Berita tentang pencekalan Dewi Persik di sejumlah daerah oleh karena goyang gergajinya yang maut itu membawa pemikiran dalam diri saya bahwa ia layak mendapatkannya sebagai sebuah pelajaran untuk hal yang lebih baik. Bukan karena apa-apa, akan tetapi dari potongan-potongan aksi panggungnya yang saya lihat, kalau saya menempatkan diri sebagai mereka yang merasa terganggu oleh goyangannya itu, ya memang cukup …. hmmm menggetarkan dan menggemaskan kalau saya boleh bilang.
Akan tetapi sebenarnya kalau kita memandang persoalan ini dari sisi kebebasan dalam berkesenian, Dewi pun mempunyai hak untuk dibenarkan.
Entah mau diistilahkan sebagai goyang gergaji atau goyang stroberi sekalipun, itu semua adalah hasil karya seni yang ia kembangkan.
Saya lalu jadi teringat ketika saya berada di Sidney dua bulan yang lampau. Ketika saya melewati Pitt Street Market dan melihat ada begitu banyak seniman mulai dari pemain saxophone, violin, sekelompok band, sampai pelukis jalanan melakukan show case di situ, saya melihat bahwa tak semua dari mereka dilihat dan diminati orang. Ada yang miskin penonton tapi ada pula yang begitu ramai dikerubungi orang dengan koin-koin dollar yang bergelimangan di kotak yang telah ia sediakan.
Jadi, ini tinggal masalah apresiasi saja. Seni menyangkut apresiasi. Kalian suka mendekatlah, kalau nggak suka tinggalkanlah.
Seni bukan soal harus atau tidak atau tak bisa pula dipasung dan diberangus habis-habisan dengan peraturan yang begitu keras seperti yang terjadi….banyak terjadi di sini.
Lagipula, kalau peraturan itu mengatasnamakan akhlak… waduh, meski sulit, saya akan bilang bahwa resiko ditanggung penumpang, Bos.
Lagi pula siapa sih yang bisa mengatur naik turunnya syahwat kalau di depan kita ada kerbau telanjang sekalipun?
Maka dari itu, saya menganggap ini hanya soal faktor adaptasi, penyesuaian saja.
Piranti pengatur masyarakat kita yang terkenal memiliki semangat untuk menjadikan masyarakatnya berakhlak kwalitet nomer satu itu tentu tak akan bisa berkompromi banyak dengan sesuatu yang seronok-seronok seperti itu dan justru sebaliknya, Dewi dan semua artis lain tampaknya yang harus menyesuaikan diri dengan keadaan di sini karena kalau kita kembali ke hukum dagang, masyarakat adalah pasar bagi mereka dan sayangnya piranti-piranti pengatur masyarakat, dengan peraturan yang mereka pegang, adalah pemilik kunci gembok pintu akhlak bagi pasar yang sangat potensial itu tadi.
Oleh karena itu, saya acungi jempol permintaan maaf Dewi Persik sebagai satu cara menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar.
Dewi toh bukan mahadewi.
Ia juga manusia yang kerap tersandung dan disandung….
Tampaknya ia perlu surut sebentar dari jagad hiburan, mengambil jeda dalam hidupnya untuk melakukan setback ke belakang demi masa depan yang lebih bagus dan adaptatif tentunya.
Tes!
jaaah, ikutan ngomong goyang gergaji …
Soal pencekalan lagi!
Sebetulnya apa benefitnya sih ngeliat Dewi Persik nyanyi dan bergoyang? Bagiku pribadi (ini pendapat pribadi lho ya), rasanya nggak ada.
“Akan tetapi sebenarnya kalau kita memandang persoalan ini dari sisi kebebasan dalam berkesenian, Dewi pun mempunyai hak untuk dibenarkan.”
Kalau ada seorang penyanyi, penari, seniman, atau entah profesi seni apapun itu bisa bebas telanjang dan mengatakan hal itu atas nama kebebasan dalam berkesenian, boleh?
Kesenian apa yang dia usung? Ini bukan Australia, Bung! Ini Indonesia. Sayangnya Soekarno keburu dijegal saat mengusung prinsip Trisakti. Pada pidato 17 Agustus 1964 ia menyodorkan tiga prinsip berdikari: berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan BERKEPRIBADIAN DALAM KEBUDAYAAN.
Nah!
@DM:
Saya sendiri hanya menyusun perimbangan konteks, supaya tidak terlalu menyudutkan Dewi Persik saya mencoba mencari “apa dia masih punya hak?”
Pada sisi ini, menurut saya, Ya benar! Dia masih punya hak untuk berekspresi, berkesenian.
Terlepas dari ini Indonesia atau Australia, apa kebebasan berkespresi tersekat-sekat betul dengan border negara?
Saya memimpikan masyarakat yang tak perlu mencekal tapi sudah mencekal diri sendiri untuk menonton yang tak perlu dan seronok misalnya.
Di sini poinnya, Bung!
Bukan pada seni seperti apa yang boleh dan tidak diperbolehkan.. tapi justru pada bagaimana negara mau mensapih rakyatnya untuk lebih dewasa dalam menanggapi hal-hal seperti itu.
Ini poinnya, dan ini pattern yang selalu menjadi dasar dari setiap hal yang dianggap melanggar norma :)
Nah!
Jadi, dengan kata lain: orang bebas melakukan apapun, semau dirinya? Biarlah publik yang memilihnya, begitu, Tuan Donny?
@DM:
Tidak totally seperti itu juga, Bung!
Semua harus diatur oleh negara tentu saja.
Aturan yang jelas… oleh negara yang jelas.
Bukan oleh aturan yang tak jelas oleh negara yang bergantung pada moody bolehnya mengatur.
Ini bukan paragraf pengaman, tapi saya ingin menggarisbawahi bahwa saya sendiri juga tidak setuju dengan apa yang dipertontonkan Dewi Persik lho.
karena ada promo via twitter, bolehlah saya ikut komen.
Proses jadi hukum (kalau nggak salah: terpaksa-terbiasa-norma-hukum)
Saya rasa dalam hal ini akan lebih tepat dinilai oleh norma, jikapun salah sanksinya adalah sanksi sosial.
Ingat rollingstones dulu juga dicaci karena tidak sesantun beatles? Toh jadi legend juga.
Barangkali juga goyang panas akan diterima kelak.
Sekarang sih saya juga nggak nikmatin goyang si persik. Bodinya nggak suka. Hehe