Meski sudah enam tahun tinggal di Sydney, Bahasa Inggris yang kadang lancar kadang hancur lebur adalah salah satu perjuangan hidup yang harus kuhadapi setiap harinya.
Beberapa malam yang lalu, seperti malam-malam sebelumnya aku membimbing kedua anakku untuk berdoa malam menjelang tidur. Kalau malam-malam sebelumnya kami selalu berdoa singkat dan spontan, kali itu aku ingin mengajarkan anak-anakku doa Lord?s Prayer (Our Father) atau kalau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai Bapa Kami.
Odilia dan Elodia kududukkan di tempat tidur, kami bersama-sama membuat tanda salib lalu memulai doa.
Tapi ?sial?, di penggalan terakhir, aku gawal.
“And lead us not into tempation?
but deliver us from?.”
“Waduh, from apa yah?” gumamku. “Hmmm.. from? from?”
Mau minta tolong istri, malu dan justru aku sebenarnya merasa sangat bersyukur waktu itu karena dia sedang berada di ruang bawah karena kalau dia ada di situ pasti aku akan merah padam mukaku karena come on? enam tahun tinggal di Australia, Lord?s Prayer saja tidak hapal, Katolik macam apa aku ini!!!
Tapi sebentar! Tunggu dan dengarkan pembelaanku.
ini bukan perkara tidak hapal sebenarnya, lebih ke ?tiba-tiba lupa? atau dalam bahasa Jogjanya adalah moment yang sifatnya “Lali sa?plengan!”
Dalam beberapa menit aku tetap tak menemukan apa yang seharusnya kuucapkan sebagai frase terakhir doa yang dalam bahasa Aramic adalah doa yang diucapkan Yesus sendiri itu.
Lalu karena anak-anakku sudah merengek ingin tidur, aku yang sudah putus asa lalu mencoba ngasal kututup dengan “but deliver us from?. HEAVEN!”
WHAT?!!!?
Yes? itu yang kuucapkan, sesuatu yang sepuluh menit kemudian kusadari bahwa itu adalah salah karena yang benar adalah ?but deliver us from evil? Evil dan Heaven, dua hal yang bedanya berjarak panjang sejarah kehidupan Tuhan, kehidupan, manusia itu sendiri!
Aku tersenyum sendiri ketika sadar bahwa doaku ternyata salah.
Aku membayangkan menjadi Tuhan…
Andai aku adalah Tuhan yang saklek dan tak mengenal cinta, barangkali detik itu juga, ?Aku? telah menghukum aku saat salah berdoa!
Petir langsung kutugaskan menyambar dan aku mati masuk neraka karena toh aku sendiri yang meminta untuk dibebaskan dari surga dan bukankah dalam konsep agama (kecuali purgatori yang konsepnya sukar diterima maka tak kujelaskan di sini) hanya mengenal kalau nggak surga ya neraka dan itu berarti aku minta diantar ke neraka?!
Tapi untung Tuhanku adalah Tuhan yang tak kubayangkan seperti itu.?Tuhanku adalah tutur paling sempurna dari cinta itu sendiri.
Tuhan tentu tahu aku sedang tergopoh-gopoh belajar untuk keminggris karena anak-anakku sedang bertumbuh dan bahasa yang kuajarkan adalah Bahasa Inggris karena kami tak hidup di Indonesia. (Hello kalian yang tinggal di Indonesia tapi mengajari anak berbahasa Inggris? Helloooo?)
Tuhan tentu juga tahu bahwa aku, sama halnya kalian, punya otak yang kian hari kian menua dimana kejadian ?lali sa?plengan? adalah hal yang tak terhindarkan dan bahkan akan semakin sering muncul, manusiawi!
Untung juga karena aku tak sedang nyapres atau setidaknya tak sedang mencalonkan diri untuk duduk di satu kursi penting yang dilihat masyarakat.
Kenapa?
Karena meski kata orang agama dan iman itu adalah urusan kita dengan Tuhan, nyatanya tidaklah demikian. Cara beragama seolah dijadikan sebagai penimbang utama seorang calon presiden itu baik atau tidak.
Lihat Prabowo, lihat pula Jokowi.
Aku kasihan dengan mereka berdua. Apa urusan orang-orang lain menghakimi cara mereka berdoa, cara mereka beragama hanya demi mendapatkan kesimpulan yang jelas bahwa keduanya adalah calon pemimpin yang mumpuni?
Tapi sekasihan-kasihanku kepada kedua capres itu, lebih kasihan lagi adalah pihak yang kepo dan menyangsikan kadar imannya dari cara mereka beragama. Yang juga tak kalah untuk perlu dikasihani adalah mereka yang melawan pihak-pihak yang menyangsikan tadi dengan membalas argumen menggunakan parameter yang sama yaitu cara mereka beragama.. sekali lagi cara!
Bayangkan kalau aku jadi capres, meski ok..ok.. ok.. wait, seorang Katholik menjadi capres di Indonesia adalah hal yang barangkali baru bisa terjadi ketika?semut berhasil berevolusi diri menjadi raksasa sebesar gajah!
Tapi anggaplah demikian, aku curiga kalau tiba-tiba ada pihak lawan memasang CCTV di kamarku waktu itu dan menangkap suara dan adegan aku membimbing anak-anak berdoa dengan teks yang salah? bisa jadi keesokan harinya tertulis di media sebagai headline, “Donny Verdian memimpin anak-anaknya mengindari surga!” sebagai terjemahan kasar dari “But deliver us from heaven”
Lalu aku bisa membayangkan awak media lawan akan mengupas habis silsilah keluarga.?“Woh, ternyata alm Papanya Donny pun masuk Katolik baru tiga bulan sebelum dia wafat!” (Kalau diisukan sebagai cina udah sering jadi ngga usah diceritakan di sini ya…)
Disambung dengan, “Bener juga sih kan dia suka ngetweet yang jorok-jorok di Twitter (untung udah kututup!)” dan di-gong-i dengan, “Wah kalau jadi Presiden, Donny pasti nunjuk orang-orang atheis untuk jadi Menteri Agama karena nama depan Donny kan ada ?A? nya! Itu bukan Antonius sebagai nama baptisnya tapi Atheis, pahamnya!”
Seru memang membayangkan hal yang kita sudah tahu pola yang akan terjadi karena kita belajar dari apa yang memang benar-benar terjadi belakangan ini. Padahal belum tentu orang yang khusuk berdoa adalah orang yang mampu mengamalkan doanya dalam setiap tikungan kehidupan, kan?
Belum tentu juga orang yang ngakunya alim dan tampaknya benar-benar alim adalah orang yang tak ?tegang syahwat? ketika melihat sibakan rok kaum hawa ataupun sibakan brankas berisi uang yang seolah boleh digunakan untuk kepentingan syahwat pribadi!
Atas nama agama kita sering jadi berpolah sekaligus tampak pongah.?Berpolah karena seolah kita justru menjungkalkan posisi Tuhan yang seharusnya jadi tujuan akhir segala ajaran dan menempatkan kita sebagai sang empunya agama dan poros benar tidaknya sebuah cara beragama itu sendiri! Pongah, karena siapa yang bilang bahwa berpolah seperti di atas itu adalah baik dan cermin sikap rendah hati? Sesuatu yang harusnya justru dimiliki mereka para kaum agamis?
Kembali ke soal membimbing doa anak-anak tadi?
Kejadian ?lali sa?plengan? bukanlah peristiwa yang terjadi sekali saja. Dan biasanya ketika hal itu terjadi, belajar dari kejadian sebelumnya, aku hanya diam, berdoa dalam hati lalu tiba-tiba teriak “A?” yang disahuti oleh Odilia dan Elodia secara terkaget-kaget “Minnn?.!” semata supaya tak ada yang tahu bahwa bahasa Inggrisku masih (atau makin) kacau saja?
Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku terutama soal ?lali sa?plengan? tadi?.
A…. min..
hahahaha.. besok2 mbok ya membaca text aja gituu.. sekalian latih anak2 membaca & berdoa.
hahahahhaa..
Nah kalo doa Bapa Kami aja mbaca ya ngga bisa kepilih jadi presiden nanti, Ren :)
membaca dulu sampe hapal.. kan dari sekolah dulu juga diajarin begitu toh? :D
diampuni, Don. tapi bayar denda dosa sik :)) bayare dititipke aku yo iso :p
Titipke kowe? Doakan salam maria 1000 kali? :)
Maaf baru membaca,…….menarik, sederhana dan sangat manusiawi,
Tabik mas DV :)
Thanks…