Bias Elanto

20 Agu 2015 | Cetusan

blog_hd_01

Nama Elanto Wijoyono berada di puncak pemberitaan media massa Tanah Air.

Minggu lalu ia berjibaku; menghentikan konvoi motor gede yang melaju di ring road utara di perempatan Condong Catur – Jl Affandi d/h Jl Gejayan. Kukatakan berjibaku karena memang aksinya sangat riskan. Moge-moge itu melaju dengan kecepatan tinggi dan ia masuk ke ?sela-sela? konvoi itu untuk menghentikan satu-dua yang bisa dihentikan. Kalau keserempet, ia bisa cidera berat, kalau terlindas, umurnya tandas.

Bagiku, pesan Elanto tersampaikan.
Ia melawan gelombang yang memang sudah ada tahunan lamanya, didukung dan dilindungi pihak yang berwajib dengan alasan telah mengantongi ijin konvoi. Ia menjadi istimewa di tengah penduduk daerah istimewa yang konon mulai terkikis keunikannya itu?

Tapi, ada penerimaan pesan yang bias di khalayak yang menikmati perjuangan Elanto. Sesuatu yang tak ia sengaja barangkali atau memang tak terpikirkan sama sekali bahwa akhirnya pada kalangan yang menerima bias itu menganggap Elanto adalah pahlawan dari konflik yang tipikalnya sudah seumur peradaban manusia tuanya; pembela yang lemah menghadapi rombongan moge yang sudah terlanjur dianggap sebagai wakil dari kalangan yang kaya-raya dan seolah bisa mengatur hukum bahkan negara.

Padahal masalahnya tak sesederhana itu.
Diluar pribadi Elanto, diperlukan kejujuran apa yang membuat kita berada di posisi Elanto ketimbang para pemilik moge itu.

Dan aku menelanjangi diriku dengan jujur terlebih dulu.

Tujuh belas tahun lalu.
Waktu itu, berdua bersama Mbak Pacar, kami baru saja menyudahi acara makan sore di Galeria Mall. Sesampainya di area parkir yang dikelola oleh kawan-kawan dekat, aku mengambil Honda Supra-ku, memboncengkan Mbak Pacar untuk mengantarkannya pulang ke rumahnya yang waktu itu ada di seputaran Ngupasan, belakang Malioboro sana.

Ketika hendak meluncur, tiba-tiba seperti ada pusaran suara muncul dari arah timur. Derunya makin lama makin kencang hingga Si Pethuk, tukang parkir yang kawanku mencegahku untuk pergi saat itu.

?Mengko sikik. Rombongan Hade (HD – Harley Davidson) lagi arep?.? aku tak bisa mendengar lagi suaranya tertelan oleh deru yang kini berada tepat berada di depan mata yang berlalu, tanpa pesan selain kesan bahwa mereka datang bertiga puluh, mengenakan stelan yang hampir stereotipikal: boots, jeans, jacket kulit/jeans, kacamata hitam dan helm yang ringkas yang melindungi wajah-wajah nan angkuh.

?Asu! Pekak kupingku!? ujarku padanya sesaat setelah mereka semua berlalu sementara Mbak Pacar men-cablek pundakku dan memintaku untuk segera pergi karena waktu dan janji untuk ?mengembalikannya? ke rumah memang tak bisa diajak kompromi lagi.

Dan itu adalah titik awal persinggunganku dengan rombongan moge. Pada tahun-tahun berikutnya, hal itu terjadi berulang-ulang; kadang setahun sekali, kadang setahun dua kali.

Semula kupikir kebencianku pada rombongan moge itu karena mereka bergerombol, menerobos lampu merah, tak mengindahkan peraturan dan dibiarkan polisi (Mereka malah nyemprit para pengguna jalan yang lain untuk minggir dan memberi jalan). Tapi bagiku kini hal itu sebenarnya alasan yang tak masuk akal karena setahun sebelumnya, pada kampanye PEMILU 1997, aku sendiri berombongan dan tak mengindahkan peraturan lalu lintas karena ikut kampanye sebuah partai politik dan aku merasa biasa-biasa saja.

Memainkan gas, malah tak mengenakan helm, malah bermanuver yang membahayakan diri sendiri, para pengguna jalan yang lain bahkan para penonton kampanye yang berdiri mematung di trotoar? aku melakukannya lebih parah dari para peserta konvoi moge yang kulihat dan ?asu? in tadi.

Jadi, aku tak menemukan alasan terbaik untuk benci pada mereka karena alasan ini.

***

Atau barangkali karena waktu itu aku iri?
Ya bisa jadi karena kira-kira delapan tahun kemudian ketika keadaan ekonomi sudah agak sedikit lebih longgar karena usaha yang kudidirikan bersama teman-teman maju lumayan pesat, pada sebuah siang ketika masuk ke dalam gedung sebuah bank, aku disodori brosur oleh mbak-mbak SPG yang berwajah bulat dan bersenyum lebar.

?Mari, Pak! Kredit Harley Davidson, Pak! Bisa dicicil dan murah!?
Wow! batinku. Aku segera memungut satu dan sepanjang antrian ke loket, aku mencerna brosur itu cermat-cermat.

DP-nya tak terlalu mahal! Bisa lah pakai gaji bulan depan.
Kreditnya juga terjangkau.

Aku mulai membayangkan yang tidak-tidak. Sosok yang muncul mewakili diriku adalah Lorenzo Lamas yang di era 90an ngetop dengan serial Renegade-nya, pahlawan yang menunggang moge. Berkumpul bersama kaum jetset dari Jogja dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, mengenakan jeans, boots, jacket kulit, kacamata hitam dan helm ringkes meski semuanya bersama dengan moge yang kutunggangi adalah kreditan tentu menyenangkan.

Lalu, masih dalam bayanganku, aku mengendarai moge itu dan mengitari kota Jogja berkonvoi.Memainkan gas pada stang yang memuat suara berderu-deru, mengendarainya dalam kecepatan tinggi dan membayangkan semua orang yang kulewati menatapku dengan penuh ketakjuban? dan kebencian seperti yang kulakukan dulu, delapan tahun sebelumnya.

Di situ aku terkesiap.
Aku tersadar dimana sumber rasa benciku. Sumber yang sangat manusiawi yang berporos pada syahwat, nafsu untuk memiliki sesuatu yang dicitrakan sebagai penaik gengsi dan mewujud dalam sebuah motor gede.

Ya! Aku iri! Karena buktinya waktu aku akhirnya diberi kesempatan untuk berpikir bisa membeli pun, aku sudah memikirkan hal yang sama: berkonvoi!

Bersyukur aku akhirnya tak memutuskan mengambil kredit motor gede waktu itu. Alasannya karena waktu itu aku sudah mulai berpikir pindah ke Australia dan tentu banyak persiapan yang harus kulakukan untuk proses panjangnya?

***

Tahun 2012.
Empat belas tahun sesudah kejadian di atas Honda Supra itu. Delapan tahun sesudah aku sangat ingin membeli motor HD, bersama keluarga, aku mudik ke Jogja.

Aku tak bertemu dengan rombongan moge selama lima hari kunjungan itu dan semuanya tampak baik-baik saja hingga pada sebuah Jumat malam, malam terakhir sebelum aku kembali ke Jakarta untuk bertolak pulang ke Sydney, aku ingin menghabiskan malam itu dengan menyantap Mie Kadin.

Waktu itu kamu menginap di Novotel (simak tulisanku tentang Novotel – pada kunjungan itu aku menelurkan beberapa tulisan yang kupikir sangat baik untuk kalian semua) dan aku menurut saja apa kata Pak Karyuli, sopir kesayangan kami bahwa meski jarak dekat, tapi kondisi jalanan Jogja sudah tak seramah beberapa tahun lalu waktu aku masih tinggal di dalamnya.

?Apalagi ini Jumat, Mas! Jumat malam biasanya sepeda-sepeda itu pada mubal keluar dari gang-gang trus pit-pitan keliling kota!? ujarnya.

Kami lantas memutuskan berangkat dari hotel jam 6:30 malam dengan perkiraan sampai di Mie Kadin satu jam sesudahnya tanpa mengindahkan concern dari Pak Yuli tentang rombongan sepeda tadi.

Dan ternyata apa yang dikatakannya adalah benar.
Keluar dari hotel yang letaknya di depan RS Bethesda itu, kami menyusuri Jalan Solo lalu belok ke arah Kotabaru. Hingga di situ, mobil sudah tak bisa bergerak karena harus menunggu lautan sepeda yang berarak dari arah Cik Di Tiro menuju Suroto.

Dari sana, kami merayap menuju Kridosono, belok ke kiri (tenggara) menuju Dr Sutomo dan kami tercegat lagi berpuluh-puluh menit lamanya ketika hendak masuk ke fly over Lempuyangan!

Di atas fly over Lempuyangan lalu-lintas terhenti total. Tiga puluh menit lamanya. Setelah susah payah lepas dari situ, Pak Karyuli memutuskan masuk ke arah Gayam, agak sedikit memutar untuk masuk ke jalan Mangunsarkoro, mencari jalan tikus, tapi ternyata itu tak menyelamatkan karena pasukan bersepeda itu malah berhenti seenaknya.

Kami sampai di Mie Kadin yang letaknya di Bintaran jam delapan malam, atau satu setengah jam setelah kami keluar dari kamar hotel!

Konvoi sepeda? Lampu merah terabas saja? (Photo by Mas Yahya Kurniawan)

Konvoi sepeda? Lampu merah terabas saja? (Photo by Mas Yahya Kurniawan)

***

Kita terbiasa menganggap yang kecil, yang lebih miskin, yang lebih tak beruntung itu pasti yang benar atau setidaknya ia berada di pihak yang lebih tak bisa disalahkan hanya karena mereka tidak kaya dan tidak mengenakan penanda-penanda peninggi derajat seperti moge misalnya.

Padahal soal siapa yang lebih pandai membuat jengkel, tak hanya moge, karena selain iring-iringan kampanye, apa yang kututurkan di atas kualami 2012 silam pun bukan kisah khayalan; sepeda berkonvoi ratusan bahkan mungkin ribuan memblokade jalanan seantero kota!

Itulah bias yang diterima khalayak terhadap kisah heroik Elanto.

Tapi sudahlah.
Di tengah ke-homogen-an sikap kita yang menjemukan karena dingin di lapangan meski berkoar-koar di social media, kita toh perlu sosok Elanto yang radikal.

Semoga Elanto masih tetap akan ada atau setidaknya muncul Elanto-Elanto yang baru yang berani menggelar protes bergaya teatrikal yang menghibur dan juga mendidik.

Pesanku hanya satu, ketika nyegat konvoi moge tahun depan, jangan bawa sepeda lagi, Mas. Pinjam Mercy atau BMW lalu bawa ke tengah-tengah zebra cross supaya pesannya lebih terbaca bahwa ini bukan perlawanan besar melawan kecil, kaya melawan miskin dan bukan perlawanan antar-simbol tapi lebih pada pertunjukan tentang bagaimana sebaiknya hidup yang sa?madya dan saling menghormati di dalam satu komunitas besar bernama masyarakat.

Sebarluaskan!

7 Komentar

  1. Dari kemarin hal ini mencuat aku wes menahan diri ora melu komen, kurasa aku komen neng kene wae. Pribadi aku ga menyalahkan rasa mangkel nya si Elanto ini, karena prinsipku dewe adalah “lakukanlah semua hal seperti kamu ingin diperlakukan”. Nek motoran bareng group kecil biasane kupastikan taat aturan lalu lintas. Tapi saat sudah dalam rombongan besar dimana aku cuma peserta dan diajak nerobos2 ya isone cuma ikutan nerobos. Bisa dimengerti kok mangkelnya Elanto tanpa mempedulikan maksud sesungguhnya dia melakukan ini ( konon cerita ada isue ini setingan dan ada fotografer2 sudah disiapkan, sekali lagi konon ceritanya ).
    Tetapi dalam setiap cerita, pasti ada 2 sisi. Satu sisi membawa dampak mangkel, disisi lain membawa efek baik dan mebahagiakan orang. Coba kita tanya pemilik hotel yang full booked selama acara ini berlangsung. Coba tanya pemilik restoran2 yang ketiban rejeki atas ribuan moge yang masuk Jogja. Atau juga para penerima aksi2 sosial yang dilakukan kumpulan2 moge ini. Semua hilang tanpa pemberitaan. Yakin mereka ga akan berkeberatan dilanggar di lampu merah 10x lagi asal dapat rejeki yang sama.

    Aku rasa tinggal kita menempatkan diri dimana ..
    Kalo aku liat videonya sie aku ikutan bersyukur dia ga ketabrak HD .. just info aja, HD di rem di titik nol KM berhenttinya di titik 1KM krn remnya istimewa sekali hahaha

    Balas
    • Setiap aksi membutuhkan perekam untuk disebarluaskan, Ed. Nek soal kuwi sih normal.
      Aku nggak melihat ada yang salah dengan aksi Mas Elanto, yang kusayangkan cuma satu: ia membawa simbol, sepeda dan rakyat yang terlatih ‘ilmu perbandingan’ nya jadi membandingkan sepeda dengan moge-moge yang lewat dalam kecepatan tinggi.

      Aku juga setuju kenyataan bahwa hotel jadi penuh, resto jadi penuh (perlontean juga penuh ngga???) Tapi come on, adakah cara yang lebih bijak untuk mendapatkan kebahagiaan tanpa harus seperti itu? :)

      Balas
  2. Hehehe tentu saja banyak cara untuk kebahagiaan itu, tetapi ini kan acara setahun sekali, tentunya ini semacam peluang yang ga bisa ditepis kan ? Wong Jowo bilang .. “mumpung .. ”
    Asem nek perlontean aku ra duwe datane hahaha

    Tapi mungkin kita juga harus mempertimbangkan, seandainya tidak ada kawalan polisi dan terobosan lampu merah dan semuanya tertib, rombongan sebanyak itu akan memenuhi jalan dalam waktu yang cukup lama. tetap saja hal itu akan membuat mangkel orang lain, mungkin bukan Elanto yang kebetulan berlawanan arah dengan moge .. tapi orang-orang yang searah dan harus berkutat dengan moge2 itu selama belasan menit kedepan ..

    Dan sekali lagi aku sie ga menyalahkan Elanto dan mangkelnya. Tetapi seperti kamu tulis diatas, kejadian yang jarang terjadi memang lebih membekas daripada kejadian sehari-hari yang sama bobroknya ..

    Balas
  3. Menurutku ini kok bukan moge dan pengendarannya yang disasar Elano, tapi petugas polisine. kok ada pelanggaran gak ditindak.

    Balas
  4. Oooo ngono toh critane mas. Mudheng aku saiki.

    Balas
  5. Sebuah pendekatan lain yang Anda tulis disini dan saya senang membacanya. Mungkin itu semua pengaruh sinetron bodoh yang sering menceritakan kemalangan nasib orang miskin vs si kaya yang jahat.

    Balas
  6. Elanto dapat nama, moge juga. Lalu polisi kebagian caci maki, haha…

    Balas

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.