Siang tadi aku pamit pada Papa, Citra, Eyang, serta Jogja untuk tidak melihat mereka
setidaknya hingga setahun ke depan pindah menetap ke Australia. Sementara Mama masih bersama, menemaniku ke Jakarta hingga Jumat, 31 Oktober 2008 besok saat aku pergi meninggalkan tanah air.
Papa, sebenarnya bukan sosok yang dekat terutama secara fisik denganku.
Ia tak pernah mengajariku untuk selalu menggunakan peluk dan cium untuk mengungkapkan sayang dan akupun menurutinya. Akan tetapi semuanya lumer tadi. Di balik segala nasihatnya, air mata bening segar tampak meleleh dari pelupuk matanya. Dadanya yang tipis bergerak naik turun sesak tak beraturan saat kupeluk sementara kedua lengannya erat mencengkeramku.
“Ati-ati, Le… Jaga nama baik keluarga!” Suaranya bergetar tak keruan.
Citra, adik semata wayangku yang sangat dekat denganku setidaknya tiga tahun belakangan ini.
Ia tak menangis karena ia begitu kuat, lebih kuat daripadaku. Selain itu, semua juga telah ditumpahkannya semenjak malam tanggal 18 Oktober 2008, malam sebelum aku menerima sakramen pernikahan ia menangis cukup keras di dadaku.
Bulatan hitam di matanya tadi hanya sedikit bergoyang lalu berkaca sementara senyumnya tertahan dipaksakan.
“Hati-hati, Cit! Cepat lulus dan ingat semua pesanku,”
Lalu ia pun berlalu begitu saja…
Eyang, harus kuakui adalah eyangku terdekat sejak kulahir hingga tiga puluh tahun sesudahnya.
Usianya yang sudah menua menyisakan gumpalan emosi yang meletus tadi sore ketika aku memeluknya.
Telungkup tangannya digosok-gosokkan berulang kali di punggungku, iramanya seperti lukisan erupsi emosinya.
“Ati-ati, Don! Yang sabar jadi suami, Gusti Yesus mberkahi!”
dan Jogja… apa lagi yang harus kuutarakan sedangkan ia tak mengutarakan apapun padaku.
Kota itu tampak semakin kekar saja merengkuh penduduknya.
Kebesarannya tak kan pernah menyurut hanya kehilangan seonggok debu yang bernama Donny Verdian.
Tiada kata yang diucapkannya selain personifikasi yang ada dalam benakku tentang Jogja yang dapat bicara. Berbicara seolah-olah ia sedih melepasku, entah benar atau tidak sesungguhnya…
Well, hari ini adalah salah satu hari yang paling menyedihkan bagiku.
Seperti kata istriku, aku telah tercabut dari akarku, meninggalkan Jogja dan keluargaku.
Tapi hari ini sekaligus juga adalah hari yang paling membahagiakan bagiku.
Karena aku, dengan segala daya dan upayaNya telah berani melakukan semua ini; tentang sesuatu yang besar dengan sadar dan penuh rasa tanggung jawab.
There is no way back, Donny! Keep going on!
keep moving forward !!!
Selamat Jalan Ya Mas Dony, selamat bergabung dengan Mbak Joyce. Ini saya baca sambil berkaca-kaca juga. Mudah-mudahan imajinasi saya bahwa Mas Dony itu orang yang lembut memang benar. Mbak Joyce pasti beruntung mendapat suami sperti anda. JBU
Betapapun sulitnya sebuah perpisahan, paling tidak Donny menyadari betapa sayangnya ayah ibu, adik semata wayang dan eyang terhadap Donny….dan mereka akan tetap berdoa untukmu.
Dan tentu saja, Donny bisa membalasnya dengan berbuat kebaikan, berdoa bagi mereka….dan terus menulis agar orang-orang yang kau sayangi dapat mengikuti perkembangan hidupmu melalui tulisanmu. Dan percayalah, sebuah tulisan mempunyai “nyawa” terutama bagi orang yang mengenalmu secara dekat….
Boleh percaya atau tidak, tapi ikatan malah bertambah kuat setelah berjauhan, karena kualitas menjadi lebih bermakna dibanding kuantitas. Selamat bertualang, GBU…
hiks, nangis aku don, moco tulisanmu iki… :(
Kamu memang akan tercerabut dari akarmu, Don. Tapi saya yakin, saat kamu selesai dengan semua ini, kamu akan tumbuh jauh lebih besar dan kokoh!
Jalan kembali selalu ada mas DV, tapi ciptakan peta hidupmu yang baru! Itu jauh menantang.Sukses selalu!
Selamat jalan, semoga tercapai segala cita-cita…
Itu sudah pilihan… Laki-laki harus keluar rumah!
selamat jalan, mas donny, hati2 di jalan, semoga lancar dan selamat hingga tujuan. meski berjauhan, saya berharap kita masih punya waktu dan kesempatan utk saling bertegur sapa meski hanya sekadar lewat dunia maya. blog ini tetep akan menjadi tempat yang nyaman utk aku singgahi. terima kasih silaturahminya selama ini. sukses selalu buat mas donny. saya hanya bisa berdoa dari jauh. salam juga buat nyonya donny verdian.
Suatu saat nanti, kamu akan tersenyum geli ketika mengingat hari yang kau ceritakan ini. Percayalah :)
Ya, Dan.. aku percaya itu..
Tapi kita juga sama-sama percaya bahwa sebelum pagi tiba, malam masih larut mendominasi..
Aku sedang menantikan pagi!