Beberapa waktu lalu, ketika sedang makan di restaurant, penyajian botol kemasan sambal/sauce yang ada di atas meja itu (lihat foto di atas) ‘mengejutkan’ ku.
Bukan suatu hal yang baru sebenarnya, toh perubahan kemasan adalah sesuatu yang jamak dan sudah cukup lama ‘hadir’. Tapi bedanya, kupikir kalau selama ini mereka tak butuh perhatian maka sesudah siang itu, sesudah makan di restaurant itu, aku mendadak ‘memperhatikannya’.
Sebenarnya apa perbedaan penyajian botol ‘baru’ itu dengan botol lama yang sudah lebih lama kita kenal sebelumnya sehingga botol lama lantas tergantikan oleh bentuk baru itu?
Secara fisik jelas berbeda.
Botol lama ‘tersusun’ atas badan botol, ditandai dengan ruang yang besar, berada di bawah dan bagian leher di atasnya. Sementara botol baru justru sebaliknya, menempatkan badan botol di atas lalu semakin ke bawah semakin mengerucut.
Perbedaan fisik ini kutengarai sebagai ‘rencana besar’ terhadap perubahan penyajian botol kecap/saus.
Produsen rupanya cukup tanggap dengan adanya keluhan betapa sulitnya mengeluarkan isi botol (dengan konstruksi lama) karena harus membalikkan badan botol lalu beberapa saat harus mengayunkan botol dari atas ke bawah supaya isinya turun dan mengalir keluar. Belum lagi kalau isinya mengering/mengental, tenaga yang dibutuhkan untuk mengayun tentu akan lebih besar lagi. Nah, dengan botol baru, apa yang menjadi keluhan di atas setidaknya bisa teratasi dengan perubahan konstruksi didukung oleh kenyataan alam adanya tenaga gravitasi bumi yang selalu mengarah ke bawah. Konsumen tak harus mengayun lagi, cukup membuka tutupnya, lalu tekan sedikit ke badan botol dan crotttt! isi mengalir dengan cepat dan tepat sasaran.
Mana yang lebih baik, entahlah!
Kalian boleh bilang yang terbaru adalah yang terbaik tapi aku tetap bertaruh bahwa ada sebagian besar orang yang tetap teguh dengan pendapat bahwa bentuk botol lama tetap lebih baik lagi!
Ini lantas bukan perkara mana yang lebih baik kok, tapi lebih ke mana yang lebih nyaman. Standardnya memang sangat tidak linier serta cenderung abstrak yaitu kenyamanan pemakaian dan bukannya sesuatu yang lebih ‘pasti’, tentang kualitas konten itu sendiri?
Kecap toh tetaplah kecap dan saus tetaplah saus, kan?
Mau disajikan dengan botol terbalik atau tidak, mau dibuka lalu diletakkan di mangkuk atau ditaruh di cawan emas sekalipun tetaplah kecap dan saus tak lebih, juga tak kurang.
Hanya imajinasi kita saja yang dipermainkan bahwa sesuatu yang baru pasti berbeda dan lebih baik dari yang lama sementara sesuatu yang lama ada lambang usang, lambang ketertinggalan jaman yang sudah saatnya dilenyapkan demi sebuah gelombang besar yang bernama kemajuan jaman.
Perkara penyajian botol di atas hanyalah sebuah potret dalam kerangka yang siang itu disajikan kepadaku sebagai sebuah ‘pelajaran’. Pada kenyataannya, ada begitu banyak hal senada yang terjadi dan pergunjingan tak terelakkan hanya demi sesuatu yang tidak esensial; sesuatu yang bersifat kosmetis, pupur pendandan muka.
Oleh karena itu, Sus… Susy, berhentilah berpolemik, terutama tentang Jogja!
Tak perlulah kau usik mereka, Sus. Karena pendekatan apapun yang sedang dan akan kau tempuh untuk ‘mendekati’ Jogja kuyakin kesemuanya tak kan pernah mampu mengubahnya.
Konsep mereka dalam hidup bermasyrakat terlalu kuat dan percayalah bahkan sampai ujung usiamu, tenaga dan pikiranmu tak kan mampu memendarkannya.
Tak jua jurus monarkhi mu itu!
Tapi…
Barang lama dengan kemasan baru lebih menarik…
Tapi…
Jika rasanya tak nyaman, maka orang akan kembali mencari yang lama…
Dan Susy….
Siapakah dia…?
Yang penting bukan kemasan atau sistem namun yang penting masyarakatnya cocok dengan botolnya :) menurutku cukup kelewatan kalau sosok nganu coba coba ganti botol menurut persepsi pribadi.
apa saja, yang penting isinya sama. packaging tidak merubah “rasa”
yen botol e tengkurap ngono luwih gampang mengeluarkan saos e…palagi yen saos e wez meh entek..
eniwe aku kenal ro karo Susy :P
Susy pho Bambang Gentolet? :)
Kalau aku, suka dengan model botol kayak gini.
Memang benar, kalo pergi makan ke resto, mo mampus ngeluarin sambel dari botol kaca (itu tuh Pizza Hut, sambelnya susah bener).
yoihh botol tetep jadi daya tarik toh…tpi yg penting rasanya gak berubah… *ketcuppppppppp* hahahhaa *di kecup bencong*
Hahaha Don.. Don…. eidian tenan pancen mantep analogimu dab, antara botol ketchup dengan isue terakhir tentang Jogja… piye wis nduwe passport rekiblik ngayogjakarta hadiningrat opo durung ?
Wadah memang tidak akan merubah rasa kecap ataupun saos itu, Don.
Tapi, wadah akan merubah karakternya.
Tentu ada perbedaan antara kecap dalam botol plastik kecil yang terletak di gerobak tukang bakso pinggir jalan dengan kecap dalam cawan emas di meja seorang raja. Oleh karena wadahnya berbeda, maka cara memasak dan menyajikannya juga beda. Dan yang pasti, rasanya juga akan berbeda.
Maka, menurutku, tidak hanya si Susy yang harus dihimbau untuk tidak terus berpolemik soal wadah kecap dan saos itu, tapi si Sri juga harus legowo untuk tidak terus bersembunyi di balik rasa kecap dan saos lamanya yang ternyata sudah mulai terasa kecut… :)
saya jadi kebayang botol sampo di kamar mandi, kalau isinya sudah hampir habis, biasanya saya letakkan terbalik :-)
btw, ini ngomongin Jogja ya?
Aku sukanya kemasan yg baru, lebih mudah dipakai, cuma masih jarang dijual di Bali.
Kalo Susy…kecapnya terlalu asin.
Greetings from me hopefully it makes a good introduction for us all