Akhirnya, seorang WILLIAM PRAMANA, dikirim Tuhan untuk menjadi temanku, yang bukan kukenal lewat Joyce, yang pertama-tama kali bertemu denganku di tanah yang baru ini. Kukatakan sebagai teman yang kukenal bukan lewat Joyce karena melalui istriku akupun telah dikenalkan oleh banyak kawan yang menyenangkan sebelumnya.
Kami berjanji untuk bertemu sekitar pukul 3.30 pm di Dymocks, Westfield, Parramatta, NSW, selepas azhar, kalau di Indonesia. Lalu tak lama setelah waktu yang ditentukan bergerak melebihi, ketika aku sedang asyik masyuk membaca buku di toko buku tersebut, tiba-tiba seorang pria berkacamata dengan postur tubuh yang tinggi mendatangiku dan berkata “Halo, Don… wah akhirnya ketemu juga!”
Kamipun saling bersalaman dan aku menimpali, “Iya, akhirnya ya hehehe dan .. kamu tinggi juga ternyata!”
Kami dari dulu, melalui chatting memang sering bercerita tentang diri kami masing-masing termasuk di antaranya yang kuketahui dari dia adalah tinggi tubuhnya yang memang menjulang hingga 189 cm itu.
“Ah, kamu untuk ukuran orang Indo juga tinggi, Don. Berapa?”
“Hmm, 183 cm, Wil!”
“Oh pantes… so, kemana kita sekarang? Pengen makan apa kamu?”
“Ah, apa aja dimana aja. Kamu dong! Kamu yang tawari aku kan aku new comer hehehe”
“What about city? Kamu nggak ada acara sore ini?”
“Hmmm, nggak ada… its ok kalau kita mau ke city tapi aku harus pulang sebelum jam delapan.”
“Oh..”
“Iya, aku kan suami hehehehe.. istri menanti di rumah!”
“Ok, yuk cabut!”
Kamipun berlalu dari Dymocks, bergegas menuju ke tempat parkir di rooftop superstore terbesar di CBD yang katanya nomer dua terbesar di NSW, Parramatta. Sepanjang perjalanan betapa aku sering melihat dari kaca-kaca etalase yang memantul bahwa aku dan William seperti halnya dua pilar tinggi diantara orang-orang Asia dan bule yang banyak bertebaran di situ dan hanya sedikit di antara mereka yang mampu memiliki tinggi badan lebih tinggi dari kami. Ah, dalam hal tinggi badan aku memang terkadang terlalu sering arogan akan tetapi harus bagaimana lagi karena pada kenyataannya memang aku benar-benar tinggi.
Well, William adalah orang yang kukenal sejak kira-kira enam tahun yang lampau lewat media ajaib yang bernama internet. Keberadaannya yang saat itu sudah ada di Sydney hanya bisa dijangkau lewat kotak-kotak pembicaraan baik itu lewat YM maupun pada awal-awal dulu melalui mIRC, text based chatting relay service yang seru tur wagu tapi melegenda itu!
Pertemanan kami selama enam tahun itu bisa dikatakan banyak off-nya ketimbang on-nya. Aku sibuk dan dia juga sibuk meski waktu-waktu itu aku tak terlalu banyak bertanya apa kesibukannya. Barulah pada setahun belakangan, ketika aku mulai berpikir untuk pindah ke Sydney, tapi tanpa didasari alasan itu, aku malah seperti dipertemukan William kembali oleh Tuhan.
Mula-mulanya adalah acara pengumpulan kembali teman-teman lama di Facebook.
Lalu akupun men-tick namanya dan kumasukkan sebagai friend listku. Dari situ, aku yang semula bahkan lupa ia itu tinggal di Sydney, mulai sering bertegur sapa, ngobrol-ngobrol, hingga akhirnya setelah saling menggali kami ternyata memiliki beberapa hal kesamaan minat seperti misalnya IT, berolahraga di gym hingga of course Sydney itself!
Begitulah ceritanya hingga hari kelimaku tinggal di Sydney, 6 November 2008, aku bertemu muka untuk yang pertama kali dengannya.
Perjalanan ke city di dalam mobilnya dipenuhi dengan obrolan-obrolan ringan seputar teman-teman lama yang dulu juga kami kenal, tentang teknologi, blackberry, tata kota di Sydney serta tentang teman-temannya yang beraneka ragam di sini. Lalu tak sampai setengah jam berikutnya, kami telah sampai di city dan langsung melipir ke arah pinggiran China Town, memarkir mobil dan siap memulai petualangan sore itu: jalan kaki keliling kota dan makan!
“Waktu februari kemarin kamu ke sini, Apple Store di George St udah buka, Mek?” Wiliam membuka pembicaraan sejak langkah-langkah pertama keluar dari mobilnya.
Ups, ada yang kelupaan, aku dan William, dalam pertemuan kami di dunia maya lebih sering untuk memanggil satu sama lain as “Mek”, ya you know lah, itu kependekan dari kata apa.
“Uhm, belum… tapi istriku cerita kalau memang buka.. dan eh kamu kan juga udah cerita berulang kali, Mek! Hahahaha… mau ke sana, kita?”
“Ayo!”
sahutnya sambil mempercepat langkah.
Keadaan city sendiri waktu itu sangat menyenangkan. Cuaca tidak se-ekstrim di Hills dinginnya, aku tak mengenakan sweater atau apapun namanya untuk menghangatkan tubuh. Lambat laun dan sedikit banyak, aku telah mulai beradaptasi meski masih ada beberapa orang mengolokku karena tidur masih bermodalkan heater portable meski summer tingga hitungan hari lagi datang menjelang.
Orang-orang banyak berlalu lalang. Para Asia asik jeprat-jepret ke sana kemari menandakan bahwa mereka adalah turis atau setidaknya ya new comer sepertiku yang masih “ndeso” dan “gagap” menghadapi keadaan. Sementara para Asia lainnya yang berdandan parlente, bergerak pulang dari pekerjaan mereka berdampingan dengan bule-bule ekslusif. Seperti tak ada sekat diantara mereka…
“Istrimu kerja di bank mana, Mek?”
“Oh, lha itu disitu.. aku masih ingat kok!”
Telunjukku kuarahkan ke seberang perempatan jalan yang tak lengang.
“Nggak mau mampir ke sana, loe?”
“Uhmmm kayaknya perlu, untuk kasi tahu kalau aku ada di city juga, Mek!”
“Ya, ayo ke sana.. atau hmm istrimu mau kamu ajak jalan bareng kita?”
“Ah tak mengapa tapi sepertinya rada nggak mungkin, Wil.
Dia pasti capek kerja, lagipula di rumah si Simba kasihan kalau ditinggal lama-lama.”
“Siapa itu Simba?”
“Anjing kesayangan, hehehehe…”
Kamipun bergegas menyeberang dan mendapati kenyataan bahwa pintu kantor Joyce telah tutup.
Aku, diikuti William, lalu bergerak memutar mencari celah jendela kaca untuk melongok mencari tahu dimana istriku berada… dan pada sebuah kaca, kutampakkan muka kepadanya dan kulambaikan tangan.
Joyce hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum kegirangan melihatku datang.
Ah, dalam waktu yang tak sampai delapan jam sejak ia pamit kerja tadi pagi, melihatnya dari kejauhan seperti inipun sudah menimbulkan rasa kangen yang luar biasa.
Sejenak aku jadi berpikir betapa dahsyatnya Tuhan yang bahkan mampu menguatkan kesetiaan dan kesabaran masing-masing dari kami pada malam-malam kesendian delapan tahun belakangan…
“Kok kamu nggak masuk tadi, Mek?”
William bertanya padaku.
“Masuk? Ah enggak ah, takut ganggu dia. Gitu aja udah cukup kok, yang penting dia tahu aku ada di City lagipula tadi sudah kukirim sms kalau hari ini aku akan jalan bareng kamu.”
Tak sampai satu block dari kantor istriku, George St kami sambangi. Agak sedikit serong ke arah kiri dari traffic light, maka sampailah kami pada Apple Store yang gedenya huarrr biahahaa itu!
Apple Store yang terletak di George St itu memang berdiri dengan sangat megah.
Tak ada dinding beton yang memisahkan antara ruangan dalam dengan jalan. Yang ada adalah kaca plastik transparan super tebal yang jadi dindingnya dengan tanda buah apel termakan sebagian berukuran besar di tengahnya. Ya, itulah kemegahan Apple. Kemegahan brand yang sangat aku dan William kagumi dan mengantarkan kami sebagai Mac Zealot ini!
Kami lantas masuk ke lantai satu dari gedung itu.
Tata letak Apple Store dimanapun tampaknya memang sama. Nggak di Jogja, Jakarta, Kuala Lumpur hingga ke Sydney, semua produk utama dihamparkan begitu saja di sebuah meja minimalis berwarna putih. Sementara aksesories-aksesories lainnya digantungkan di dinding-dinding tembok bagian dalam berwarna stanlees steel.
Memasuki Apple Store segede gaban seperti itu, ingatanku berjingkat-jingkat pergi kembali ke tanah Jogja sana. Terbayang teman dekatku, Yono beserta konco-konco Mac Web Id yang pasti bakalan ngeces dan ngiler tertetes-tetes kalau seandainya mereka ada di sini saat ini. Ah jadi rindu mereka!
Sementara ratusan orang menyemut mengelilingi produk satu demi satu sedangkan para pekerjanya dalam pakaian yang sangat casual tampak sibuk tapi tersenyum, tersenyum meski tetap sibuk meladeni setiap orang, baik pembeli betulan maupun orang yang hanya pura-pura mau beli padahal kenyataannya jauh panggang dari api seperti aku!
“Kamu ngga pengen beli Macbook yang baru, Mek?”
tanya William padaku sambil melihat-lihat Macbook keluaran baru di meja.
“Ah, enggak… aku masih sayang Powerbook-ku, Wil!
Kamu mau cari pengganti MacBookPro-mu?” jawabku.
“Hmmmm, ntahlah.. yang pasti tak sekarang”
Kami lantas naik ke level dua dan menemui “hamparan” iPod, kotak mesin pemutar lagu keluaran Apple Inc., serta berbagai perlengkapannya di sana.
“Wah, tempting banget ya, Mek?”
“Iya… tapi you know, aku kadang ngerasa semakin apa ya.. mblenger, eneg gitu ngeliat perkembangan teknologi yang kuencengnya kayak suetan gini ini.. Semua ini seperti membuat lifecycle barang yang sudah kita beli itu semakin singkat dan ketat!”
“Hehehehe..”
William manggut-manggut sambil tertawa mungkin agak sedikit heran mendengar penjelasanku itu.
“Lagipula untuk urusan iPod, kan kamu tau aku udah pake iPod U2! Hahahahahah!”
Ada sedikit kebanggaan bagiku memiliki salah satu seri terlangka milik iPod yang berserikan grup band yang sangat kugandrungi itu.
Selesai berjalan-jalan di lantai dua, kami bergegas ke lantai tiga.
Eh iya, ada yang hampir kelupaan lagi, bukan hanya dinding depan yang terbuat dari plastik kaca tebal, bahkan kalian bayangkan, tangga antar lantai pun juga dikemas dalam plastik kaca tebal beserta dinding stanless steel dengan nuansa putih, silver dengan kesan yang sangat hi-tech sekali.
Lantai tiga ternyata adalah apa yang dinamakan sebagai genius bar.
Sebuah usaha dari Apple untuk memberikan layanan knowledge sharing kepada masyarakat yang memang kurasa-rasakan semakin hari semakin banyak mencintai produk-produknya meski aku sekarang-sekarang ini sedang lebih sering mengumpat-umpatnya karena range harga yang semakin melambung saja setiap produk-produk terbarunya.
Hampir satu jam berada di Apple Store, kamipun keluar dan kembali berjalan di sekitar city.
Tujuan kami adalah Hungry Jack untuk membeli sepotong burger dan segelas softdrink.
“Ini untuk ngeganjel perut aja Mek, siapin ruangan di perut untuk main course kita nanti!” kata William sambil melahap mealnya.
“Oh well, no worries, Mek!”
Tak sampai lima menit, meal telah masuk ke dalam perut kami lalu kami memutuskan untuk pergi lagi.
Saking serunya kami berjalan-jalan berputar-putar kota sore itu, bahkan hingga pukul 06.00 pm saat matahari mulai condong ke barat, kami lupa menentukan dimana kami akan makan.
Lalu setelah berunding memperhatikan soal waktu yang semakin mepet ke batas waktu pulangku, kami memutuskan untuk santap malam di Lowenbrau, restoran penyedia masakan Jerman yang sangat aku ingat memiliki cita rasa luar biasa pada saat aku datang pertama kali, februari silam.
“Kamu mau makan apa di sana, Mek?”
tanya William yang ternyata meski sudah sepuluh tahun tinggal di Sydney tapi baru merasakan mango beer-nya Lowenbrau tanpa pernah merasakan desert apalagi maincoursenya.
“Halah kok pake tanya! Kalau di Lowenbrau makan ayam ya mending makan di KFC aja tho, Mek!
Ya Babi lah.. Go for Babi tonite!”
Kamipun ngakak berdua sambil terus mempercepat langkah menuju ke restaurant yang terletak di kawasan The Rock, tak jauh dari Opera House.
Di restaurant yang tampaknya semua waitressnya adalah keturunan Jerman asli yang bongsor-bongsor besar itu, aku memesan Schweinshaxn, babi panggang yang salah satunya dimasak menggunakan beer dan diberi mashed potato. Untuk minum aku memilih Kassler, lemonade beer yang rasanya yummy itu pada ukuran terkecil dan termurah, 0.3 litre. Aku memang sangat menghindari meminum beer banyak-banyak ketika hari masih tersisa banyak waktunya, karena semakin banyak beer yang kuminum akan membuat rasa ngantuk semakin tak tertahankan saat itu juga.
Sementara aku sendiri lupa apa yang dimakan si William sore itu, tapi yang pasti ia juga memesan babi meski zonder beer. “Aku nyetir, padahal pengen juga beernya!” kilahnya kemudian.
Satu jam kami habiskan untuk makan dan ngobrol di sana.
Lalu selanjutnya kami keluar dan berbelok ke arah kiri menuju ke tepian teluk dimana Sydney Opera House berada.
“Kamu udah capek, Mek?
Kita jalan dulu muter Sydney Opera House trus ke Botanical Garden baru pulang yuk!
Aku butuh mbakar kalori nih!”
tukas William kepadaku ketika langkah belum lagi berjumlah sepuluh dari Lowenbrau.
“Ayo aja! Aku masih kuat kok!”
Maka kamipun menghabiskan sore itu di sekitar-sekitar situ.
Karena matahari di sini rata-rata tenggelam pada sekitar jam 07.30 – 08.00 pm, aku dan William masih sempat menikmati pemandangan di Botanical Garden dengan sangat indah. Di sisi kiri kami, nun jauh di sana terdapat Harbour Bridge dengan bentuk klasiknya, sementara tak seberapa jauh dari situ Sydney Opera House yang ujung atasnya beserta permukaan air laut yang ada disekitarnya terkilaukan emas matahari sore yang semakin condong ke barat sana.
Ketika kami sampai di tempat parkir semula, hari telah benar-benar gelap sementara orang masih menyemut berjalan dengan gerak yang cepat menuju tempat tinggalnya. Angin-angin dingin yang biasa terasa begitu kencang di Hills, tempatku tinggal, tak terasa begitu menusuk-nusuk kulit di sini. Mungkin terhalang oleh tingginya gedung-gedung yang mencakar langit kota Sydney.
“Wah, sudah jam 7 lebih dikit, Don… nggak papa ya telat dikit?”
“Ah, its ok dont worry!”
Jawabku meski tak jauh di belakang bola mataku, aku memikirkan keadaan rumah dimana istriku telah sampai terlebih dahulu ke rumah dan pasti sedang sibuk beberes dan asyik bercengkrama bersama Simba.
Perjalanan pulang dari City ke rumah berjalan begitu cepat.
William memacu mobilnya begitu kebat sementara jalan-jalan di highway M4 yang menuju ke Hills juga semakin sepi. Obrolan tak pernah berhenti bahkan hingga akhir “dating” kami hari itu.
Ada banyak hal positif yang kuambil dari apa yang kukenal secara real dari seorang William Pramana.
Meski usianya terpaut tujuh tahun di bawahku, akan tetapi kematangan serta cara berpikirnya adalah sesuatu yang brilian, utamanya untuk anak seusianya.
Keputusannya untuk melahap hal-hal yang seharusnya dilahapnya dua-tiga tahun ke depan sedikit banyak mengingatkanku pada apa yang kulakukan dan kualami dulu pada usia yang sama dengannya yang sedikit banyak mirip dengan apa yang ia lakukan.
Ah, kalau sudah seperti ini aku jadi semakin tak bisa memungkiri betapa besar kasih Tuhan bagiku.
Di tengah kebosananku mengerjakan beberapa proyek kecil di rumah dan mempersiapkan buku kedua yang semakin hari semakin didesak-desak oleh sebuah penerbit cukup terkemuka nun jauh di Indonesia sana, Ia telah mengirimkan seorang sahabat baru di tanah ini, William Pramana.
Mobil yang kami kendarai telah menghabiskan satu tikungan terakhir sebelum akhirnya masuk ke pekarangan rumahku.
“Wah, makasih banget Wil buat hari ini!”
“No worries, Man.. sama-sama.. aku juga makasih bisa ditemenin ngobrol. Keep contact yah!”
“Pastinya!” Aku keluar dari mobilnya, menutup pintu kemudian menunggu William memundurkan lantas memosisikan mobilnya untuk kembali di jalan pulang.
“See you, Mek!” teriaknya.
“Yupe.. take care!” Akupun melambaikan tangan dan memandangnya hingga memastikan mobil yang ditumpangi seorang muda yang sangat energik itu menghilang dari pertigaan jalan.
Angin di Castle Hills telah merenggut segala kehangatan yang terjadi hingga titik barusan, bergegas aku masuk ke dalam rumah untuk menemui cinta dan kehangatan yang selalu setia dan merupakan hadiah terindah dariNya, keluarga kecilku.
Sekian hari kelima!
Take care, Tuhan memberkati!
Gambar ilalang warna kuning, request dari Bu EdRatna
Gambar Genius Bar, Lantai 3 Apple Store di George St.
Gambar tangga antar lantai, Apple Store di George St.
Wedeww, bikin ngiler tuh apple storenya, lebih yahudd lagi kalo ente kirim paket MBP ke sini, yg refurbished product juga nggak pa2 kok, wakakakaka
Wah Yon, dijamin kalau kamu kemari dan ke Apple Store, kamu kali bakalan nge kost di toiletnya ahuauahua… :)
Salam untuk anak2 gym!
panjang banget, capeeeee bacanya :D btw, kalau sempet baca “Almost French” Sarah Turnbull.. ;)
Tuhan memberkati!
Hehehehehe, cerita yang panjang adalah karena memang ada banyak yang harus dimuntahkan, Sis ;)
Di sini buku mahal, kirim! or nunggu kamu pindah kemari ;)
Ayo buruan!
Yup setuju banget perkembangan teknologi kuencengnya kayak suetan. Selain lifecycle barang yang sudah kita beli itu semakin singkat dan ketat, juga harganya kejar-kejaran dengan dollar…
Btw, Apple store-nya keren. Jarak antar lantinya lumayan tinggi ya (kalau mengira-ngira dari foto tangga itu).
Itulah efek kemenangan kapitalis sejak dulu kala yang baru bisa terasa sekarang, menurutku.
Mau tak mau, dunia hanya bisa menurut pada isi otak para kaum kapitalis itu tadi tentang produk apapun yang hendak mereka keluarkan :)
Jarak antar lantai? Hmm lumayan tinggi sih!
Ooo….ilalangnya berwarna kuning ya…postinganmu seblumnya orange. Kalau banyak mungkin bisa dijadikan tanaman penutup tanah Don…kan banyak tanaman penutup tanah yang awalnya sebetulnya adalah tanaman pengganggu, namun karena bunganya bagus, jadi penutup tanah, biar ga mudah longsor, disamping indah tentunya.
Syukurlah Donny ketemu teman, dan makin krasan di Sidney….Ruangannyapun namanya Genius bar,keren ya…..
Oh iya tho, ah mungkin karena dulu saya sangat terobsesi dengan yang namanya “oranye”..
Empat tahun silam… ya.. ya.. empat tahun silam…
persahabatan seakrab itu ternyata berawal dari dunia maya. aku kok jadi makin yakin bahwa internet bener2 bisa mendekatkan dan mengakrabkan berbagai macam orang lintasuku dan lintasgeografis. semoga saja setelah bertemu darat, mas donny makin akrab dg william pramana.
Saya sudah percaya sejak lama bahwa internet itu sangat berarti, Pak.
Jangankan teman, Pak Sawali, musuh dan bahkan istri pun saya boleh bilang semua berkat internet hahaha :)
Kalau Pak Sawali mau cari contoh orang yang menikah karena internet ya saya ini :)
Don,
Aku kagum banget sama tulisan kamu yang begitu runut begini. Aku paling nggak bisa nulist kayak ini, Don. Pikun, banyak yang kelewat, pastinya..hehehe…
Hari kelima-mu sepertinya sangat menyenangkan ya, Don..
Semoga selalu begitu, selamanya…
Salam buat Joyce, istri tercinta, dan kesetiaan kalian yang luar biasa selama 8 tahun terpisah jarak…
Salam buat Simba, Anjing kesayangan yang pasti membuat hari kalian ramai sekali…
Salam buat si kecil (yang pastinya sedang usaha dibikin.. hehehe)..
Sehat-sehat, ya, Don..
Aduh aku terharu mbaca komenmu.
Yang pertama karena,, pls deh, seorang Jeung Lala gitu lho berkomentar di blog saya.. ahuhuhu..
Yang kedua, hingga saat ini baru kamu yang bilang “Sehat-sehat ya Don”.. aku jadi inget ibu di rumah
“Lambat laun dan sedikit banyak, aku telah mulai beradaptasi meski masih ada beberapa orang mengolokku karena tidur masih bermodalkan heater portable meski summer tingga hitungan hari lagi datang menjelang.”
duh, jadi ngrasa dosa…
maaf ya… :p
HUahuahuahuahuahua ngga papa, Bu sante aja..
Jangan sampe dibawa ke hati omongan saya mah ;)
So kapan kita ketemuan?
Tanpa sweater, syal dan bahkan coat deh, dijamin :)
Ilalangnya kalo dirangkai di vas dan ditaro di nakas, bisa mempercantik ruangan deh…:-)
Genius Bar nya artistik sekali, minimalis tapi tidak tragis :-)
Sukses selalu.
Anda sepertinya ahli bahasa ya, Buthe..
Setelah kemarin mengajari saya istilah kaligata untuk biduren, sekarang, nakas..? Hah apa pula itu :)
padahal saya ada disana lho mas.., kok ga ketemu ya :P
Oya? Ya ayuk ketemuan :)
iihhh..di sini buku bukannya murah?
ibaratnya tuh ya AUD1=Rp. 1000, jadi kalo buku AUD34 ibaratnya Rp. 34.000…hehe…ini resepku…
so jangan diconvert ke rupiah kalo belanja, bikin sakit hati… :p
Lebih murah beli lewat Amazon, Chan…:)
Kemarin ngeliat di Dymocks, Westfield bukunya mahal amat.
Hari minggu ini aku dan istriku mau metik cherry di luar kota deket Wolonggong.. wanna join, mate ?
Selamat ya…
Selamat apanya?
Wah, mulai dapat teman, Don :)
salam buat william ya :)