Seminggu lalu ada seorang kawan bertanya, “Apakah cinta harus disertai baper (bawa perasaan) dan apakah semua yang baper itu pasti cinta?”
Aku gak menemukan jawaban tapi penggal pengalaman yang barangkali bisa kalian jadikan acuan.
Jadi ceritanya minggu lalu aku pergi belanja kebutuhan mingguan di sebuah pusat perbelanjaan dekat rumah. DI sudut gedung aku menemukan sebuah papan portable berisi tempelan potongan-potongan kertas seperti tampak di bawah ini.
Perasaan tiba-tiba membiru, lidah nan kelu dan mataku sebak berkaca.
Kenapa jadi baper gini? gumamku.
Padahal ini sesuatu yang jamak karena di negara ini utamanya menjelang hari-hari istimewa seperti Natal, Paskah, Hari Ibu maupun perayaan Hari Ayah, pihak pusat perbelanjaan menyediakan waktu dan tempat serta material untuk dimanfaatkan seperti ini… tapi ya tetep aja nggak se-baper ini!
Apa mungkin karena si kecil bangsat bernama Covid-19 yang terlalu jago mereplika diri di tubuh mamalia yang mengobrak-abrik hidup lantas membuat kita.. eh aku gampang memeras air mata?
Apa karena ada begitu banyak pembatasan yang membuat nggak nyaman dan cinta yang wujudnya sama datang dalam sepotong kertas penuh oret-oretan lalu rasanya jadi beda?
Soal rasa yang beda tapi wujudnya sama aku jadi teringat soal segelas cokelat yang disajikan hangat-hangat. Dua puluh lima tahun lalu, setiap menyeduh di sebuah kamar kost kecil di Jogja rasanya biasa aja. Enak? Ya enak tapi biasa…
Tapi ketika membelinya di warung burjo dekat De Britto, rasanya enak tapi enaknya beda… mungkin yang bikin udah profesional.
Beda lagi cerita seorang ‘kawan’ yang hendak kuceritakan.
Demi menyambangi mbak pacar yang tinggal di sisi barat daya Kota Budaya, kawan tadi rela kehujanan mengendarai sepeda motor Grand 93 bututnya di tengah hujan lebat dengan petir menyambar dan angin yang sembribit!
Sesampainya di rumah calon mertuanya yang akhirnya berhasil dijadikannya sebagai mantan calon mertua, ia disambut mbak pacar dengan penuh cinta. Rambut basah karena hujan pun diuwel-uwel mbak pacar dengan handuk, sebuah baju dan celana ganti disediakan dan di atas meja sudah ada segelas cokelat hangat ditemani sekompi kudapan pisang goreng, roti bolu… setoples emping.
Lain hari, waktu kutanya rasa segelas cokelat hangatnya gimana, kawan tadi menjawab, “Wah, enaknya beda banget! Mungkin karena abis kehujanan…atau mung”
Aku memangkasnya, “Atau mungkin karena yang bikin seorang profesional dalam urusan cinta dan kamu jatuh ke dalamnya!”
Terima kasih pandemik, rasa cintanya jadi beda banget, mungkin karena pembatasan!
0 Komentar