Sejak keabadian memeluk karibku, Iwan Santoso, 10 Mei 2015 silam, satu hal yang kutanamkan dalam hati adalah, andai diberi perpanjangan umur, aku ingin sekali menemui Mama, adik dan Papanya sekadar ingin memeluk dan meringankan dukanya, sebisaku, semampuku.
Dan? Tuhan meluluskan permintaanku itu.
11 Juni 2016, sehari sesudah mendarat di Indonesia, aku menemui mereka di sabtu sore yang lengas?
Ditemani AA Kunto A, sahabatku yang juga mengenal Iwan secara pribadi karena sama-sama lulusan SMA Kolese De Britto, aku pergi ke rumah orang tua Iwan di bilangan Srago, Klaten.
Aku sejatinya tak ingat betul yang mana tepat rumahnya, tapi Chitra, adikku, yang tempo hari pergi ke sana memberiku ancer-ancer.
?Pokoknya cari aja namanya Santoso Tailor. Ada tulisannya gitu, gede-gede??
Orang tua Iwan membuka toko kelontong yang sebelah-menyebelah dengan jasa menjahit berlabel Santoso Tailor.
Aku menyapa Ivo yang sore itu sedang sibuk di toko kelontongnya.
Kami memang janjian sejak beberapa bulan lalu bahwa aku ingin mampir ke rumahnya, silaturahmi sekalian, ?Pengen ngrasain masakan babi kecapnya Mamahmu, Vo! Dulu aku gak pernah kebagian kalau Iwan bawa jatahnya ke kantor hahaha??
Aku memang tak sungkan meminta demikian, bukannya sok dekat, tapi memang secara jiwa, aku kenal dengan Tante dan Iwan sejak lama, sejak awal 1980an saat aku dan Iwan serta Ivo kami bersekolah di TK yang sama, TK Maria Assumpta.
Ivo lantas memanggil Mamanya sementara aku dipersilakan masuk oleh Om Parno yang menjabat tanganku erat-erat.
Di detik Tante keluar dari pintu ber-gorden itulah segala pertaruhanku dimulai tapi sekaligus runtuh luruh dalam sekejap.
Sejak memberikan pelatihan di Maria Assumpta beberapa jam sebelumnya aku sudah bilang ke Kunto bahwa menahan air mata ketika bertemu dengan keluarganya Iwan adalah usaha yang tak gampang!
Dan benar saja.
Ketika Tante menyalamiku, aku melihat matanya sebak, air matanya seperti tinggal menunggu aba-aba untuk ditumpahkan.
Aku tahu diri, ini tugasku untuk menuntaskannya dan melegakan Tante.
Kubuka tanganku dan tanpa sungkan kupeluk Tante erat. Kami, tak hanya Tante, melampiaskan tangis untuk beberapa lama?
Aku mengenang sahabatku, ia mengenang anaknya…
Sesaat hening meraja? Waktu seperti terhenti atau setidaknya tak mau beranjak pergi ke detik berikutnya hingga Tante menyodorkan album foto besar kepadaku.
?Ini album fotonya Iwan, Don!?
Karena jarak, aku tak datang ke acara perkabungan Iwan dan aku tahu album foto itu merekam kejadiannya.
Aku memutuskan untuk tak mau menerima album itu.
?Nggak, Tante?? Aku menggeleng. ?Aku mau lihat foto Iwan waktu dia masih hidup saja??
Ia lantas memberikan album foto yang satu lagi, lebih kecil tapi lebih tebal berisi semua pose Iwan di berbagai lokasi. Beberapa aku pernah lihat di laman facebooknya, beberapa lagi kulihat juga di laman facebook Vivi, kekasihnya, yang juga sahabatku sejak lama.
Berbagai macam cerita tentang Iwan bergulir dalam pembicaraan kami. Kadang mengalun lancar, kadang tersendat karena isak dan ada pula yang tak berhasil dilanjutkan untuk dituntaskan karena terlampau perih untuk mengingat sahabat yang pulang terlalu ?pagi? untuk orang sebaik Iwan.
Atas dasar rasa hormatku kepada keluarga besar Iwan dan kepada Iwan sendiri, aku memutuskan untuk tak merilis detail cerita demi cerita itu di sini. Biarlah segala apa yang baru kutahu saat itu tentang Iwan dan tentang orang-orang disekitarnya menjadi kenangan atas dirinya untuk selamanya.
Tapi kalaupun ada beberapa benang merah yang hendak kutulis di sini, hal ini semata sebagai wujud pengayaan batin untuk diriku dan semoga untuk kalian semua bahwa berbahagialah kita ketika diperhatikan dan dicintai teman dan sahabat!
Nyaris tiga puluh dua tahun aku mengenal Iwan hingga akhirnya ia pergi, tak sekalipun aku pernah mengerti bahwa ia adalah sosok yang begitu memperhatikan sahabat-sahabatnya termasuk aku.
Di balik sosoknya yang dingin nan tegas, aku tak menyangka Iwan begitu peduli padaku. Setiap perjumpaannya denganku dulu, hal itu ia ceritakan kepada Tante dan setiap Tante mengatakan itu kepadaku, pikiranku mau-tak-mau mengulas kembali ke peristiwa demi peristiwa yang diceritakannya?
Mulai dari bagaimana dulu aku membuat keputusan radikal untuk keluar dari perusahaan yang sama-sama kami bangun selama delapan tahun untuk pindah ke Australia, 2008 silam, hingga soal bagaimana aku menolak halus tawarannya untukku menginap di rumahnya di Kalasan saat aku pulang Maret 2015 silam karena Mama dalam kondisi kritis.
Aku merasa begitu diperhatikan meski untuk tahu hal itu, sudah sangat terlambat untukku berterima kasih karena Iwan telah tiada.
Waktu bergulir mendekat ke pukul lima sore, matahari semakin bergeser ke barat dan aku pamit pulang.
Sebelum pulang aku mengundang Tante, Om dan Ivo untuk datang dalam acara peringatan 100 hari meninggalnya Mama keesokan harinya.
?Tante, Om dan Ivo datang saya pasti senang dan Mama juga? Gimanapun juga yang bikin Mama tampak cantik waktu meninggal itu ya karena make-up-annya Tante dan Ivo..?
Almarhumah Mama memang mengenal Tante sejak aku, Iwan dan Ivo sama-sama TK. Meski tak terlalu dekat jaraknya, hitungan rumah kami pun masih bisa dibilang tetangga desa.
Tak ada pertemuan yang bisa tuntas sebelum berfoto bersama maka aku meminta tolong Kunto untuk memotret kami berempat.
Tapi sebelum dijepret, ujug-ujug Tante masuk ke dalam rumah mengambil selembar foto Iwan berukuran besar dan mengajaknya berfoto bersamaku.
Buah tangan yang kunanti-nantikan, masakan babi kecap, tak lupa kubawa. Aku bersalaman dengan Tante dan memeluknya erat, kali ini tanpa air mata yang mungkin sudah tandas hingga ke dasar-dasarnya.
Sepanjang perjalanan ke Jogja bersama Kunto, pikiranku tak bisa lepas dari Iwan dan keluarganya. Melewati perempatan jalan yang menuju rumahnya ke Kalasan, warung angkringan yang jadi tempat makan malam terakhirku bersamanya tahun silam…
Pertemuan sore itu benar-benar menghangatkan hati.?Aku, yang seharusnya turun di Ambarrukmo Plasa untuk mengejar jam tayang film Ada Apa Dengan Cinta 2 karena hari itu adalah hari terakhir ia dipertontonkan, memutuskan untuk membatalkan niatan itu dan menurut pada Kunto kemana saja ia hendak membawaku sore itu.
?Loh, ora sido, Don??
?Hehehe.. Ora wae?? mataku menerawang…
?Lha kenapa? Gak papa, kamu kuantar nanti kutungguin trus malamnya kita makan bareng Teddy..?
Aku menggeleng?. Aku sudah merasakan begitu banyak dipenuhi cinta sore itu dari Tante, Ivo dan Om jadi yang tak luntur dan tak akan berkesudahan meski lebih dari empat belas purnama sekalipun jadi untuk apa menambahkan cinta imajiner dari tokoh fiktif bernama Rangga dan Cinta?
Sementara itu senja memerah di Jogja,matahari lindap di peraduan barat meninggalkan kelam di sekujur langit…
Makasih yah Don.. Makasih banget.. ????????????????
Sama-sama, Vi… Makasih juga sudah menjaga sahabatku di tahun-tahun belakangan dalam hidupnya…