Ribuan karangan bunga yang dikirim ke Balaikota Jakarta kemarin semoga memang bisa semakin membesarkan hati Pak Ahok dan Pak Djarot serta keluarga mereka bahwa terlepas dari kekalahannya di Pilkada, apa yang telah mereka perbuat selama dua tahun belakangan bagi Jakarta memang menyenangkan setidaknya bagi 40 sekian persen warga ibukota.
Peristiwa kemarin mengingatkanku pada kejadian yang terjadi 21 tahun silam di Jogja, kepercayaandiriku pun terpupuk lewat sekuntum bunga.
Kalau sekarang ini kalian mengenalku sebagai pribadi yang matang, terbuka dan penuh percaya diri hingga kadang kesannya tak tahu malu, kalian mungkin tak percaya kalau kuberitahu bahwa dulunya aku ini adalah pribadi yang amat tertutup, mudah goyah dan tak punya kepercayaan diri sama sekali.
Sejak kecil aku menganggap fisikku memiliki banyak kekurangan sementara orang lain sempurna.
Jidatku lebar dan kepalaku besar sementara ukuran tubuhku kecil. Rambutku memerah dan tipis, kacamataku tebal sejak kelas 5 SD. Ada begitu banyak julukan disematkan kepadaku mengacu pada ‘ketimpangan’ fisikku itu. Cunong, Bathuk, Jidat, hingga Botol alias botak tolol, sesuatu yang sebenarnya agak missleading karena aku tak botak meski jidatku lebar, aku tak tolol karena sejak kecil otakku brilian!
Ketidakpercayaan diri itu menyiksaku. Aku hanya berani saat maju mengerjakan soal di depan kelas ataupun saat bernyanyi karena sejak SMP aku memang dikenal lumayan ‘jago’ nyanyi.
Waktu kawan-kawan SMPku mulai berani mendekati lawan jenis, aku masih mengendap-endap untuk sekadar melirik mereka yang manis-manis. Aku menciptakan jarak untuk mengaktualisasikan rasa sukaku karena aku tak percaya diri ketika harus dekat dan erat.
Pindah ke Jogja, masuk ke sekolah ternama, SMA Kolese De Britto tetap saja percaya diriku tak bertambah. Meski rambut sudah kupanjangkan supaya tampak lebih keren dan tertutup jidatku, meski model kacamata sudah mulai kusesuaikan dengan trend waktu itu dan meski aku sudah ikut band-band-an, percaya diri tak pernah lebih tinggi dari rumput di lapangan sepakbola SMA-ku.
Malah, naik kelas tiga, 1995, aku tertohok. Cintaku yang harusnya jadi cinta pertama yang ranum, kandas ditolak seorang wanita dengan alasan “Aku belum mau pacaran” padahal beberapa bulan sesudahnya ia jadian dengan kawan dekatku. Aku menerima kenyataan itu dengan seanjing-anjignya waktu itu.
Pertolongan Tuhan selalu tepat waktu.
Di Gereja St Antonius Kotabaru Yogyakarta, kumpulan muda-mudi katolik (mudika) nya mengadakan malam Valentine’s Day, 14 Februari 1996. Bersama kawan-kawan satu band aku diundang untuk tampil.
Empat lagu ada dalam daftar dan ketika pergantian lagu kedua, suara seorang wanita bersuara, “I’ll be there dong…” Ia minta kami menyanyikan I’ll be there for you-nya Bon Jovi yang ngetop dan memang seolah jadi lagu wajib Valentinan terlepas kamu jomblo atau bukan.
Karena kebetulan lagu itu ada dalam list kami segera memainkannya. Kelanjutannya mudah ditebak, hampir separuh lagu dinyanyikan tak hanya oleh Armi (vokalis, selanjunya dia jadi vokalis Crossbottom Band) tapi oleh seluruh penonton yang malam itu banyak datang dari sekolah-sekolah katolik di Jogja: SMA Kolese De Britto, SMA Stella Duce 1, SMA Stella Duce 2 dan SMA Santa Maria.
Yang tak mudah ditebak dan tak pernah kusangka sebelumnya adalah yang terjadi tepat setelah lagu itu selesai kami mainkan. Wanita yang tadi memintaku untuk menyanyikan I’ll Be There For You, ia maju ke depan membawa sekuntum bunga dan diberikannya kepadaku.
“Makasih ya…” sapanya.
Kawan-kawan menyorakiku. Kata mereka, orang yang memberi bunga tadi adalah ‘bunga’ dari salah satu sekolah itu. “Aku tak tahu!” jawabku sambil malu-malu meski sejatinya aku tahu.
Bunga itu kubawa pulang, kusimpan di atas meja belajar di asrama dan untuk beberapa lama hingga mengering ia berada di sana.
Sebenarnya aku tak peduli siapa yang memberi, se-bunga apa dirinya karena bunga yang ia berikan berarti lebih banyak, amat banyak bagiku.
Bunga itu adalah momentum perubahan besar dalam diriku. Momentum dimana aku merasa tak ‘kecil’ lagi. Momentum dimana aku merasa diperhatikan dan diberikan apresiasi oleh seorang asing/stranger yang memintaku untuk melakukan hal yang ia pinta.
Kepercayaan diri terpupuk ke titik yang lebih tinggi sejak malam itu. Aku merasa lebih bisa menerima kekurangan diri tak hanya soal bagaimana menggaet cewek (beberapa bulan kemudian akhirnya aku punya pacar!) tapi lebih dari itu, keberanianku untuk membawa diri kepada jenjang yang lebih tinggi membuatku diterima dan dianggap karena kemampuanku, talenta dan bakat, bukan melulu kekuranganku.
Jadi, pesanku pada kalian wahai pembaca setia blog ini… Jika ada orang di sekelilingmu yang merasa rendah diri, malu dan tak percaya diri sepertiku dulu, aku mohon dengan amat sangat, luangkan waktu dan ulurkan perhatianmu untuk memberikan apresiasi atas hal-hal yang mungkin terkesan kecil bagimu tapi siapa tahu hal itu adalah hal besar yang dinanti-nantikannya.
Tak melulu dan tak selalu harus dengan bunga. Kata-kata, senyuman bahkan pandangan teduh matamu pun sudah mampu memuliakan cinta baginya…
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan