Damai itu, di tahap yang paling minimal adalah ketika ada dua orang yang tidak saling menganggu meskipun persaoalan di antaranya belum mencapai titik terang penyelesaian.
Seperti Mas Parto dan Pak Ruswa, tetanggaku di kampung dulu.
Sekian lama mereka berbeda pendapat tentang satu hal. Perbedaan itu membuat keduanya terlibat perang dingin; tidak saling tegur sapa untuk sekian lama.
Tapi ketika keduanya datang di acara kumpul-kumpul sore hari yang diadakan di perempatan jalan kampung, mereka datang dan tidak saling menghindar. Tetap tak saling bicara satu sama lain tapi yang penting mereka ada di sana dan tidak saling mengganggu.

Orang-orang sekampung tahu mereka berdua berbeda pendapat dan saling tak tegur sapa. Tak jarang dalam perjumpaan-perjumpaan ada saja yang berusaha mengakurkan dengan cara-cara jenaka.
“Lho Dhe, jare Pak Ruswa, kowe wingi bar tuku pit jengki anyar?” tanya Mas Drajat tetangga yang lain suatu ketika.
Sambil melengos, Mas Parto menjawab, “Jare sapa, Jat! Ra bener kuwi, takono karo sing ngandhani, oleh kabar seka ngendi?”
Lalu Pak Ruswo menjawab, “Ealah, Jat, Jat! Mbok ra sah diandhakke wong tanggaku kuwi lagi ora srawung karo aku…”
Tawa pun pecah sementara Mas Parto dan Pak Ruswo ya cuma cengar-cengir dengan tetap membuang muka satu sama lain.
Prinsipku dalam berdamai pun begitu. Atau kalau mau dibalik, prinsipku dalam berbeda pendapat adalah seperti itu.
Pendapat tak harus sama dan dipaksa menjadi sama kalau punya kita memang berbeda. Tapi damai dalam arti tidak saling menganggu haruslah diutamakan di atas segala perbedaan yang ada. Hal ini kadang tak bisa dimengerti orang-orang bahkan mereka yang mengaku orang kota bukan orang kampung.
“Don, katanya kamu musuhan, kok kamu kemarin ada di foto dimana dia juga ada?”
“Udah damai ya, katanya kemarin kamu telpon dia, kan?”
Atau yang barusan, “Wah, jiwa santo-mu tampak ketika kamu mau menyapa dia saat sedang berduka!”
Hahaha, kenapa kalian jadi sekaku itu dalam berseteru dan berdamai sih?
Aku jadi ingat apa yang dikatakan Xanana Gusmao, presiden pertama Timor Leste kepada Najwa Shihab dalam video unggahan NarasiTV di Youtube baru-baru ini.
Xanana bercerita bahwa pernah satu waktu, saat sedang bergerilya melawan Indonesia, ada seorang tentara Indonesia yang tertembak dan terluka. Segera setelah ditangkap, Xanana dan kawan-kawan yang adalah musuh Indonesia, menolong jiwa si tentara tersebut. Karena tak ada dokter, ia pun berusaha menjadi ‘dokter’ yang baik untuk si tentara.
Najwa bertanya, “Jadi Pak Xanana menolong tentara Indonesia? Padahal dia kan musuh?”
Lalu Xanana menjawab, “Bukan! Dia bukan musuh! Musuh adalah ketika ia memegang senjata dan berhadapan dengan kami yang juga bersenjata. Tapi ketika ia sudah terluka dan tanpa senjata alias menyerah, ia adalah manusia, sama dengan kita!”
Dalam berbeda pendapat pun juga demikian.
Orang yang berbeda pendapat denganku bukanlah musuhku. Ia adalah manusia sama sepertiku.
Meskipun ia memusuhi pendapatku dan aku memusuhi pendapatnya, ketika ia sedang tak mengemukakan pendapat, aku tetap harus menghargainya sebagai manusia. Toh yang menjadikan musuh hanya karena pendapatnya.
Perkara dia yang tetap tak menghargaiku sebagai manusia terlepas dari permusuhan pendapat yang ada, itu lain perkara. Itu urusan dia dengan pemikirannya sendiri karena bagiku, aku tetap ingin menjaga serendah dan setinggi apapun martabatku sebagai manusia.
Saya juga sedang mengurangi intensitas pertemanan dengan seseorang sekarang. Pengurangan intensitas ini sudah berjalan 2 tahun.
Situasinya mirip Pak Parto dan Pak Ruswo di atas.
Mengurangi intensitas ini ternyata membuat kami lebih akur karena tidak perlu saling bertemu apalagi bertegur sapa.
Banyak orang yang berbeda pendapat, terkadang terjadi gesekan lebih. Maka tidak berbicara satu sama lain disebutnya tindakan sinis.
Seharusnya , tidak mereka tidak saling sinis, tapi hanya berbeda pendapat.