“Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”
(Matius 15:11)
Ada seorang kawan yang kutanya saat aku membawakan materi pengajaran dulu, kenapa kamu bangga jadi Katolik? Jawabnya, “Karena kita boleh makan babi!” Seantero ruangan pun tertawa-terbahak seolah mengiyakannya.
Adakah ‘hak istimewa’ untuk makan babi itu patut dibanggakan dan menjadi alasan untuk tetap setia jadi seorang Katolik? Selagi masih mampu mencari alasan lain, aku tak sudi menggadaikan iman Katolikku setara dengan seekor ataupun sekerat daging babi!
Ijin untuk makan apapun termasuk babi memang diberikan Yesus sesuai dengan yang Ia ucapkan dan ditulis Matius dalam Kabar Baik hari ini, tapi bukankah tak semua hak itu harus dan mutlak digunakan sebagaimana tak semua kehendak kita harus diluluskan?
Mari memandang konteks ‘makan babi’ ini dalam ajaran St Ignatius dari Loyola tentang bagaimana kita melakukan segala hal dalam hidup dengan berpatokan sejauh makan perbuatan itu memuliakan Allah.
Makan babi itu memuliakan Allah, Don! Kita bangga punya Allah yang tak membuat kita berpikir mana yang haram dan mana yang tidak untuk dimakan!
Betul! Tapi mau seberapa banyak? Terlalu banyak makan babi tapi lantas membuat kita jatuh sakit dan terpaksa harus meninggalkan pekerjaan dan menanggalkan pelayanan, bukankah itu justru tidak produktif dalam rangka memuliakan Allah melalui diri kita sendiri?
Dan tahukah kalian, makan makanan babi di depan orang-orang yang mengharamkannya, apalagi dengan tujuan ‘sok bangga’ ataupun pamer mentang-mentang boleh makan babi pun bukan sesuatu yang memuliakan Allah?
Ada catatan menarik dari Santo Paulus dalam suratnya yang pertama kepada umat Allah di Korintus. Begini isinya, “Karena itu apabila makanan menjadi batu sandungan bagi saudaraku, aku untuk selama-lamanya tidak akan mau makan daging lagi, supaya aku jangan menjadi batu sandungan bagi saudaraku.” (1Kor 8:13)
Dalam bahasa sehari-hari, tulisan Santo Paulus itu barangkali bisa dibaca sebagai, untuk apa pamer bahwa kita boleh makan babi kalau hal itu hanya membuat orang lain sakit hati? Dimana konsep memuliakan Allah dapat diletakkan dalam konteks tersebut?
Jadi, jangan bangga sebagai orang Katolik hanya karena boleh makan babi! Banggalah karena kita memiliki Tuhan yang mengijinkan untuk makan apapun tapi sekaligus juga adalah Tuhan yang mengajarkan kita melalui pengorbananNya di atas kayu salib untuk menyerahkan kehendak bebas dalam menggunakan hak bagi kemuliaan namaNya yang lebih besar!
Duh, tiba-tiba kangen masakan B2 kecap dan B2 panggang di Rumah Makan Tapian Nauli di Condong Catur, Jogja milik keluarga almarhum Bang Ucok! Semoga kamu berbahagia di surga, Bang!

credit photo: tripadvisor.com
Sydney, 8 Agustus 2017
0 Komentar