Waktu masih bekerja di kantor lamaku dulu, salah satu teman bule bercerita bahwa dia pernah tinggal selama 16 tahun lamanya di Jakarta, Indonesia menghabiskan masa kanak-kanaknya hingga lulus SMP. Gara-gara itu, kami lantas sering menghabiskan waktu bersama saat makan siang sekadar untuk ngobrol kesana-kemari, ia dengan kenangan akan Indonesia-nya dan aku dengan kenangan yang sama tentunya.
Dari sekian banyak ceritanya yang masih kuingat, satu hal yang paling mengesankan adalah ceritanya tentang bagaimana dulu caranya memesan taksi melalui operator telepon.
“Mereka (operator taksi -red) tak pernah bisa mengeja namaku dengan mudah, Don!” ujarnya. Nama temanku memang susah untuk dieja, apalagi diucapkan oleh lidah Jawa sepertiku.
“Tapi aku punya akal! Setiap pesan taksi, aku selalu pakai nama ‘Budi’!” lanjutnya.
“Oh, kok bisa?”
“Iya, karena kan mereka enak ngomong ke sopirnya ‘Butuh taksi satu atas nama Pak Budi’ ketimbang pakai nama asliku kan?”
Akupun terpingkal-pingkal dibuatnya.
Nama Budi, bersama dengan Wati, Tuti dan Tono, menurutku memang sangat identik dengan Indonesia. Sangat mudah diucapkan dan bahkan boleh dibilang bagi kalian yang mengalami masa-masa sekolah dasar di tahun 80-an hingga 90-an mengenal sosok-sosok itu pada buku pelajaran Bahasa Indonesia ketika kita sedang belajar membaca, “I-ni i-bu Bu-di”. Entah kalau SD masa kini, apakah mereka juga masih diajari teknik membaca seperti itu dan apakah sosok-sosok Budi, Wati, Tuti dan Tono masih menghiasi halaman-halaman bukunya? Tolong beritahu aku ya.
Tapi kalau jawabannya adalah iya, wah ya syukurlah meski kurasa semakin jarang ada orang tua yang mau memberi nama anaknya dengan nama-nama itu, tapi toh si Michael, George, Alicia, Robert atau siapapun nama anakmu itu, mereka pada akhirnya mengenal nama-nama yang ‘khas’ Indonesia melalui bacaan-bacaan itu.
“…sebuah bangsa yang kuat itu dibangun dari setiap sendi elemen budaya yang juga harus tak kalah kuatnya dalam bahu-membahu menyusunnya….”
Sebenarnya, kuyakin kalian setuju dengan pendapatku bahwa hal pemberian nama itu menyangkut selera masing-masing orang tua. Kalian bisa dan berhak menamai apa saja anak kalian seperti halnya tak ada yang memaksaku dan istri untuk menamai buah hati kami itu Odilia. Tapi terlepas dari itu, pernahkah kita berpikir untuk memberi nama anak kita itu dengan nama-nama khas ‘Indonesia’ semacam ‘Budi’, ‘Wati’, ‘Tuti’, dan ‘Tono’?
Mungkin masih ada, banyak… tapi kuyakin lebih banyak yang ‘beralih’ orientasi untuk memberi nama anak dengan sesuatu yang lebih ‘global’, lebih ‘nggak ndeso’ dan lebih ‘nggak monoton’ seperti halnya Michael, George, Alicia, Robert itu tadi. Iya, kan? Padahal apa berjasanya nama-nama itu (kecuali kalau memang itu adalah nama baptis yang memang harus pakai nama santa/santo) dibanding dengan nama-nama seperti Budi, Wati, Tuti dan Tono tadi?
Atau sebaliknya, apa salah Budi, Wati, Tuti dan Tono sehingga ia semakin dijauhi dari pilihan orang tua dalam memilih nama untuk anaknya?
Beda barangkali dengan kalau kalian memberi nama anak, Aidit karena seperti kita tahu, 32 tahun lamanya kita begitu terhantui oleh bayang-bayang nama “Aidit” sebagai gembong PKI yang dituduh melancarkan aksi G-30 S nya itu? (Eh sampai sekarang masih kok ya?!) Tapi, come on, apa salah tokoh se-innocent Budi yang bahkan selalu dilukiskan dalam pelajaran membaca di SD dulu sebagai sosok yang memiliki Ibu dan Bapak yang begitu baik serta Paman dan Bibi yang selalu memperhatikannya itu?
Jawabannya barangkali demikian…
Kita tak melihat ada tokoh film dengan nama-nama Budi, Wati, Tuti dan Tono dalam produk-produk Hollywood!
Kita tak menemukan bahwa ternyata salah satu atlit sepakbola kawakan nun jauh di Eropa sana menggunakan nama-nama itu?
Kita juga tak berhasil menemukan tokoh boneka keluaran Walt Disney yang berlabel nama-nama itu?
Sebaliknya,
kita menemukan nama Budi, Wati, Tuti dan Tono di meja-meja kelurahan yang lusuh dan kotor,
kita menemukan nama-nama itu sebagai tukang jual bakso atau penganan lainnya yang setiap sore nongkrong di pinggir alun-alun yang berdebu,
meski mungkin kita juga menemukan nama mereka sebagai salah satu tokoh panutan rohani lokal di tempat ibadah kita masing-masing…
Namun, tampaknya, arus globalisasi meminggirkannya… ketika kita belum mampu meng-global-kan nama-nama seperti Budi, Wati, Tuti dan Tono ke tingkat dunia, dunia sudah lebih dulu menyerbu kita dan akhirnya menempatkan nama-nama itu di pinggiran saja.
Padahal, menurutku, sebuah bangsa yang kuat itu dibangun dari setiap sendi elemen budaya yang juga harus tak kalah kuatnya dalam bahu-membahu menyusunnya. Sendi budaya itu termasuk di dalamnya adalah pada tentang bagaimana memberi nama anak-anak untuk menciptakan identitas bangsa yang semakin kuat. Jadi, menurut persepsiku, identitas bangsa setidaknya harus terwakilkan terlebih dahulu pada nama-nama penduduknya.
Aku membayangkan jika seluruh anak bangsa kita ini memiliki nama-nama global, maka kelak, bisa jadi akan ada nama jalan di sebuah desa pelosok pada satu kabupaten terpencil dengan nama yang mentereng semisal, Jl Kashyza Mediriene Biannica (pengandaian saja, ini ngawur kok!) sebagai jalan utama, lalu kita akan bertanya-tanya, ini Indonesia atau negara mana?
“Apa salahnya, Don?” Ah, pertanyaan klasik… tapi sejujurnya tidak ada yang salah! Kuyakin dulu waktu nama-nama yang sekarang kita kenal sebagai nama khas Indonesia belum ngetop, pasti juga ada masa peralihan dari ‘trend’ nama sebelumnya ke trend nama sebelum sekarang ini. Tapi persoalannya bukan benar dan salahnya, lebih pada sampai kapan kita akan terus mengalami masa peralihan dan kenapa kita tidak memiliki ketetapan ‘hati’ untuk ‘setia’ pada satu hal saja?
Ah, kalau sudah begini aku jadi ingat almarhum Pramoedya Ananta Toer yang dalam salah satu bagian interview dengan Andr? Vltchek yang lantas dibukukan dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian! mengatakan betapa ia merindukan terwujudnya satu budaya asli Indonesia, bukan budaya suku bangsa yang ada di Indonesia dan apalagi jelas bukan budaya bangsa lain yang diimport ke Indonesia baik melalui hiburan, ideologi bahkan agama.
Hmmm…OK, saya sudahi sekian saja tulisan ngelantur ini. Kalian tak perlu bergegas bikin bubur merah putih dan mengganti nama anak hanya karena sentilan tulisan ini lagipula proses penggantian nama kan memang tak mudah lagi murah?
Tapi setidaknya, bagi kalian yang sedang merencanakan memiliki anak, kenapa tak kalian beri nama anakmu itu kelak dengan sesuatu yang ‘Indonesia’ saja? Coba simak nama Dian Sastrowardojo. Indah, kan? Ok itu memang nama Jawa, bukan Indonesia tapi bukankah ia terdengar lebih membumi di sini? Lagipula, siapa tahu, barangkali kecantikan dan peruntungannya pun kelak juga tak kan kalah dibanding dengan si Dian yang cantik pula pintar itu?
ps: You know what? Papaku almarhum pernah bercerita bahwa ide untuk memberi namaku Donny adalah karena beliau saat itu sangat suka dengan penyanyi Amerika Serikat, Donny Osmond. Produk global? I am :)
Credit photo
hehe…kali ini nda silent
hmm..ketika aku menanyakan ke bapak apa maksud dari nama lengkapku, jawabannya adalah,”hehe iseng wae,tiba2 yo kuwi sing terbesit dikepala ketika ditanyain mama mu, Le :D “
sementara ini cuma bisa komentar, “apalah artinya sebuah nama” :D
*please jangan ditanggapi serius ya, hehehe
jadi ingat, ketika salah seorang teman menanyakan, jika anak kami lahir, kami ingin dipanggil apa?
aku dan suami sepakat memakai panggilan Bapak dan Ibu..you know what? kata temen saya, masih muda kok mau dipanggil Bapak dan Ibu, kesannya tua banget…
Alasan kami berdua memilih untuk dipanggil Bapak dan Ibu, selain karena lebih Indonesia.disamping itu kami ingin tetap melestarikan panggilan Bapak dan Ibu agar tidak punah, mengingat banyak sekali pasangan di Indonesia yang memakai panggilan papa, mama, mommy, daddy, papi, mami dsb dibanding Bapak dan Ibu…:)
Selain itu kami ingin menjadi orang tua yang kebapakan dan keibuan hehehehe…
Nama Dian Sastro itu menurutku Indonesia sekali. Dan memang enak terdengar. Ya itulah Don, perumpamaan-perumpamaan yang dibikin oleh orang-orang dulu seperti nama Budi utk ukuran anak baik di buku2 pelajaran, atau Karyo yang identik dengan tukang bakso, akhirnya memang melekat terus turun temurun.
Menurutku, masalah nama itu sangatlah disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi pendidikan juga. Kalau di daerah itu usually pakai nama Agus, Tono, Budi, Tuti, ya seterusnya akan begitu. Sama halnya dengan di daerah2 lain, di tanah Batak juga punya kebiasaan yg sama dalam memberi nama. Misalnya jadi Maruli, Tumpal, Pardamean (or Dameria). Atau orang Minang contoh namanya itu Rinaldi, Farid, Yanto.
Nah yang sok keren kan kita-kita ini Don, yang sudah bergaul luar biasa luas kemana2 dengan socmed kita, hahahaha….
Anak pun harus panggil orang tuanya Mommy & Daddy, padahal mungkin dulu kita memanggil ayah ibu kita dengan bapak-mamak or papi-mami or ayah-bunda. Dan berkat segala macam informasi itu, kita pun tertarik untuk memberikan nama yang baik yang kita dapat entah darimana. Coba ada buku tentang arti2 nama anak di Indonesia, mungkin parents juga mau memberi nama Indonesia untuk anaknya.
Kalau namaku dan abangku, papi kami mengambil nama itu dari tokoh2 yang sedang populer di tahun kami lahir itu. :)
ra ngaruh juga don
anakku dikasih nama bagus bagus, ama om om nya tetep dipanggil panut.
jarene ben dadi panutan.
bapakku juga jarene karena suka sama jesse green, trus kasi namaku yessi greena
penyanyi jaman biyen banget nget nget :D
Hehe kalau saya mah nantinya pengen ngasih nama anak dari bahasa arab, hehe :)
Aku pernah menuliskan soal ini di sini:
http://hardivizon.com/2008/10/15/nama-doa-kepribadian-dan-kebangsaan/
Apapun namanya, yang penting harus bermakna
Bangsa kita sangat menghargai pemberian nama ini. Itu ditunjukkan dari tradisi “slametan” ketika pemberian nama.
Jadi, tidak boleh asal ingat, trus langsung dilengketkan jadi nama si anak.
Oya, ketika gempa Jogja dulu itu, ada anak yang lahir dan kemudian diberi nama “Linduwati”, hahaha…
Dian itu kan panggilan dari Diandra, asli mana itu mas
kalau sekarang sih banyak balita yang punya nama seperti nama artis seperti Raffi Ahmad, Gilang Ramadhan
http://mondasiregar.wordpress.com/2010/02/11/nama-artis/
Namaku Riris, kata Ibu karena aku lahir pas gerimis (hasil menyimak pertunjukan Wayang alm Ki Narto Sabdo). :) Anak2ku pakai nama2 dari Alkitab dengan harapan, mereka memiliki karakter seperti mereka.
Pemberian nama juga kadang dipengaruhi oleh orangtua (mertua).
Seperti anak kedua saya (laki-laki) secara “defacto” pada akhirnya memiliki dua nama,
sebelumnya kami berencana memberinya nama Rio Hadi Mulyono (penggabungan antara nama ibu-bapaknya+mbahnya di Klaten + mbahnya di Bandung), tapi ini mendapat protes halus mbahnya di Bandung yang menginginkan sekali-kali memberi nama berbeda bernuansa agama,
setelah melalui pemilahan berbesar doa dan harapan, maka dicatatkanlah namanya menjadi Dzulfiqar Faruq.
Ternyata nama kedua ini kurang berkenan bagi mbah di Klaten, karena takut nanti anakku terkait-kait dengan teroris. :)
jadilah secara defacto, kalau pulang ke Bandung, ia dipanggil Fiqar
sementara kalau pulang ke Klaten ia dipanggil Rio
*jadi curhat hehehe … I’m coming Mas Don .. sehat-sehat wae tho?
Nama saya masih asli INDONESIA lho mas :D
asli banget malah xixixi belum tergerus oleh globalisasi,
dari 5 bersaudara juga cuma satu yang namanya udah terkontaminasi globalisasi : Raffless!
Keponakan juga masih Indonesia banget, ada sih yang berbahasa Arab karena melihat kepada artinya.
Dinda, Ananda, Nugraha …. nama Indonesia banget ‘kan :D
Tapi klo saya punya anak nanti, sudah saya persiapakan 1 nama dan campur kayaknya mas :D Chelsea Maulana – 50:50 tuh hahaha
Enggak Arsenal Maulana aja, Mbak?
Nanti nama itu kasihkan anakmu aja ok :P
Saya merasa “tertohok” dengan bagian mengapa orang2 tidak mau memakai nama budi, wati, tono. Karena mereka berada di kantor kelurahan yg lusuh ataupun alun2 yg berdebu.. Betul juga. Banyak orang yg menamakan anaknya Zidane karena ia adalah pemain bola tekenal di dunia.. Tapi entahlah.. Meskipun lagi tenar juga, saya belum pernah denger orangtua menamai anaknya Upin & Ipin.. Ah.. Tulisan yg bagus & reflektif. Eh ada gak ya kata reflektif..? :D salam kenal juga.. :)
Nama belakangku Indonesia banget menurutku: Widyaningsih. Tapi aku kurang tahu apa artinya. Suk nek bali tak takon bapak-ibuku :) Aku juga lebih suka nama Indonesia. Besok kalau punya anak, mau kukasih nama Indonesia saja ah ….
saya malah tak pernah tahu kenapa ortu yang tinggal di desa saat itu memberiku nama seperti yang kubanggakan seperti saat ini, mas don, hehe ….. biasanya kalau orang tua jawa memilihkan nama buat anak dikaitkan dengan dina weton atau bulan kelahiran.
Wah saya jadi ingat sama Bule yang jadi artis di Indonesia itu, dia ingin dipanggil Mas Wahyu, lengkapnya Wahyu Suparno Putro..
Saya sih masih bangga karena ada Wahyu-nya..
Misi mas, berkunjung ah :D
Don,
Andre Vltcheck iku sepupuku lho…menikah sama putranya om, adik bungsu alm ibuku.
Btw, soal nama, itu merupakan mimpi, kenangan, atau harapan orangtua. Cucuku namanya Sjahrazad, karena anakku terinspirasi dengan pejuang kemerdekaan, serta dengan St Syahrir. Suamiku tergila-gila dengan kesenian Jawa, bisa mendalang, pendiri Karawitan dan ketua PSTK pertama di ITB…jadi nama anakku berbau wayang semua…herannya, sering dikira orang India…hahaha
Namaku sendiri menurut alm ayah, ada ceritanya, kenangan beliau saat dipenjara oleh Belanda….dan namaku ada Watinya, namun karena kebiasaan kita memanggil nama depan, jadi panggilanku bukan Wati.
hahaha boleh juga tuh caranya biar ga ribet pas mesen taksi
ntar kelak kalo uda punya anak mau pake nama yang indonesia aja deh ah
:D
Seperti pendapatmu bahwa: “pemberian nama itu menyangkut selera masing-masing orangtua”. Maka tampak jelas: bagaimana nama anaknya, begitulah selera orangtuanya.
Yang ada di frame orang kebanyakan, nama Budi, Wati, dan Iwan (terutama Budi), adalah nama-nama baik sesuai deskripsi karakter bocah-bocah itu di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal tidak seorang pun tahu: bagaimana penghidupan serta kelakuan Budi, Wati, dan Iwan setelah dewasa. Yang diketahui orang kebanyakan: mereka adalah anak-anak baik.
Tetapi aku setuju: nama Diandra Paramitha Sastrowardoyo adalah indah, cantik, dan pintar. Aku setuju.
Aku juga pernah ngerasa aneh waktu di sekolah anakku akhirnya menemukan satu nama yang khas indonesia, Hartono. Jadi lucu sendiri memang, sementara yang lainnya sudah berbau-bau bule, apalagi yang Nasrani ditambah dengan nama baptis hehehe… Waktu lagi cari nama untuk calon anak kedua juga, suamiku sudah ngakak-ngakak waktu aku bilang nama Indonesia bagus-bagus juga, misalnya kasih nama Nugroho, panggilan Nunu’ kan lucuuuu dan imut terdengar hihihi…. ^_^
Namaku sendiri sih asli Indonesia, ortu yang berubah nama Tionghoa ke Indonesia juga berbau Indonesia, jadi aku kagum-kagum saja dengan nama yang dari Indonesia (dari propinsi apa saja), sementara suamiku dengan keluarganya memang hampir semuanya sudah terkontaminasi dengan nama International jadi mungkin mereka merasa agak janggal dengan nama asli Indonesia (kecuali nama bokapnya suami yang memang sesuai dengan tulisan ini, nama beliau adalah Budi hehehe…)
Kalaupun akhirnya anak-anakku namanya International minded itu semata-mata karena kesepakatan bersama Papa dan Mamanya nyari jalan tengah daripada ngotot-ngotot harus bawa titipan bahasa yang disukai :D
Hihihi iya ya.. sepertinya nama-nama ini semakin terhapus dari peredaran dalam pemberian sebuah nama :D
Masa yg terus berganti menggerus budaya, Mas. Biasa…
Kesentil sayah ngebaca tulisan Om DV inih. #pengakuan, Helda juga punya nama tengah ‘Waty’ pakai ‘y’ dan jarang banget mempublikasikannya dari waktu jaman sekolahan dulu. :D Makanya pernah kejadian, nama Helda disebutin Heldawaty , temen-temen pada grasak-grusuk, sapa tuh Heldawaty?
Hmm.. di daerah terpencil dan terisolir di Indonesia justru yang paling sering kutemukan nama-nama global.
Globalisasi tlah sampe hingga pori2 :))