Jika diperhatikan sekilas, sebenarnya tak ada yang salah dengan potongan berita dari Harian Kompas Selasa tgl 15/11/16 bertajuk ?Lari Amal di Borobudur Marathon? di bawah ini.
Asosiasi alumni sekolah-sekolah katolik di bawah asuhan para imam Yesuit, ya wajar tho membantu sekolah katolik lainnya?
Benar. Tapi kalau kalian perhatikan, di situ ada nama Haji Datuk Sweida Z. sebagai ketua umum AAJI, dan inilah pembedanya.
Eh sebentar?sebenarnya hal itu juga tak beda-beda amat kan, Don? Apa karena dia seorang muslim yang haji tapi memimpin sebuah asosiasi alumni sekolah katolik? Wajar, kan? Bukankah kita ini Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan pemeluk agama-agama?
Betul, tapi dalam suasana yang sedang gaduh oleh beberapa kasus terkait isu SARA yang menyeruak belakangan, hal ini justru jadi beda, jadi penyejuk.
Ironis sebenarnya karena melihat sesuatu yang biasa jadi tampak luar biasa itu pertanda kita sebenarnya tidak berada di jalur yang biasa lagi.
Aku pribadi mengenal beliau. Mas Datuk, begitu aku memanggilnya karena beliau adalah kakak angkatan di SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Walau jarak kelulusan kami cukup jauh, aku lulus tahun 1996 dan beliau lulus tahun 1973, tapi jauh dekat, di De Britto, semua dilibas dengan sebutan ?Mas?.
Bahkan sebelum menjabat di AAJI, Mas Datuk juga menjabat sebagai Presiden Alumni SMA Kolese De Britto hingga dua periode.
Tadi pagi tiba-tiba terbesit dalam benak, aku ingin mewawancarainya.
Bukan sebagai upaya untuk meng-counter banyaknya berita-berita bernada negatif dan penuh intrik perpecahan di social media. Tapi lebih pada, sekali lagi, menghadirkan sesuatu yang sejatinya biasa tapi karena kita berada dalam kondisi yang luar biasa, hal-hal lumrah seperti ini jadi tampak luar biasa.
Tulisan ini juga kuhadirkan sebagai tawaran baik bahwa andai saja ada seratus orang seperti Mas Datuk di sekitar kita, atau andai kita bisa menyerap hal-hal baik darinya untuk dijalankan dalam hidup yang kian majemuk ini, barangkali kehidupan berbhineka di Tanah Air bisa semakin baik.
Simak petikannya berikut ini?
Mas Datuk, Anda berkiprah aktif dalam organisasi-organisasi alumni yang berasal dari lembaga pendidikan Katolik padahal Anda muslim. Apa Anda nggak merasa risih?
Pasti tidak! Persahabatan dan silaturahim yang terjalin malah sangat natural karena saya sejak TK sampai SMA mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah Katolik dan terus menjalin persahabatan/silahturahim dengan seluruh rekan-rekan se-alumni hingga sekarang.
Anda sangat membumi dan seolah malah mensyukuri akan adanya perbedaan. Kok bisa seperti itu bagaimana, Mas?
Semua berasal dari lingkungan keluarga.
Alhamdulillah, saya di besarkan dalam lingkungan keluarga yang beragama dengan baik.
Alhamdulillah, orangtua menyekolahkan saya ke sekolah-sekolah yang mampu memberikan pendidikan dengan baik secara akademis dan kerohanian/moral.
Saya memiliki orangtua yang sangat open mind dalam bergaul tapi kuat dalam berkaidah.
Beliau berani menyekolahkan saya sejak TK sampai di SMA di sekolah kafir tanpa khawatir saya akan menjadi kafir.
Waktu SD, kalau saya di rumah disuruh berdoa maka saya berdoa Bapa Kami dan orang tua saya tertawa terbahak-bahak tanpa marah, lalu dengan teduh mereka mengajari saya yang seharusnya.
Mereka juga tidak keberatan saya mengikuti perayaan misa bersama rekan se-sekolah di gereja, tetapi mereka melarang saya dengan tegas waktu saya ingin ke gereja di hari Minggu dengan memberikan sebab-sebabnya.
Oh ya? Kenapa bisa begitu?
Mereka memberi tahu bahwa ketika saya harus ikut perayaan misa bersama rekan se-sekolah, itu adalah bagian dari kegiatan sekolah yang wajib untuk saya ikuti. Sementara kalau saya ikut perayaan misa pada hari minggu, itu adalah kegiatan rohani orang lain yang harus dihormati.
Orang tua saya bilang bahwa kalau saya mau beribadah ya pergilah ke mesjid karena di sana tempat kami semua satu keluarga beribadah.
Di saat yang bersamaan saya melihat bagaimana cara orangtua bergaul dengan sangat intens di masyarakat Katolik Yogya dan masyarakat NU (Nahdlatul Ulama) di Yogya. Sehingga sejak kecil saya ter-ekspose kepada pergaulan yang sangat beragam dan dari sinilah terasah rasa kesatuan dan kebangsaan dan kebhinekaan di dalam hati dan diri saya.
Melihat kondisi terkini terkait maraknya isu SARA semisal kasus penistaan agama, bom molotov ke gereja dan masalah-masalah lainnya, Mas Datuk punya satu pandangan nggak kenapa hal itu bisa terjadi?
Sederhana saja, semuanya diledakkan karena faktor ekonomi, iri dan politik yang dimainkan dengan isu SARA. Kenapa SARA, karena isu ini amat gampang untuk memobilisir massa.
Lalu kalau dalam tataran solusi, bagaimana cara menghindari hal seperti ini terjadi ke depannya, Mas?
Rekatkan rasa kehidupan berbangsa dan bernegara, atasi kesenjangan dalam segala hal. Apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam hal membuka akses pembangunan infrastruktur di seluruh Nusantara itu sudah sangat bagus dan bisa jadi salah satu cara ampuh untuk mengatasi soal kesenjangan ini.
Rasa saling pengertian percaya di masyarakat juga harus dibangun dan semua jalur komunikasi harus lancar.
Buat kerjasama kegiatan-kegiatan sosial dan ekspose besar-besaran sehingga masyarakat bisa mendapatkan pesan yang positif, pesan bahwa kita itu SATU tanpa sekat apapun juga.
Mas Datuk, pertanyaan selanjutnya, menurut Anda yang sudah kaya pengalaman dengan hidup dan srawung?dalam keragaman, bagaimana sih tips untuk tetap beragama dengan baik tapi tetap peduli pada kebhinekaan di Indonesia ?
Open mind. Kita harus terbuka terhadap semua pihak. Hal ini bisa dibangun karena adanya rasa saling percaya sehingga silaturahmi menjadi sangat penting perannya di sini.
Dari pengalaman bersekolah di sekolah yesuit, hal yang paling mengesankan apa?
Saya sangat beruntung bersekolah di tempat yang sangat disiplin sekaligus open mind, sehingga pertumbuhan kerohanian dan moral saya malah terjaga, lebih kokoh dan mapan.
Hingga saat ini bahkan saya memegang kunci universal dalam hidup yaitu man for others dan AMDG. (AMDG adalah semboyan Yesuit, kependekan dari Ad Maiorem Dei Gloriam, semua demi kemuliaan Allah yang lebih besar). Saya mengartikannya sebagai, apapun yang aku lakukan adalah sedekahku bagi sesama untuk ketaatanku kepada Allah.
0 Komentar