Elodia, anak keduaku, kini sembilan bulan usianya, sedang lucu-lucunya, sedang badung-badungnya.
Orang bilang di usia segitu, anak memang biasanya sudah mulai menunjukkan kemauannya sendiri termasuk kemauan untuk tidak mau mengikuti kemauan orang tuanya kalau tak sekehendak hatinya.
Tiap kumasukkan ke car seat (tempat duduk khusus bayi di mobil) ketika hendak bepergian, Elodia berteriak berontak! Tubuhnya melenting, ditegangkan! Ia tahu, dengan menegangkan tubuhnya, aku akan kesulitan mendudukkan dan memasukkan tangan dan kakinya ke balik sabuk pengikat kursi. Padahal di Australia sini, demi mencegah hal-hal yang tak diinginkan, seorang anak ketika berada di dalam mobil harus ditempatkan di sebuah carseat, tak bisa tidak.
Mengelitik perut dan lehernya adalah senjataku untuk menaklukkannya. Kadang ia yang semula teriak mendadak tertawa kegelian sehingga ketegangannya lemah dan sret..sret..sret kumasukkan dengan mudah kaki dan tangannya.
Tapi tak selamanya demikian. Barangkali karena perut dan tubuhnya terlalu menegang, kelitikan jariku justru membuatnya kesakitan. Wah, kalau sudah begini, alih-alih mereda teriakannya, yang ada justru sebaliknya ia semakin meronta. Kalau sudah begini, terpaksa ia harus kuangkat, kutimang-timang sebentar baru kumasukkan lagi.
Perkaranya tak berhenti sampai di sini. Ketika sampai di tujuan; mengeluarkannya dari carseat pun kadang juga tak terlalu mudah untuk dilakukan. Ketika aku membuka pintu mobil dan mendekatkan tubuhku kepadanya, ia bisa menangis sejadi-jadinya dan sekali lagi tubuhnya ditegangkan.
Akibatnya, aku kesulitan mengeluarkan tangan dan kakinya dari balik sabuk pengikat. Barangkali ia mengira aku akan membawanya ke satu kesulitan dan ketidaknyamanan lain atau barangkali? ini barangkali, ia trauma dengan kelitikanku yang kadang membuatnya geli tapi tak jarang menyakitkan?
Kebodohan dan keterbatasan kita tak mampu membaca usaha baik itu sebagai upaya Tuhan untuk melindungi…
Dari situ aku belajar satu hal;
dalam relasi kita dengan Tuhan, niatan baikNya untuk menolong kita dari kesulitan terkadang justru kita baca sebagai sesuatu yang salah.
Katakanlah kita sedang ada di pinggiran jurang permasalahan dan tak ada cara lain untuk melanjutkan kehidupan selain harus melewatinya. Tuhan tahu guncangan-guncangan seperti apa yang akan kita hadapi, maka Ia lantas memasukkan kita ke dalam carseat sebelum Ia mengendalikan kemudi.
Kebodohan dan keterbatasan kita tak mampu membaca usaha baik itu sebagai upaya untuk melindungi; sebaliknya kita merasa terbelenggu dan dibatasi.
Kita meronta sejadi-jadinya padahal waktu terus berjalan sehingga cara-cara Tuhan untuk menaklukkan yang seharusnya tak menyakitkan justru jadi terasa sembilu karena perlawanan kita sendiri.
Ketika masalah terlewati dan kita hendak dikeluarkan dari ?carseat?, sekali lagi, kita berpikir Tuhan hendak membawa kita ke satu ketidaknyamanan yang lainnya. Maka sekali lagi pula kita melawan dan Tuhan perlu menundukkan kita dengan cara-cara yang sebenarnya menyenangkan tapi kita terlalu pongah; melawan sesuatu yang harusnya tak perlu dilawan karena tak kan bisa dan alhasil rugilah kita.
Orang meminta kita pasrah dalam hal-hal seperti itu, tapi aku lebih memaknainya sebagai kerja sama antara kita dan Tuhan…
Terlalu sering, kita sebagai makhluk berburuk sangka pada Nya
sepertinya demikian :)
setuju :)
padahal aku tadi berharap ada foto Elodia terpampang besar disini om :D Terserah mau foto marah, menangis, atau tertawa. #hiduppecintaanakkecil!
Analogi yang pas sekali mas, saya suka tulisan ini. Mungkin ini yang dimaksud dengan berpikir positif, dimana kita kadang berpikir negatif terhadap suatu nasib yang kita alami.