Celana pendek dan kepatutan

23 Nov 2015 | Cetusan

Musim panas telah (tepatnya hampir) tiba di Australia dan belahan bumi bagian selatan Katulistiwa lainnya.

Australia yang memiliki padang gurun pasir yang luas, pada saat-saat tertentu di musim panas, suhu bisa membubung tinggi. Tahun 2013 silam, aku menjadi saksi mengalami suhu terpanas yang pernah dialami Sydney dalam hampir seratus tahun terakhir. Saat itu, suhu di sini mencapai 46 derajat celcius! (Baca tulisan lawas tentang kejadian ini di sini)

Bahkan saat tulisan ini kurawi, sekitar sepuluh hari menjelang musim panas, suhu membubung hingga 42 derajat celcius dan tercatat sebagai suhu tertinggi di bulan november dalam 33 tahun terakhir!

Mengingat suhu udara yang sangat ekstrim, beberapa perusahaan mengijinkan para karyawannya untuk bercelana pendek saat bekerja, dan aku termasuk yang beruntung karena aku juga diperbolehkan.

Tapi pernah dulu, di perusahaan sebelum yang sekarang, atasanku memperingatkan untuk tak terlalu sering mengenakan celana pendek karena kedua sisi luar kakiku yang bertattoo.

?Aku nggak mau kamu ketemu klien dengan menunjukkan tattoo seperti itu!?

Statement itu kusanggah.
Bagiku ini sudah masuk ke diskriminasi. ?Kenapa? Ada yang salah dengan tattoo? Bagaimana pula dengan mereka yang bercelana pendek tapi berbulu kaki lebat? Apa mereka tak harus mencukur bulu lebatnya??

Debat itu berkepanjangan meski akhirnya aku menang. Aku, seperti halnya pegawai lain dibebaskan untuk bercelana pendek.

Tapi kemenangan yang sudah kuperkirakan itu membuatku tak tenang. Menurutku ada hal yang jauh lebih penting dari menang-kalah yaitu norma kepatutan. Meski menang, patutkah aku bercelana pendek dengan kaki penuh tattoo saat bertemu klien?

Bagaimana kalau klienku adalah salah satu dari mereka yang tidak suka dan berasosiai negatif soal tattoo? Mereka mungkin tak mau mengungkapkan ketidaksukaannya (mungkin karena takut terkena pasal diskriminasi) tapi bagaimana kalau ia lantas menggunakan alasan ketidaksukaannya itu sebagai alasan untuk tak berbisnis lagi denganku?

Mungkinkah? Mungkin!
Hati orang kan lebih misterius ketimbang dasar samudra, siapa tahu?

Hal itu kemudian membuatku berpikir lalu memutuskan untuk tak bercelana pendek saat ada janjian meeting dengan klien.

DJANGAN DITIROE!

DJANGAN DITIROE!

Tapi jaman sudah modern, Don! Sergey Brin dan alm. Bob Sadino aja cuek??Ya, semodern-modernnya jaman, kita nggak bisa menjamin bahwa semua manusia di muka bumi ini sudah sama-sama modern. Lagipula bercelana pendek atau tidak itu tidak terkait dengan modern-tidak modern-nya sebuah jaman.

Jangan pula membandingkan dengan Sergey dan alm. Bob lah. Kelasnya jelas jauh beda.?Mereka berada pada posisi bahwa orang-orang lah yang mengerumuni dan membutuhkan dia sedangkan aku masih perlu mengerumuni orang lain untuk membuat dapur di rumah tak berhenti mengepul!

Bagaimana pandanganmu tentang budaya celana pendek terkait dengan profesionalisme serta kepatutan?

Sanggupkah kamu membayangkan suatu saat nanti pegawai bank melayanimu dengan celana pendek dan singlet? Atau mau berapa abad lagi sampai foto formal presiden kita dalam poser bercelana pendek dan kaos polos serta menanggalkan jas serta peci?

Sebarluaskan!

2 Komentar

  1. Sah-sah saja bekerja dengan celana pendek. Tapi untuk bertemu client yang notabene yang memberikan job buat perusahaan rasanya kurang pas. Kecuali client-nya juga datang dengan celana pendek gak apa kali ditemui kita memakai celana pendek.

    Enak kerja di negara merdeka bebas menunjukkan argumen. Coba kalo di Indonesia berdebat dengan bos bisa mendatangkan masalah, :)

    Balas
  2. Celana pendek jika untuk acara resmi atau formal memang kurang patut. Terasa kurang sopan, merasa tidak menghargai tamu. Wah bulu kakiku harus aku cukur dulu nih, biar mulus full.
    Disini sudah memasuku musim hujan.

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.