Nggak semua orang berani jujur mengakui kalau dirinya sedang tidak punya uang alias bokek. Masuk akal sih karena sudah sejak ribuan tahun silam uang dan berbagai bentuk materi yang bisa dibeli dengannya kerap dipakai jadi penentu kelas bagi kita di hadapan sesama.

Gajimu berapa?
Wah masih di bawah UMR! Gak kelas!
Henponmu apa?
Wah belum ada logo apel kroaknya! Gak kelas!
Mobilmu apa?
Walah masih pakai sepeda motor kok berani ngejar dia sih? Nggak kelas tau!
Padahal, kalau mau dipikir apa ruginya nggak sekelas? Bahkan banyak temanku dulu nggak cuma beda tapi tinggal kelas pun nggak masalah kok! Hati sakit? OK! Tapi cuma sebentar kalau kita mau move on, kan?!
Aku pernah mengalaminya.
Sebelum tahun 1997, secara ekonomi, hidupku jauh lebih baik dari sesudahnya karena orang tuaku waktu itu cukup berada.
Tapi sesudahnya, negeri api menyerang perekonomian orang tuaku dan kondisinya berubah bak mangkuk penuh berisi mie instan yang numplek ke bawah! Berantakan!
Beberapa kawan menarik diri dan itu sangat menyakitkan tapi toh ternyata aku baik-baik saja karena ada banyak kawan baru yang ‘sekelas’ datang menghampiri untuk mengajak berkawan dengan orang yang barusan ‘turun kelas’ hahaha!
Dan hidupku pun jadi lebih berdinamika karena kemudian aku diberi waktu dan talenta oleh Tuhan untuk pelan-pelan membangun hidupku sendiri ke arah yang lebih baik; kalau ‘baik’ di sini lagi-lagi dinilai dari sisi uang dan segala wujud materi yang bisa dibelinya.
Pengalaman tahun 1997 itu membuatku punya keberanian dan tidak ada rasa malu ketika suatu saat aku harus bilang, “Lagi bokek, Njing!”
Kenapa?
Ya karena udah pernah bokek, udah pernah ngerasain imbas dari kebokekan dan… yang paling penting memang lagi bokek ngapain mesti sok punya duit?!
Tapi memang persoalannya jadi agak lucu dan tidak sesuai ‘rel’ yang kupelajari ketika aku ngomong kalau aku lagi bokek sekarang ini.
Teman lamaku yang tinggal di Indonesia mengirim pesan, “Nggak pulang, Bro? Covid udah meringan lho!”
Pulang di sini adalah pergi liburan ke Tanah Air.
“Enggak! Lagi bokek! Duit abis buat urusin rumah baru!”
Uniknya dia nggak bilang, “Ah! Nggak kelas!” tapi, “Ah, jangan bohong! Tenang aja, gue gak akan pinjem duit kok jadi nggak usah ngaku bokek! Lagipula udah tinggal di negara maju masa bokek sih?”
Hahahaha, kacau kan?!
Ngaku bokek salah, nggak ngaku bokek pun salah!
Tapi ini masalah selanjutnya! Orang gak percaya aku bisa bokek karena aku sudah tinggal di negara maju.
Dan ini menarik karena berarti kemajuan sebuah negara bagi isi kepalanya hanya identik dengan duit duit dan duit. Tapi temanku ini nggak sendirian. Ada banyak orang yang berpikir bahwa setiap orang yang tinggal di negara maju pasti maju perekonomiannya dan maju pula derajatnya!
Ada orang yang kukenal. Waktu aku masih tinggal di Indonesia, dia begitu sombong di hadapanku. Ketemu denganku paling hanya noleh “Halo” trus melengos. Ngakunya sibuk!
Tapi setelah aku pindah ke Australia, suatu waktu pernah aku berpapasan dengan dia di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta saat aku lagi mudik. Matanya membelalak,
“Wah! Baru pulang Indo, Don?! Eh ayo kuajak makan kita ngobrol-ngobrol sekalian!”
Padahal hidup di luar negeri ya sebenarnya sama saja dengan di manapun. Yang maju itu negaranya, orang-orangnya ya tetap sama dalam artian kalau kaya ya kaya kalau pas lagi bokek ya bokek!
Indah dan hebohnya tinggal di luar negeri akan habis dalam waktu tiga bulanan setelah kamu kemari dan sesudahnya kepalamu mulai pusing ketika harus mikir gimana bayar tagihan listrik dan air, gimana bayar tagihan rumah, ada begitu banyak iuran, pajak yang mencekik leher dan… “Duh, ini udah mau hari raya kok gak ada THR ya? Gak kayak di Indonesia!”
Susah, kan?
Jadi gimana?
Ya nggak jadi-jadian dan gak gimana-gimanaan… nikmati aja, jalanin aja!
Kebetulan saat ini saya lagi bokek nih mas Don,
Semoga saja cuma sebentar bokeknya :D
Saya juga blak-blak an orang nya,
kalau lagi benar-benar bokek ya mau gimana lagi.
Diajak teman nongkrong,
skip, mending cari duid dulu.
Ada kali…. 🤣🤣🤣