Mengamati issue yang berkembang di Tanah Air melalui social media akhir-akhir ini membuatku merenung tentang kebodohan dan kepandaian.
Ada orang bilang, mereka yang bodoh semakin hari semakin menjadi santapan kaum yang lebih pintar. Aku tak bisa menyalahkan barang se-inchi pun keyakinan ini.
Tapi pernahkah kalian berpikir dari kacamata sebaliknya, bahwa semakin hari, peluang orang pintar untuk secara tak sengaja menyantap orang bodoh pun semakin lebar dan terbuka?
Kita lihat soal beras plastik.
Aku tak percaya bahwa orang yang pertama kali mem-blow up isu ini ke permukaan adalah orang yang sengaja hendak menyantap orang-orang bodoh. Isu beras plastik itu bukan isu murahan yang bukannya tak mungkin terjadi. Siapa yang tak takut kalau benar menyantap nasi dari bahan baku plastik yang industrial itu? Siapa yang bisa memastikan tak ada beras plastik secara benar-benar mengingat panjangnya alur produksi dan distribusi beras dari produsen ke piring kalian?
Lalu soal ?bunyi alam? yang oleh sebagian orang dianggap sebagai suara tiupan terompet sangkakala, sang penanda waktu yang dalam kitab-kitab suci dipercaya menandai datangnya akhir jaman.
Kupikir orang yang menyebarkan berita ini pun bukan atas landasan ingin menyantap orang bodoh karena ini faktor kepercayaan dan siapa yang bisa memastikan bahwa suara itu bukan suara sangkakala? Siapa yang tak takut pada hari kiamat ketika dunia dengan kemewahan, keindahan serta kenyamanannya seolah membuat kita lupa akan adanya state ?akhir? pada segala yang ada?
Beda lagi dengan kasus Ade Armando. Beberapa hari lalu, dosen UI yang ahli komunikasi itu dilaporkan ke polisi terkait kicauannya di social media yang dianggap menodai agama.
Meski aku tak mengenalnya, dari apa yang kubaca, aku tak yakin niatnya memang benar untuk menodai agama. Sialnya, ada kesenjangan intelejensia yang tak sanggup dijembatani oleh kata-kata antaranya Ade dengan penikmat kicauannya sehingga apa yang tertulis dibaca secara berbeda.
Entah dalam kasus ini yang bodoh siapa, tapi semoga pengadilan sanggup melerai pertikaian sekaligus menjalin jembatan di atas kesenjangan itu tadi.
Kawan, dunia ini tanpa harus dihiasi isu ini dan itu sebenarnya sudah tampak semakin menakutkan. Dalam kacamata linear, kita memandang persoalan yang ada hanyalah pertikaian antara si bodoh dan si pintar. Tapi, dalam kacamata yang lebih luas dan merujuk pada kedalaman hati, coba perhatikan apa yang pernah diutarakan Ranggawarsita, pujangga besar Jawa di beberapa abad silam.
Ia pernah memberikan wulangan bahwa akan tiba suatu masa dimana hanya orang gila yang bisa mendapatkan bagian sedangkan yang tidak gila akan jatuh lapar. Namun meski demikian, masih katanya, seberuntung-beruntungnya orang gila, lebih tak ada tandingannya jika kita tetap ingat dan waspada.
You know what??Kalian tak perlu memastikan apakah suara itu adalah suara sangkakala beneran atau tidak. Renungkan kata-kata Ranggawarsita dan tengoklah sekelilingmu, pada wujud-wujud manusia dan perangainya, kita sejatinya sudah tahu bahwa kita sedang memasuki masa yang seperti apa…
Tetaplah waspada dan berjaga…
Bagi diri pribadi eling lan waspodo jadi suatu keharusan.
Beginilah kalo kepemimpinan negeri gak kuat. Eh bukan pemimpin tapi petugas partai haha…
Hahaha trus kata Mega, “Bagi yang tak mau disebut sebagai petugas partai silakan keluar” :)
Jamane Wong2 bodho dan pekok ra rumongso.
rumongso kok.. rumongso iso :)