Berapa undangan pernikahan yang kalian hadiri pada hari Minggu, 10 Oktober 2010 kemarin?
Pastinya banyak karena memang sudah menjadi rahasia umum bahwa kecenderungan kita adalah untuk berusaha mengkaitkan momen istimewa tersebut dengan ‘bagus tidaknya’ sebuah tanggal. Mereka (dan kita) berharap bahwa ‘hari baik’ yang termaktub dalam ‘tanggal baik’ tersebut dapat menginspirasi sebuah pernikahan menjadi baik pula adanya.
Tapi sebenarnya, baik kah pernikahan itu?
Dua minggu silam aku pergi shopping ke Target, salah satu retail brand ternama di Australia yang banyak menghadirkan barang-barang (terutama busana) berkualitas ‘not bad’ dengan harga yang ‘bloody good’! Aku pergi ke Target karena untuk keperluan busana kantor selain jacket, jas dan dasi, kupikir aku tak mau membuang uang terlalu banyak toh akan dipakai hampir setiap hari dan… ah siapa pula yang memperhatikan, kan? Maka setelah beberapa hari sebelumnya melihat tayangan iklan diskon gede-gedean di Target khusus untuk busana dan perlengkapan kantor aku memutuskan untuk berbelanja pada hari itu.
Seperti yang sudah kubayangkan, pengunjung begitu membludak, merayap di sela-sela kounter barang yang bisa dipilih secara swalayan itu.
Memang tak seheboh ramainya mall-mall di Indonesia menjelang Lebaran, tapi dua tahun tak pernah melihat yang seperti itu, sekalinya disodori ya tetap kaget lah! Sempat sedikit gelagapan tapi apa mau dikata, namanya juga sudah niat… aku lalu cuek membaur bersama mereka berdesak-desakan dan adu cepat memilih barang sebagus mungkin dengan harga semurah mungkin.
Tak sampai setengah jam, beberapa pilihan pakaian dan celana panjang katun sudah kugenggam. Praktis tak butuh waktu lama untuk memilih pakain yang hendak kubeli karena bagiku toh pakaian kerja formal itu memang harus simple; kalau ngga kotak-kotak, garis-garis ya polos, kan? Tinggal pilih warna mana yang sesuai, langsung comot dan bawa ke kasir toh untuk urusan ukuran, standardnya sama.
Tapi pendapat istriku yang akhirnya membuat semua jadi tak ‘secepat’ itu.
“Ini kan baju-baju yang murah meriah.. takutnya ada lubang sana sini atau… siapa tahu ukurannya beda dengan yang biasa kamu beli!”
Aku berpikir sejenak lalu mengiyakan pendapatnya.
Setelah memilih beberapa buah baju untuk dicoba aku bergegas menuju ke kamar ganti. Tapi lagi-lagi, kapasitas kamar ganti yang disediakan tak mencukupi untuk menampung semua calon pembeli pada saat yang bersamaan, terpaksalah kami antri. Ada sekitar delapan orang yang berdiri di depanku namun pada beberapa menit sesudahnya berkurang hingga lima. Sebabnya, ternyata ada aturan baru bahwa mencoba baju minimal hanya tiga potong saja, barangkali ini aturan sementara karena memang tingkat kunjungan siang itu yang ?peak? sangat.
Ketika giliranku tiba, aku segera masuk ke dalam.
Tak seperti biasanya, kali ini begitu masuk, aku tak langsung mencoba baju yang kubawa namun untuk sesaat aku dibuat takjub oleh tiga buah gantungan baju yang masing-masing diberi label “Definitely”, “Maybe” dan “Next Time.”
Ini adalah sesuatu yang beda ketimbang toko-toko lainnya.
Sesuatu dengan maksud yang jernih, mudah dicerna dan kupikir ini brilian. Adanya tiga buah gantungan itu menjadi semacam alat bantu untuk memudahkan kita memilih mana baju yang pada akhirnya kita beli, mana yang perlu kita timbang-timbang dan mana yang dengan mudah kita bisa bilang “Ah, tak sekarang! Besok saja”
Di ?situ? aku termenung.
Sekonyong-konyong aku dihadapkan pada soal pernikahan meski pada kenyataannya perkara memilih baju sebenarnya jauh berbeda dan tak bisa dianalogikan dengan proses pencarian jodoh apalagi pernikahan. Tapi apa mau dikata, itulah yang bisa ?kuserap? tanpa bisa kuminta dan otakku terperas ke sana.
Pernikahan, meski ada beberapa yang menganggapnya sebagai sebuah ?permainan? tapi kuyakin sebagian besar dari kita masih percaya bahwa ia adalah sesuatu yang sakral. Saking sakralnya, kitapun rela untuk mengintepretasikan kesakralan itu sebagai sesuatu yang hanya perlu dilakukan sekali seumur hidup. Oleh karenanya, penentuan dengan siapa kita akan menikah lantas menjadi sesuatu yang sangat krusial.
Seperti halnya proses memilih satu baju dari tiga di kamar pas Target itu tadi, karena berapapun yang kita pilih, pada akhirnya, kita harus memilih satu calon yang definitif dan menyingkirkan dua serta calon lainnya. Sebagian besar, yang menganggap pernikahan sekali seumur hidup adalah yang terbaik, lantas merasa perlu untuk mengambil waktu yang panjang sebelum pernikahan digelar meski aku percaya, sepanjang apapun itu, sangat sulit untuk menentukan bahwa proses pemilihan telah benar-benar selesai.
Banyak yang akhirnya tak kunjung melangkah hingga akhir hayat memilih untuk ‘tetap mencari’. Ada pula yang tak berani memilih dan akhirnya memungkiri pernikahan sebagai sesuatu yang memang tak perlu dilakukan hanya gara-gara rasa takut memilih itu tadi. Ada juga yang memaksakan diri untuk memilih karena dikejar waktu dan pada akhirnya harus ‘membatalkan pilihan dan memilih ulang’ ketika pernikahan sudah digelar.
Sikap terbaik, barangkali adalah dengan membatasi waktu pencarian, menentukan sikap dan maju ke depan untuk mengucapkan janji pernikahan. Perkara tak sreg itu toh wajar karena siapa yang pernah sreg terhadap sesuatu maupun seseorang untuk selama-lamanya tanpa pernah goyah seinci pun?
Seperti halnya dalam memilih baju, mana sanggup kita membayangkan bahwa betapapun indah dan eloknya baju yang kita pilih dan ditaruh di gantungan “definitely” adalah baju yang tetap akan indah dan elok ketika telah kita pakai dalam setahun misalnya?
Akankah ia tetap kelihatan pamornya meski misalnya si pemilik telah semakin melar tubuhnya dan tak muat lagi untuk dibalut dengan baju yang elok itu tadi?
Dan hey… bukankah kita biasanya akan lebih senang berujar “Ah, bajunya udah kekecilan.. mari kita hunting lagi!” ketimbang “Wah, aku yang kegemukan… mari kita lebih giat berolahraga lagi!”
Bagiku, pernikahan itu tak pernah tak baik.
Ia adalah sebuah ide gila yang datang dari Tuhan untuk menyatukan dua manusia yang berlainan. Uniknya, meski demikian, pernikahan tak kan pernah bisa benar-benar menyamakan dua manusia itu karena satu bukan berarti sama dan sama tak harus satu. Ada kalanya ia berhasil dan berproses, tapi tak jarang pernikahan belum-belum sudah dipandang gagal dan ditabalkan sebagai langkah bunuh diri oleh mereka… mereka yang memang tak ingin berhasil pada sebuah pernikahan.
Jadi, sudah baikkah pernikahan kalian?
Untuk mereka, yang baru melepas masa lajang…
like this .. thanks …
Uhhh… dalem. Dari cantelan baju ke percikan permenungan. Apa kabar, Don? Eh sudah saya tweetkan dari lain tempat :)
Wah, maturnuwun lho Paman…
Kabar baik di sini… kabar Paman pripun? Sepulang dari Jerman kok ngilang? :)
Paman kan di Indo mas DV, jadi penunggu langsat … tempat nongkrong para social junkie… :) tempat cozy buat blogger.. mas DV kudu cobain nih
Haha … menarik! (via @pamantyo)
mestinya aku baca ini taon depan …. huahahahahahahahaa…
Aku sih belum menikah ni mas :D jadi nak bisa komentar banyak. namun kalo perkara relationship disini umumnya masih dipengaruhi soal adat/tradisi yang non relevan. misalnya suku a dilarang dengan suku b.
atau kadang soal status social.. yah kebetulan dari teman temanku jadi tau gimana kalau aku nanti mau nikah :D…
btw gimana hari 10 -10 110 mas DV di aussie
Yang topik ini saya ndak tau mau berkomentar apa.. :) mengenai baju semoga kedepannya acer bisa memberikan Augmented Reality jadi ketika membeli baju bisa lebih entertaining bahkan tanpa gantungan
dan soal nikahan, hmm paa yah yang acer bisa bantu.. #mikirProdukKedepan yang bisa berguna untuk tema weeding
Benar, pernikahan itu pasti baik, asalkan niatnya baik. ^__^
Jangan hanya sekadar bertujuan menikahi seeorang yang kaya harta supaya jadi tajir.
Harus bisa menerima pasangan apa adanya, dan saling mengisi kekurangan masing-masing. :)
Sebetulnya bingung juga mau komentar apa di artikel ini secara saya juga belum menikah…. hanya ilham yang didapat itu bagus sekali dari sebuah gantungan baju bisa disambungkan dengan pernikahan.
Yang bisa Dhie ambil dari sini segh, pasangan hidup itu bukan seperti baju yang kalau sudah bosen and jelek dibuang. hahaha… :D
Menurutku, pernikahan bukan bertujuan untuk membuat dua orang menjadi sama, karena itu tidak mungkin. Pernikahan adalah terus-menerus belajar untuk bisa memahami, menerima, dan mencintai perbedaan yang ada di antara masing-masing pasangan. Proses penyesuaian ini bukan hanya sekali lalu selesai, tetapi berlangsung seumur hidup, karena setiap orang berubah sejalan dengan berlalunya waktu. Oleh karena itu, bisa saja dua orang yang sudah menikah puluhan tahun lalu berpisah, karena yang dulu cocok ternyata lalu sudah tidak cocok lagi …
mmmm…aku gak bisa menjawab pertanyaanmu mas, karena aku blom menikah. Yang bisa kujawab adalah aku setuju bahwa pernikahan itu ibarat pakaian, sang istri bajunya, sang suami celananya. jadi kalau ada seorang istri yg menjelek jelekkan si suami sama saja dia merusak bajunya sendiri dan harusnya yang malu tentu dia karena bajunya compang camping. Tetapi jika sebaliknya ada suami yang terang terangan menjelek2an istrinya artinya dia itu mengotori celananya sendiri.
mengapa mereka menjelek2kan karena mereka merasa tidak puas, tidak senang ataupun tidak sependapat, dan tidak sama. padahal seperti yang kamu bilang menikah itu tidak untuk menyamakan dua orang.
akan akan menyusulmu suatu saat…pasti ;)
Benar Ria,
Seandainya pun ada yang kurang dalam pernikahan mereka, tidak sepantasnya membukanya pada orang lain. Membuka aib pasangan sama saja dengan membuka aib sendiri….
dalem sekali… :(
suka angle poto.
saya orang jawa tulen, mas don. orang tua punya perhitungan tersendiri dalam menentukan hari perkawinan. umumnya, mereka menggunakan dina weton dari mempelai lelaki dan perempuan utk selanjutnya dikombinasikan hingga ketemu hari yang tepat utk menghelat pernikahan.
saya nikahnya gak ribet, kebetulan sangat lancar sekali…ortu ok, langsung yukss….heee
kalau jawaban dari saya, “so far so good”, hehe
dan mudah2an selamanya “good”
Jika kita percaya bahwa pernikahan itu merupakan ibadah, maka siapapun yang didalamnya akan berusaha mewujudkan kebahagiaan.
Karena bahagia itu harus dibuat, dan sekali melangkah, maka kita pantang mundur…dan apakah kita mau tak bahagia?