Cium Tangan

25 Mar 2021 | Cetusan

Dulu sebenarnya aku tak terlalu suka pada tradisi cium tangan. Bukan kebarat-baratan, bukan pula karena tidak tau cara menghormati orang yang dituakan. Lebih pada alasan risih. Di keluarga asal, Papa Mamaku dulu memang tidak terlalu menyertakan interaksi fisik dalam komunikasi sehari-hari. Komunikasi dan interaksi bagi kami lebih hangat melalui percakapan dan tindakan.

Cium tangan? Risih!

Dalam setahun, aku cium tangan orang hanya sekali kesempatan, saat berkunjung ke rumah Eyang dari pihak Papa di Blitar. Itupun, sejujurnya, tak kulakukan sepenuh hati… ya karena risih, tak terbiasa.

Tapi pada akhirnya kesadaranku akan tradisi cium tangan berubah 180 derajat melalui cara ‘unik’. Jadi waktu itu aku sedang getol-getolnya mendalami Katolik. Dalam tradisi Katolik, dikenal istilah baciamo yang artinya  mencium cincin episkopal yang dikenakan uskup, termasuk Paus yang adalah Uskup Kota Roma.

Sesudahnya, setiap bertemu uskup, aku selalu mengambil kesempatan untuk meraih tangannya dan mencium cincinnya. Dari setiap mencium cincin, aku merasakan sensasi ‘ketaatan’ dan ‘bakti’ yang ternyata begitu indah dan dalam.

Sensasi ‘menghormati’

Hal ini lantas melebar kepada orang-orang yang kuanggap kutuakan dan kuhormati meski mereka bukan uskup tentu saja. Setiap mencium tangan, aku merasakan bagaimana sensasi menghormati lebih dalam lagi. 

Untuk pertama kalinya aku mencium tangan kedua orang tuaku adalah saat akhirnya aku menyelesaikan kuliah yang mangkrak berlarut-larut pada September 2008. Waktu itu, setelah diwisuda, aku mendatangi kedua orang tuaku lalu mencium tangan mereka. Prosesi itu kuanggap sebagai penutup atas kewajiban mereka menyekolahkanku sejak kecil. 

Masih di tahun 2008, dua bulan sesudahnya, aku kembali mencium tangan kedua orang tuaku saat hendak menikah lalu pamit pindah ke Sydney, Australia. Di titik itu, cium tangan kuanggap sebagai permohonan doa restu sekaligus pamit untuk menjadi pria mandiri bersama keluarganya sendiri.

Sesudahnya, setiap pulang ke Tanah Air hingga Papa meninggal tahun 2011 dan Mama berpulang pada 2016, aku selalu mencium tangan mereka.

Tak hanya orang tua, para guru, pakdhe, budhe, om dan tante, setiap kali bertemu selalu kucium tangannya sebagai tanda hormat terlebih setelah kedua orang tuaku meninggal dunia.

Cium tangan: skeptikal?

Bagaimana dengan kalian?

Apakah kalian juga setuju dengan tradisi cium tangan sepertiku? Atau jangan-jangan masih kontra dan makin skeptikal?

Oh ya, foto di bawah hanya sebagai ilustrasi saja.

Sebarluaskan!

3 Komentar

  1. Seumur hidup sepertinya mencium tangan bapak dan ibu ya sekali-kalinya sewaktu upacara pernikahanku.
    Somehow walaupun orang tua mendapat pendidikan ala Jawa (Tengah) yang keras, tetapi itu tidak diturunkan ke aku dan adik-adikku. Menghormati orang tu atetap nomer satu tetapi tidak sampai mencium tangan, cium tangan hanya di saat-saat yang sakral saja. Bahkan hingga bertemu eyangpun kami jarang untuk mencium tangan almarhumah.

    Balas
  2. Mungkin beda budaya. Masyarakat dimana saya dibesarkan tidak ada tradisi cium tangan. Bahkan kepada orang tua sekalipun. Selama orang tua saya hidup saya tidak pernah cium tangan Beliau-Beliau. Begitupun kepada guru. Salaman, ya, jabat tangan saja.

    Masyarakat Minangkabau dimana saya dibesarkan itu memang egaliter. Sampai saya meninggalkan ranah tacinto tahun 1995 tidak ada tradisi cium tangan kepada orang tua. Entah sekarang.

    Balas
    • Wah baru tahu saya kalau tradisi Minang tidak mengenal cium tangan… makasi infonya

      Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.