Menyikapi gaduhnya berita tentang isu dwi kewarganegaraan mantan menteri ESDM, Arcandra Tahar?, membuatku tergelitik untuk menuliskan postingan ini.
Terlebih ketika arus informasi di social media terkait hal ini sudah bias kemana-mana hingga ke ranah emosional dari yang epik nan heroik semacam “Anak bangsa tidak diakui di negaranya sendiri!”, sentimen ke kelompok tertentu seperti “Sayangnya dia punya paspor Amerika. Gimana kalau paspor Turki?” hingga yang sok politis, “Jangan-jangan ia digeser karena permainan politik tingkat tinggi!”
Yang benar yang mana? Tak tahu, bahkan hingga detik ini isu utama tentang dwi kewarganegaraan Pak Arcandra itu sendiri belum jelas dan terkonfirmasi meski aku menemukan foto paspor yang diduga milik Pak Arcandra seperti?termuat di berita ini.
Menurutku, terlepas nanti akan terkonfirmasi atau tidak tentang status kewarganegaraan Arcandra, Jokowi sudah melakukan hal terbaik yaitu memberhentikannya. Namun demikian, Jokowi juga harus berani melakukan koreksi pada proses perekrutan Arcandra jadi menteri jika memang ia terkonfirmasi memiliki kewarganegaraan asing.
Adalah menarik membaca pernyataan Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI terkait dengan hal ini. Dalam tulisan yang dimuat Kompas Ia menyebut, “Bahwa dibutuhkan penyesuaian administrasi iya. Mungkin kemarin terlalu cepat sehingga penyelesaian administrasinya perlu diperbaiki”
Presiden Jokowi memang terkenal dengan gerak cepat dan cenderung spontan dalam banyak hal terutama terkait dengan bagaimana mempercepat pembangunan negeri. Termasuk yang kerap kudengar, dalam kunjungan ke luar negeri dan bertemu diaspora Indonesia (orang-orang Indonesia yang tinggal menetap di luar negeri), ia mengajak para diaspora itu untuk pulang membangun negeri.
Ajakan yang baik, mengingat para diaspora itu ketika pulang bisa menggunakan pengalaman kerjanya di luar negeri sebagai modal awal untuk menjadikan wajah Indonesia lebih baik lagi. Tapi hal itu harus diikuti langkah-langkah prosedural yang mengacu pada hukum yang berlaku di Indonesia.
Para diaspora itu tak serta-merta bisa langsung pulang ke Tanah Air terutama karena banyak dari mereka yang sudah berumur lebih dari 18 tahun dan memilih untuk mendapatkan kewarganegaraan dari negara tempat tinggalnya atas kesadaran pribadi. Dan karena Indonesia masih menggunakan sistem kewarganegaraan tunggal, otomatis orang tersebut sudah tidak jadi warga negara Indonesia lagi. (Baca UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Bab IV, pasal 23).
Dari sisi diaspora sendiri, jika memang kita merasa terpanggil untuk pulang dan kita sudah memegang kewarganegaraan asing, jalan untuk mendapatkan kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia bukannya tak mungkin seturut Bab V dari undang-undang yang sama. Jangan malah menggunakan ‘kesempatan dalam kesempitan’, malas mengurus kewarganegaraan, mentang-mentang Jokowi mengajak pulang lalu kita semua berduyun-duyun pulang menggunakan paspor Indonesia yang ‘kebetulan’ masih berlaku dan melipat rapi paspor negara lain di sudut koper bagasi kita.
Kalau demikian bukankah itu berarti mempermainkan hukum negara yang katanya kita cintai, Indonesia?
Merdeka!
0 Komentar