Dear Papa*

9 Apr 2012 | Cetusan

Dear, Pa…

Membaca ulang kisah kepergianmu yang kutulis lebih kurang setahun lalu adalah sesuatu yang membuatku kehilangan kata-kata. Ketujuh tulisan itu tak kurencanakan jauh-jauh hari karena kepulanganmu ke Rumah Bapa, 7 April 2011 silam toh juga teramat sangat mendadak bahkan nyaris tanpa pertanda.

Praktis aku mempersiapkan tulisan itu hanya semalam di atas pesawat yang membawaku kembali ke Sydney seminggu lebih sehari setelah kau pergi. Itupun bisa dibilang ‘seadanya’; membuka-buka ulang buku Pram, “Bukan Pasar Malam” tak sampai kelar lalu membayangkan apa yang hendak kutulis di benak dan ketiduran. (Tapi aku yakin betul aku mendapatkan energi yang luar biasa besar dari Pramoedya meski hanya sekelumit baca tentang bagaimana ia menuliskan kisahnya perihal kehilangan ayahnya di buku itu. Sama sepertiku!)

Besok malamnya sesampainya di rumah setelah melepas lelah, ketika sebagian besar energi telah terkumpul, aku mulai menuliskannya secara berurutan, sehari satu.

Tapi setelah kurenungkan lebih dalam lagi, adalah wajar kalau tulisanku begitu ‘hidup’ kali itu dan aku harus setuju dengan pendapat banyak teman yang mengatakan bahwa untaian kata-kataku di sana begitu lugas dan dalam.

Bukan! Bukan karena kepiawaianku dalam menulis tapi lebih karena kamu sendiri, Pa! Kamu adalah sebuah buku terbuka; selalu menarik untuk ‘kubaca’ dan ketika kau berpulang, aku tinggal mengintisarikan semuanya lalu kutulis ulang, di sini.. di blog yang kata adikku, Chitra, bilang “Kalau Papa sih nggak pernah baca, Mama yang rajin baca blogmu, Mas!”

Meski pernah pula aku dikejutkan dengan permintaanmu kepada Chitra untuk mencetak ?salah satu postingan di blog ini dimana aku bercerita tentangmu meski menurutku sebenarnya tulisan itu ‘tak terlalu hidup’ namun sekali lagi, adikku bilang, “Papa sampe mbrebes mili (keluar airmata – jw) lho Mas baca tulisanmu yang tentang dia itu!”

Pa,
bicara soal kepulanganmu sendiri, bagiku hal itu bukanlah perkara yang simple.
Engkau memang hanya merasakan ‘sakit sehari lalu pergi’, tapi persiapanmu untuk pergi kuyakin telah terbisikkan kepada batinmu jauh sebelum hari itu tiba. Aku tahu dan yakin betul terutama setelah membaca ulang tulisan ini dan ini.

Sedih? Iya! ?Tapi di atas semua itu, sesuai dengan apa yang kuucapkan ketika Om Momok memintaku memimpin doa di depan jasadmu, bahwa kepergianmu menuju alam keabadian adalah yang terbaik.

Kenapa?
Mudahnya, bisakah kau bayangkan duduk di atas kursi roda tanpa bisa apa-apa karena stroke yang menyerang malam sejak itu? Hingga kapan? Bertahun-tahun dengan memendam perasaan sebagai seorang pecundang? Tentu tidak! Oleh karena itu Tuhan begitu sayang kepadamu. Ia memanggilmu pulang di saat kau sendiri tak sanggup membayangkan akan seperti apa hari-hari di depanmu.
Dan justru setelah kematianmu itu, hubungan kita bisa begitu baik.?Kau kini hadir tak hanya sebagai, “Oh, Papa? Papa saya sudah meninggal!” tapi lebih seperti, “Oh, Papa? Dia ada dalam hati saya meski ia telah pergi!”

“Mereka tak pernah melihat matahari, tapi aku pernah mendapatkan kesempatan lebih dari 33 tahun untuk melihat rencana Tuhan yang begitu indah melalui hidupmu.”

Bayangkanlah, saat kau masih ‘ada’, mana ada konteks percakapan seperti itu antara aku dengan temanku.
Mana pernah pula aku merasakan rindu kepadamu?
Mana juga aku menghiba memanggilmu ketika lelah melanda?

Dan, yang ini mungkin memalukan karena sebagai anak seharusnya selalu berdoa bagi orangtua, tapi sejujurnya kukatakan, mana pernah aku se-intens sekarang-sekarang ini selalu membawa namamu dalam doa pagi dan malamku?

Tak hanya itu.
Setahun kemarin, kau, bagiku, telah menjadi tonggak; patokan tentang seperti apa seharusnya aku menjadi ayah pada titik ‘setidaknya’. (Hal ini pernah kutuliskan di blog milik Uda Vizon ?di sini, 40 hari setelah kau meninggalkan kami)

Ya, setidaknya aku harus sama baiknya denganmu untuk menjadi ayah bagi anak dan mengusahakan semaksimal mungkin untuk menjadi yang lebih baik dari yang pernah kau lakukan.

Setahun kemarin, kau juga telah menjadi ‘teman bicara’ yang efektif ketika aku melihat betapa banyak sisi-sisi duniawi menguasai tubuh dan jiwa orang-orang di sekitarku dan termasuk aku sendiri.

Aku bisa tertawa bersamamu ketika melihat orang pusing memikirkan penampilan dan gengsi daripada iman dan isi. Meski ketika aku giliran yang bingung dengan penampilan dan meletakkan gengsi di atas segalanya, akankah kau juga menertawaiku?

Soal kesederhanaan, tak bisa tidak, aku memang harus berkaca pada masa hidupmu dulu yang begitu sederhana. Kau, setahuku, tak pernah mau terikat pada hal-hal duniawi meski untuk yang satu ini lebih karena keterbatasan ekonomi kita dulu. Tapi setidaknya, engkau menjadi figur bagiku bahwa, orang boleh punya impian, tapi ketika tak ada kemampuan dan kesempatan, ya tak mengapa, hidup harus terus dijalankan meski tanpa itu semuanya.

Bahkan, Pa… caramu pergi pun begitu sederhana.
Pagi itu Mama bilang, “Papamu sudah janji nggak mau ngrepoti siapapun… “ lalu kubalas, “Benar. Termasuk cara meninggalnya (ia menepati – red) ya, Ma?” Dan ia pun mengangguk, kami duduk sebelah menyebelah di depan jasadmu yang beku.

Begitu cepat. Sederhana. Sempurna.

Pa, ada baiknya kuceritakan hal menarik ini sebagai penutup tulisan ini.

Suatu waktu aku pergi ke sebuah gua di Australia sini.?Kau kan tau betapa penakutnya aku terhadap kegelapan termasuk untuk masuk ke dalam gua seperti itu. Tapi singkat cerita, entah bagaimana, siang itu bersama teman-temanku, aku masuk ke dalam goa itu.

Dan, Puji Tuhan setelah itu… Betapa aku tak henti-hentinya membodoh-bodohi diriku sendiri yang selama ini takut masuk ke dalam gua karena ternyata keindahan di dalamnya adalah sesuatu yang luar biasa.

Hingga dalam satu permenungan ketika di dalam sana, tiba-tiba aku merasakan ketakjuban yang luar biasa. Darimana batu-batu itu bisa begitu tampak indah sementara ia sendiri tak pernah melihat keindahan yang dibawakan pagi, mentari, dinyanyikan burung-burung serta semua pelaku hidup yang mewarnai hari?

Hingga akhirnya ketika aku melihat ada air yang menetes pada ujung stalaktit yang mencuat di depanku, aku tersadar! Tuhan menugaskan setiap tetesan air yang meresap dari atas ke dalam tanah lalu melewati gua itu untuk membisikkan dan mengabarkan keindahan dunia pada batu-batu yang mungkin seumur hidupnya tak pernah ditakdirkan untuk berada ke permukaan tanah itu. Dan hanya berbekal itu pulalah Ia memahat batu-batu itu menjadi begitu indah.

Lalu, detik-detik berikutnya, tiba-tiba aku bersyukur atasmu. Ya, kamu.. Papaku!
Meski kau telah tiada, tapi betapa aku lebih bersyukur daripada batu-batu yang indah itu. Mereka tak pernah melihat matahari, tapi aku pernah mendapatkan kesempatan lebih dari 33 tahun untuk melihat rencana Tuhan yang begitu indah melalui hidupmu.

Baik, Pa… kusudahi dulu tulisan sampai di sini. Sampaikan salamku kepada Gusti Yesus, Bunda Maria dan segenap para kudus. Juga para leluhur kita lainnya serta sahabat-sahabatku yang telah menerima kedamaian di sana.

Doakanlah kami selalu, seperti kami selalu mendoakan keabadianmu yang penuh damai.?Kami mencintai dan selalu mengingatmu dalam hari-hari kami.

*Dear Papa adalah judul kumpulan buku yang berisi surat-surat dari anak kepada ayahnya. Aku diajak Lala Purwono untuk menjadi salah satu kontributor di buku itu. Kisah tentang penulisan suratku dalam ‘Dear Papa’ pernah kuulas di sini. Sayang, buku yang terbit pada Maret 2011 itu belum sempat kuhadiahkan kepada Papa yang meninggal dunia tak sampai sebulan kemudian.

Tanpa mengurangi rasa hormatku pada Lala dan kawan-kawan sesama kontributor lainnya di buku tersebut, tapi bagiku, tulisan inilah yang menjadi ‘Dear Papa’ yang sesungguhnya :)

Sebarluaskan!

23 Komentar

  1. Kehilangan selalu saja menyakitkan. Keikhlasan kita menerima keputusan Tuhan hampir selalu meringankan hati kita.

    Kenangan kita kepada orang-orang yang kita kasihi semoga menjadikan kita manusia yang berkualitas dalam segala hal.

    Papamu…pasti bangga melihatmu. Anak yang baik, Kakak yang baik dan juga bagi Chitra. Teman yang baik dan hangat bagi orang-orang yang sempat mengenalmu setidaknya melalui tulisan2mu.

    Balas
    • Thanks, Ris :)

      Balas
  2. Lagi-lagi aku menangisi cerita ini. Kali ini karena haru dan bangga krn aku dan DV punya Papa yang luar biasa, namun sederhana! Membayangkan harus melihat papa menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda dengan sosok yg tak berdaya, benar2 diluar pikiranku yang terdalam sekalipun! So, Papa selamat menempuh hidup damai abadi di surga! Kami disini mencintaimu!

    Balas
    • Donny, Chitra.. Pasti Papamu bangga sekali dengan kalian..
      Cara kalian mengekspresikan kebanggaan dan kecintaan kepada Papa, bagiku sungguh menggetarkan jiwa keayahanku. Sedari awal aku baca tulisan ini, aku sudah ngelanut, ditambah komentar singkat dari Chitra, sungguh tak dapat kupungkiri bahwa Papa kalian memang patut berbangga hati..

      Aku turut doakan, semoga Papa, berbahagia di alam sana..
      Dan semoga, teladan yang ditinggalkannya, senantiasa menginspirasi kita..

      Balas
    • @Chitra: *dekaperat

      Balas
  3. wow. tidak bisa berkomentar banyak… cerita yang sangat bagus.. dan rasa terima kasih yang besar dari anak kepada bapaknya… Semoga selalu menginspirasi…

    Balas
  4. jadi inget oom saya, “sakit”nya yang terakhir hanya 2 jam, dan akhirnya meninggal dengan senyuman di wajahnya :) tidak ada yang menyangka, tidak ada yg “bersiap-siap” untuk kepergiannya pagi itu. Tuhan telah berkehendak dengan caraNya sendiri…

    Balas
    • Itulah rahasia sekaligus kebesaran Tuhan

      Balas
  5. good one :)
    he’ll be so proud looking at you from up there.

    btw, i see a glimpse of odi in your father’s face..

    Balas
    • Thanks, Ren :)

      Balas
  6. Ketika jarak waktu muali terasa jauh, tapi belum terlalu jauh, permenungan kita kadang sedikit agak jernih. Nice post, dab

    Balas
    • Suwun, Bung Paman :)

      Balas
  7. Wah dulu kompak sekali dengan baju khas jawa-nya

    Balas
  8. kalo orang yang aku anggap papa dan ingin aku peluk adalah kakekku Om

    meskipun hanya belasan tahun dia membesarkanku hingga akhirnya berpisah di bangku SMA. Dia selalu menjadi bagian terindah dalam kehidupanku.

    Balas
  9. ah don,
    aku menangis lagi deh, sambil mengenang mamaku, yang kutahu dia menderita sakit meskipun tak pernah diperlihatkannya….

    Meskipun hubungan antar anak dan orang tua adalah hal-hal yang amat pribadi, berbeda satu sama lainnya, tapi semua berlandaskan cinta tanpa pamrih. Aku masih takut masuk ke dalam gua, meskipun aku tahu dari cerita-cerita, termasuk ceritamu, bahwa di dalam sana ada keindahan tersendiri. Tapi aku percaya bahwa setiap titik air itulah yang membuat keindahan di sana. Sangat sederhana, mungkin sama dengan papamu. Juga sama sederhananya dengan rangkaian kalimat yang kamu tuliskan tentang cinta papamu. Sederhana itu indah ya…..

    Balas
    • Bener.. ketika semua sudah semakin complicated, kesederhanaan itu mahal :)

      Balas
  10. aku udah baca tulisanmu di dear papa, hadiah dari uda Vizon
    aku selalu kagum dengan caramu menuliskan tentang bapak , selalu buat aku menangis
    ingin juga menuliskan tentang ayahku, tapi selalu hanya tinggal di draf, tak sanggup menuliskan,
    Aku masih sangat merasa kehilangan meski sudah 19 tahun berlalu

    Balas
    • Mari tuliskan, Bu… tinggal pencet satu tombol untuk jadi tulisan dari draft kok :)

      Balas
  11. Don, tulisanmu yang ini lain. Sederhana tapi dalam. Mungkin karena dibalut cinta ya? *hmmm, karo mbrebes ki nulise. asemik!*

    Balas
  12. Menarik nafas supaya ngga menangis ketika baca tulisan di atas. Seriously!

    Suratmu itu, bener-bener merefleksikan cinta yang kamu punya untuk Papamu. Dan lewat buku DearPapa (terutama buku ke-6 itu), aku jadi paham cara anak laki-laki menyayangi Papanya dan seperti apa sosok Papa dimata anak laki-lakinya.

    Balas
  13. itu resume dari buku y mas ato bukan?

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.