Celak…

11 Mar 2013 | Cetusan, Indonesia

Aku pernah punya kawan meski tak terlampau dekat, Al namanya.

Aku mengenalnya sebagai kawan waktu SMP dulu. Tutur katanya halus, pilihan kata yang ia pakai memukau, barangkali kalau kalian bicara dengannya tanpa bertemu langsung, lewat telepon misalnya, kalian tak kan menyangka bahwa ia baru SMP kelas 3. Si Al ini siswa teladan. Nilainya tak pernah berkutat di bawah 8, selalu 9 dan 10, hal yang membuatnya selalu menduduki rangking 1 sejak kelas 1.

Wajahnya sebenarnya tak terlalu tampan tapi kerapiannya yang ‘tak umum’ malah membuat ia menonjol. Di tengah anak lainnya memilih untuk mengenakan kemeja yang tak dimasukkan ke pinggang celana, memotong rambutnya dengan sedikit awut-awutan bersepatu basket dan celana gombrong ala 90an, Al memilih potongan rambut yang simple dan diminyaki, berkacamata, kemeja yang selalu dimasukkan dan celana sesuai aturan serta sepatu pantofel hitam.

Keberadaannya yang kalem bagai lautan teduh ini membuat luluh hati para guru meski sayangnya tak banyak cewek yang suka kepadanya. Aku bisa meyakinkan itu karena salah beberapa dari para cewek itu kutanya tentang Al, komentarnya kebanyakan, “Al itu tampak tua dan serius, pacaran pasti ngga seru dengannya!” aku hanya senyum sinis, dalam hati aku membenarkannya hahaha.

Hal itu pula yang selalu kupikirkan ketika akhirnya terhembus kabar ia berpacaran dengan Astuti, cewek yang kalau kubilang adalah Al versi ceweknya karena meski manis tapi ia nerd dan tipe rambutnya.. ouch.. bikin ilfil! Masa tahun 90an masih pake model rambut dikepang dua seperti layaknya kita hidup di jaman revolusi kemerdekaan sih?

Aku kadang tak bisa membayangkan bagaimana mereka berpacaran. “Barangkali mereka bertemu saling diam, baca buku lalu berciuman setelah sebelumnya berdoa lalu sudah!” tukas seorang kawanku seolah menjadikan Al dan Astuti bahan olokannya.

Bagai celak yang dibubuhkan di sekitar mata, kesantunan akan memoles orang untuk kelihatan lebih baik dari aslinya!

Tapi ternyata kami salah semua. Guyonan kami adalah sesuatu yang berjarak bumi dan langit dengan kenyataannya.

Suatu waktu tak jauh dari pelaksanaan EBTA/EBTANAS, pada sebuah siang aku dikejutkan dengan pengumuman guru BP/BK di muka kelas. Si Al mengundurkan diri dari kelas dengan alasan pindah domisili ke kota lain mengikuti orang tuanya bertugas. Sesuatu yang jamak terjadi waktu itu, tapi yang membuat sedikit agak tidak umum adalah waktu pengunduran dirinya yang begitu mepet ke pelaksanaan ujian, paras murung guru BP/BK yang mengumumkan kepindahannya dan… oh, kenapa si Astuti kok juga tak tampak kelihatan siang itu?

Adapun Astuti akhir-akhir ini memang jarang masuk sekolah karena sakit. Kalau tak salah dalam sebulanan terakhir, ia tak terlalu stabil kesehatannya. Kadang ia masuk hanya dua jam, sisanya tiduran di UKS hingga usai jam sekolah. Pernah juga suatu waktu ia tak masuk sekolah nyaris seminggu alasannya harus mondok di rumah sakit, dan yang sebenarnya aku ogah bercerita karena menjijikkan, suatu waktu tak ada angin dan tiada badai, di tengah hening para murid menyimak pelajaran yang dibawakan guru, tiba-tiba Astuti terbatuk-batuk sebentar lalu muntah di mejanya. Semua jadi berantakan terkena muntahan baunya meruap kesana-kemari, yurkk!

“Astuti ikut pindah?” Bisikku pada Ratri, kawan dekat Astuti, di sela-sela penjelasan guru BP/BK tentang kepindahan Al. Ratri menggeleng, “Ia tetap di sini tapi mungkin ia tak ikut EBTA/EBTANAS!” Aku terkesiap, “Oh, kenapa?” Tiada jawab dari Ratri tentang kawan dekatnya yang gemar berkepang dua itu tapi aku membaui sesuatu yang tak semestinya.

* * *

Dua tahun lebih dari kejadian itu, aku telah pindah ke Jogja. Pusingan waktu yang berpilin cepat dan banyaknya kejadian lain yang terjadi meruapkan cerita Al dan Astuti dari permukaan otak sadarku. Suatu waktu ketika aku sedang berlibur kembali ke kota asalku, aku bertemu Al dan Astuti di warung nasi goreng kesukaanku.

Al yang sekarang ternyata beda jauh dengan yang dulu. Dandanannya tak lagi diperhatikan, kusam dan tampak jauh lebih tua dari yang semestinya!

“Al? Al!” sapaku.
“Hey, Don! Wah kamu gondrong beneran akhirnya! Jadi masuk De Britto?” ia menepuk lenganku.
“Oh, kupikir waktu itu kamu pindah kota kan, Al? Kok masih di sini? Liburan?” tanyaku.
“Eh.. iya, liburan. Aku memang pindah ke S, dan ini liburan saja.. Sama kan kayak kamu? Liburan juga?” Air mukanya begitu tenang tapi guliran bulatan matanya agak sedikit tampak ‘tergesa-gesa’.

Semenit berlalu lalu tiba-tiba dari balik tirai warung yang hendak kudatangi muncul sosok lain yang tak asing lagi, Astuti! Momen itu begitu mendebarkanku! Potongan-potongan cerita yang dulu tercecer dan sempat meruap tertelan waktu muncul kembali ke permukaan dan sisi-sisi potongannya seolah memintaku untuk digabungkan menjadi sebuah cerita yang utuh dan jelas.

“Loh, Astuti! Bisa barengan bertiga kita bertemu di sini!” sergahku. Astuti tersenyum, di belakangnya seorang anak barangkali berusia tiga tahun memanggil-manggil “Mama” ke Astuti. Aku semakin tak tenang.

Al membaca situasi itu dengan cerdas. Dengan tenang ia berkata, “Hmmm, kami menikah, Don! Dua tahun silam!”
“Kira-kira enam bulan setelah aku pindah, aku melamar Astuti lalu kuajak ia pindah!” sambungnya lagi dan aku masih terdiam, terheran.

Al lalu membungkuk, mengenalkan anaknya kepadaku, “Dicky, ini Om Donny… teman Papa!”
Aku yang waktu itu belum terlalu suka anak kecil pun hanya mengulurkan tangan dan berbasa-basi singkat, “Aih lucu sekali!” ujarku basa-basi. “Umur berapa kau Dicky?”

Ketika Dicky hendak menjawab, Astuti, ibunya, menimpali menjawab terburu-buru, “Dua tahun, Om!” Mata Astuti mengerling. Otakku menghitung, dua tahun adalah angka yang tepat untuk memberi jawab bahwa mereka nikah lalu hamil ‘baik-baik saja’. Aku melirik si Dicky sekali lagi dan ah, perasaanku, ia kalau benar berumur dua tahun, terlalu cerdas untuk bisa bertingkah seperti anak berumur lebih dari tiga tahun.

Dari kawan lainnya yang kukontak sesudah pertemuan itu, kudapatkan informasi bahwa Al dan Astuti yang santun yang selalu kubayangkan kalau pacaran pasti kalau nggak berdoa ya baca buku itu ternyata telah menikah sekitar dua minggu sebelum EBTA/EBTANAS SMP dulu, Dicky, anaknya lah alasan pernikahannya; ia keburu menjadi tunas di rahim ibunya, Astuti.

* * *

Hari-hari ini, ketika orang banyak bicara soal pentingnya menjadi seorang yang santun dalam berpolitik sekalipun, aku teringat pada kisah nyata kawanku Al dan Astuti tadi.

Keduanya, Al dan Astuti terkenal santun lagi pintar, betapa perpaduan yang indah, bukan? Tapi kesantunan tak meluputkan orang dari kesalahan sejak ia, kesantunan, hanyalah kesan dan bagaimana menimbulkan kesan dimata orang lain yang melihat dan merasakan. Bagai celak yang dibubuhkan di sekitar mata, kesantunan akan memoles orang untuk kelihatan lebih baik dari aslinya! Tapi ketika hujan tiba dan seorang bercelak itu lupa membawa payung, usia celak kesantunan hanya sebatas hitungan menit hingga ketika semuanya tersaput hujan; tertunjuklah wajah dan bentuk mata aslinya yang membuat kita bertanya-bertanya setebal apa ia tadi mengenakan celak di wajahnya?

Untuk Anas dan SBY serta beberapa orang yang tak bisa kusebutkan namanya tapi melintas di benak ketika aku berpikir untuk menuliskan hal ini…

Sebarluaskan!

14 Komentar

  1. Seharusnya pake celak yang waterproof biar ga “mbelobor” waktu kena ujan, hehehe.. Tapi ya gitu, berapa kalipun dikasih celak kalo emang aslinya elek yo pancet elek.
    Just like our goverment… *sighing*

    Balas
  2. well, don’t judge a book by its cover kan?
    Sama spt perbincangan kita pagi ini tentang dua teman kita….

    Well semoga saja aku terlihat seperti apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang…
    atau semoga lebih baik di belakang drpd yg tampil ya hehehe..

    Balas
  3. hahaha panjang lebar ceritanya jebule pengen ngomongin esbeye

    BTW mnrtku salah 1 penyakit social media adalah gak kuatnya tekanan terhadap penitraan yang dibuat sendiri, menarik sebetulnya untuk dibahas tp perlu fakta untuk mengungkapnya, sdkt byk mirip spt celak ini *komen agak OOT*

    Balas
  4. Kasihan Al dan Astuti, kisahnya dijadikan sebagai pengantar untuk menilai orang lain. Pembaca digiring untuk menilai Al dan Astuti itu buruk berdasar penilaian penulis terhadap SBY dan Anas.

    Balas
    • Tidak ada penilaian penulis terhadap SBY dan Anas :) Penulis hanya ingin menyampaikan tulisan ini untuk mereka berdua.

      Balas
      • Coba baca alenea terakhir, yang ditutup dengan: Untuk Anas dan SBY serta beberapa orang yang tak bisa kusebutkan namanya tapi melintas di benak ketika aku berpikir untuk menuliskan hal ini?.

        Alenea satu dengan lainnya saling terhubung, dengan kesimpulan: kesantunan itu bagai celak, yang dibubuhkan di sekitar mata, kesantunan akan memoles orang untuk kelihatan lebih baik dari aslinya.

        Pertanyaannya: Apakah Al dan Astuti seperti itu?

        Balas
        • Yup, setidaknya menurut penulis.

          Balas
  5. ada kejadian yang hampir sama dengan temen saya dengan cerita ini, hhehehehhe

    Balas
  6. temanku semasa SMP ada juga yang seperti Al dan Astuti itu. anak baik-baik kayaknya. tapi sebetulnya aku cukup bisa paham karena masa SMP kan masa puber. mungkin mereka nggak kepikir untuk pakai pengaman. LOL

    soal kesantunan, yah… begitulah. aku lebih suka dengan orang yang apa adanya.

    Balas
  7. iya, memang tampilan luar seseorang memang kadang membuat kita tertipu. Yang penting adalah aslinya dan kenyataannya. Bahkan kenyataan saja sulit juga untuk dipercaya… :) kata Ibuku.. orang itu aslinya baru diketahui kalau sudah mate….. :)

    Balas
  8. Untung Al nang ceritamu iki dudu Alfred :D

    Balas
    • Hmmm.. belum tentu.. Mau tau nama sebenarnya? :)

      Balas
  9. Hahaahh…. Doonnnn aku selalu sukaaa dengan tulisan seperti ini. Mudah2an kamu gak bosan dengan komentarku itu yang sudah entah berapa banyak di blog ini. LOL.

    Tapi memang benar, kesantunan itu bukan jaminan. Dan aku tak pernah jadi bagian dari yang namanya “mencoba santun”. Jadi ingat beberapa waktu lalu berita di detikcom mengenai pembunuhan perempuan muda di apt Jakarta. Saat lihat fotonya, sungguh santun, tapi kemudian kok diberitakan bahwa dia dibunuh oleh gigolonya. Aduh. Sungguh tak diduga. Sekianlah.

    Balas
  10. Wahaha sama, langsung terlintas nama “SBY” pas baca post ini :D

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.