatan baik pula… mungkin saja godaan godaan dan kritikan kritikan yang pedas itu bagaian dari ujian dan cobaan dari Tuhan.. seberapa ikhlas dansabarnya kita menghadapi itu semua…
buku ne iseh ra,bos??
bisa dibeli dimana…
sy sdh 3 thn keluar dari jogja :))
biarin mas, apa kata orang, yang penting jalan terus. klo niatnya baik kan ntar juga yang di atas memberi berkat. hihihi
Aku butuh bukunya, Mas. Di mana bisa mendapatkan ya? Thanx.
bener – bener mas pahlawan, suri tauladan dan idola kawula muda
* ngacir *
@Windy: Nah, kalau ketenaran memang sulit dihindari, Ndi! Ya, tak ada gading yang tak retak lah!
@arie: bukuku dulu ada dimana-mana, ngga cuma di Jogja… nek saiki ketoke sudah habis…
@DM: Di Malka!!!!!
Iya, Mas. Mas memang sosok yang patut diteladani. Bangga bisa berkomunikasi dengan Mas seperti ini… Salut!
*mengendap-endap kabur*
Memang kadang susah niat baik kita diinterpretasikan lain oleh orang lain (bahkan teman sendiri).
Tapi tidak apa toh, Tuhan yang tahu.
Anjing menggonggong…….(isi sendiri hihihi)
Kita memang nggak akan pernah bisa mengendalikan isi pikiran orang lain kan, Don?
Jadi biarin ajah…
Yang tahu niat tulus kamu kan cuman yang Di Atas Sana… :)
Ada copy buku yang bisa dibeli di mana gituh? ^^
Justru, La!
Aku menuliskan itu setelah dua tahun karena memang semua bukuku di Gramedia dan toko buku lainnya sudah dilaporkan tandas tak berbekas :)
mas, masih punya softcopynya ga? boleh minta? kan ga harus bayar. hihihi.
aku benar2 ingin membaca buku tersebut soalnya. atau alamat blog njenengan sebelum ini deh juga ga apa2. maaf, karena aku belum mengenalmu dengan baik.
Wah itu dia…
Bukunya nggak dicetak ulang sedangkan naskah raw nya pun hilang entah kemana, tapi ada sih buku yang kusimpan.
Barangkali nanti kalo ada waktu aku akan tulis ulang dari buku ke blog ini…
Sekadar untuk pengabadian saja…